27.2 C
Jakarta
23 November 2024, 0:00 AM WIB

Tiga SRR Pantau Gunung Agung, Ini Manfaatnya untuk Warga Terdampak

RadarBali.com – Sumber informasi tentang perkembangan situasi terkini Gunung Agung bakal semakin bervariasi.

Ini menyusul pemasangan tiga unit peralatan Station Relay Radio (SRR) oleh relawan peduli Gunung Agung yang dimotori Lesto Prabhancana dkk.

Kemarin (24/11) siang pukul 10.30, Lesto dibantu tim Orari lokal Karangasem dan tim Communication And Rescue (Core) Karangasem memasang SRR di Banjar Bambang Pande, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

Jarak Banjar Bambang Pande dengan puncak Gunung Agung sekitar 12 kilometer. Selain di Banjar Bambang Pande, SRR juga dipasang di Bukit Putung, dan Bukit Sega.

Kedatangan Lesto Prabhancana dkk disambut antusias warga setempat. Keramahan sangat terasa sejak Lesto dkk datang.

Setelah mendapat penjelasan singkat dari Lesto, para relawan bahu membahu membantu merakit dan menyetel SRR yang dibawa langsung dari Jogjakarta itu.

Salah seorang anggota tim Orari lokal Karangasem terlihat semangat saat menaiki tiang antena tingginya sekitar 15 meter.

Dijelaskan Lesto, SRR berfungsi memberikan informasi peringatan dini (bukan alat pendeteksi dini seperti berita sebelumnya) kepada masyarakat.

Cara kerjanya yaitu dengan sistem relay seismograf dan informasi peringatan dini. “Jadi kami memantau sinyal seismograf yang ada,” ungkap Lesto ditemui disela-sela pemasangan SRR, kemarin.

Sinyal seismograf yang tertangkap kemudian dipancarkan ke frekuensi lain yang sudah ditentukan, sehingga cukup dengan menggunakan Handy Talky (HT) masyarakat bisa mendengarkan apa yang sedang terjadi dengan Gunung Agung.

Setiap kejadian vulkanik, seperti gempa, tremor atau hujan turun dan angin kencang di puncak memiliki tanda bunyi tune berbeda.

“Misal akan terjadi erupsi atau tremor, maka sinyal seismograf semakin rapat dan gelombang semakin tinggi. Bunyi dan amplitudo serta kerasnya berbeda.

Kalau terdengar seperti itu, maka ada yang tidak pas di Gunung Agung,” jelas Narasumber Kebencanaan dan Mitigasi Bencana Kementerian Pekerjaan Umum itu.

Kejadian di seputar Gunung Agung seperti asap, getaran atau situasi lain juga bisa diinformasikan. Selanjutnya perkembangan informasi terbaru itu bisa disampaikan ke daerah-daerah di seputaran Gunung Agung.

Selain bisa didengar melalui HT, sinyal yang masuk ke HT juga bisa dilihat dan dipresentasikan dalam bentuk grafik. Caranya, HT disambungkan ke dalam laptop kemudian download geothool.

“Ini bisa menjadi patokan, apa yang akan dilakukan setelah mendengar sinyal atau merasa sesuatu tidak enak.

Masyarakat bisa mengambil keputusan mau mencari  tempat yang aman atau lainnya,” imbuh pria asal Sleman, Jogjakarta itu.

Lesto mengaku banyak belajar dari erupsi Gunung Merapi pada 2006 dan 2010, Gunung Kelud pada 2014 serta Gunung Raung pada 2015. 

“Cara alat kerja ini sangat sederhana. Alat ini kan langsung dan real time serta lebih mudah dibanding dengan menggunakan teknologi yang lain,” tukasnya.

RadarBali.com – Sumber informasi tentang perkembangan situasi terkini Gunung Agung bakal semakin bervariasi.

Ini menyusul pemasangan tiga unit peralatan Station Relay Radio (SRR) oleh relawan peduli Gunung Agung yang dimotori Lesto Prabhancana dkk.

Kemarin (24/11) siang pukul 10.30, Lesto dibantu tim Orari lokal Karangasem dan tim Communication And Rescue (Core) Karangasem memasang SRR di Banjar Bambang Pande, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

Jarak Banjar Bambang Pande dengan puncak Gunung Agung sekitar 12 kilometer. Selain di Banjar Bambang Pande, SRR juga dipasang di Bukit Putung, dan Bukit Sega.

Kedatangan Lesto Prabhancana dkk disambut antusias warga setempat. Keramahan sangat terasa sejak Lesto dkk datang.

Setelah mendapat penjelasan singkat dari Lesto, para relawan bahu membahu membantu merakit dan menyetel SRR yang dibawa langsung dari Jogjakarta itu.

Salah seorang anggota tim Orari lokal Karangasem terlihat semangat saat menaiki tiang antena tingginya sekitar 15 meter.

Dijelaskan Lesto, SRR berfungsi memberikan informasi peringatan dini (bukan alat pendeteksi dini seperti berita sebelumnya) kepada masyarakat.

Cara kerjanya yaitu dengan sistem relay seismograf dan informasi peringatan dini. “Jadi kami memantau sinyal seismograf yang ada,” ungkap Lesto ditemui disela-sela pemasangan SRR, kemarin.

Sinyal seismograf yang tertangkap kemudian dipancarkan ke frekuensi lain yang sudah ditentukan, sehingga cukup dengan menggunakan Handy Talky (HT) masyarakat bisa mendengarkan apa yang sedang terjadi dengan Gunung Agung.

Setiap kejadian vulkanik, seperti gempa, tremor atau hujan turun dan angin kencang di puncak memiliki tanda bunyi tune berbeda.

“Misal akan terjadi erupsi atau tremor, maka sinyal seismograf semakin rapat dan gelombang semakin tinggi. Bunyi dan amplitudo serta kerasnya berbeda.

Kalau terdengar seperti itu, maka ada yang tidak pas di Gunung Agung,” jelas Narasumber Kebencanaan dan Mitigasi Bencana Kementerian Pekerjaan Umum itu.

Kejadian di seputar Gunung Agung seperti asap, getaran atau situasi lain juga bisa diinformasikan. Selanjutnya perkembangan informasi terbaru itu bisa disampaikan ke daerah-daerah di seputaran Gunung Agung.

Selain bisa didengar melalui HT, sinyal yang masuk ke HT juga bisa dilihat dan dipresentasikan dalam bentuk grafik. Caranya, HT disambungkan ke dalam laptop kemudian download geothool.

“Ini bisa menjadi patokan, apa yang akan dilakukan setelah mendengar sinyal atau merasa sesuatu tidak enak.

Masyarakat bisa mengambil keputusan mau mencari  tempat yang aman atau lainnya,” imbuh pria asal Sleman, Jogjakarta itu.

Lesto mengaku banyak belajar dari erupsi Gunung Merapi pada 2006 dan 2010, Gunung Kelud pada 2014 serta Gunung Raung pada 2015. 

“Cara alat kerja ini sangat sederhana. Alat ini kan langsung dan real time serta lebih mudah dibanding dengan menggunakan teknologi yang lain,” tukasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/