31.6 C
Jakarta
25 November 2024, 18:09 PM WIB

Lihat Semangat Relawan Sakit Saraf Hilang, yang Penting Share Ilmu

Informasi dan komunikasi menjadi kebutuhan penting saat bencana mengintai. Lesto Prabhancana, berbagi dengan warga di Karangasem bagaimana cara memantau situasi Gunung Agung yang sedang “hamil tua” itu.

 

MAULANA SANDIJAYA, Amlapura

SUARA mendenging panjang terdengar dari Handy Talky (HT) yang dipegang Lesto. Suara mendenging itu kemudian didengarkan pada belasan warga yang sedang berkumpul di Banjar Bambang Pande, Desa Rendang, Kecamatan, Rendang, Karangasem.

“Nah ini, dengar kan suaranya? Ngiiiiiing, ini berarti di atas (puncak Gunung Agung) terjadi suatu aktifitas” ujar Lesto.

Tidak lama berselang,  suara mendenging panjang itu berubah menjadi suara mendenging sedikit pendek. “Nah, kalau ini berarti di atas hujan,” imbuh pria asal Jogjakarta itu.

Lesto kemudian menjawab satu demi satu pertanyaan warga yang tergabung dalam ORARI Lokal Karangasem. Warga tampak penasaran dan antusias mendapat peralatan itu.

Pria ramah dan murah senyum itu mengatakan, alat yang dia bawa dari Jogjakarta itu sejatinya sangat sederhana. Bahkan, alat itu belum punya nama baku.

“Cuma kalau dari cara kerjanya dia merelay sinyal seismograf, sinyal itu kemudian dimasukkan ke dalam frekuensi,” jelasnya.

Sinyal seismograf dari Gunung Agung yang tertangkap itu kemudian didengarkan dan diterjemahkan.

Karena belum punya nama baku, untuk memudahkan alat yang oleh Lesto tidak disebutkan harganya itu disebut SRR, kepanjangan dari Station Relay Radio.

Alat itu diberikan kepada warga secara cuma-cuma. Saat koran ini tanya harga SRR, Lesto bergeming. Dia tidak mau menjawab.

“Ilmu itu buat dishare ya. Anggap saja ini kontribusi dari pengalaman kami,” jawabnya diplomatis. Meski usianya tak muda lagi, Lesto terlihat energik.

Padahal, untuk datang ke Bali Lesto bukannya tanpa hambatan. Banyak hambatan yang harus dia lalu. Salah satunya dia harus mengalahkan “musuh” utamanya, yaitu rasa sakit luar biasa akibat saraf kejepit.

Dokter memintanya tidak banyak berpergian, harus banyak istirahat, kurangi penerbangan lebih dari satu jam. Jika itu dilarang, maka dia merasakan rasa sakit luar biasa.

“Tapi, saya pikir rasa sakit yang saya alami melihat kepuasaan teman-teman seperti ini cukup menghibur sakitnya jadi hilang,” tuturnya penuh semangat.

Jumat lalu (24/11) saat memasang SRR di tiga titik, itu merupakan kedatangannya yang kedua ke Karangasem.

Pertengahan bulan ini Lesto dkk juga sudah datang ke Karangasem, tepatnya di Tulamben dan Kubu untuk melakukan survei.

“Kalau ke Bali sering. Tapi, saya tahu Bali itu ya hotel dan bandara. Setelah jadi pembicara atau moderator balik ke hotel terus ke bandara dan pulang,” kisahnya.

Lesto memang unik. Meski memiliki banyak keahlian di bidang migas dan geothermal, dia lebih suka disebut petani. “Pokoknya saya petani. Memang saya petani kok,” cetusnya.

Pun saat Jawa Pos Radar Bali  coba mengulik gelar dan keilmuannya, bapak enam anak itu tidak mau membuka. Bahkan, saat Jawa Pos Radar Bali tanya berapa umurnya dia juga menolak halus.

“Nanti kalau tahu umur saya malah banyak yang tidak suka,” selorohnya lantas terkekeh. Ketika Jawa Pos Radar Bali bertanya,

kenapa dia rela datang jauh – jauh ke Karangasem bahkan membagikan SRR gratis, dia sendiri mengaku tidak tahu.

Sebelum menjawab, beberapa saat dia sempat bingung sambil tertawa. “Apa ya? Cuma pingin saja nggak ada apa-apa.

Perasaan saya harus ikut campur tangan di sini. Saya ngikuti nurani saja. Saya tidak peduli profit dan keuntungan, itu bukan tujuan saya,” tandasnya.

Lesto cukup banyak mengalami situasi bencana gunung meletus dan bencana hidrometeorologi. Di antaranya Gunung Galunggung, Gunung Merapi, Gunung S Sinabung Gunung Kelud dan Gunung Raung.

Bahkan, dia pernah ditugaskan untuk melakukan observasi Gunung Merapi saat erupsi 2010 silam.

“Saya naik helikopter TNI AU ke atas kawah yang sedang erupsi, saya mengalami guncangan, debu vulkanik dan lainnya,” tuturnya.

Lesto menceritakan, sebelum 2005 dirinya bekerja di industri migas dan geothermal. Dia rela meninggalkan industri migas karena berjanji bila berkeluarga akan tinggal di Yogyakarta.

“Saya sudah janji dengan diri saya, setelah menikah berkeluarga saya tinggal di Jogjakarta bukan Jakarta,” urai pria yang rambutnya mulai rata dengan uban itu.

Pada 2006, Lesto menikah dan menetap di Jogjakarta, tepatnya di Kabupaten Sleman. Meski baru menikah, dia tetap aktif di berbagai kegiatan sosial.

Dia tidak ambil pusing dengan jenis kerjaan dan jumlah penghasilan yang didapat. Dia yakin ketika menolong orang, maka Tuhan akan membalasnya.

“Dan, saya punya anak enam. Jaraknya dekat karena kejar tayang,” candanya lantas tertawa. Dari enam anaknya itu, anaknya yang keempat lahir bertepatan dengan erupsi Gunung Kelud pada 2014 lalu.

Saat itulah musibah terjadi. Anaknya meninggal dunia. Ya, meski tinggal di Kota Gudeg yang jaraknya ratusan kilometer dengan Gunung Kelud, dia ikut merasakan debu vulkanik Gunung Kelud saat menghujani Jogjakarta. 

Kepergian anak keempatnya itu membuat sejuta pertanyaan menggelayut di benaknya. “Saya selalu memberikan terbaik buat orang-orang? kenapa anak saya meninggal?” urainya bertanya-tanya.

Namun, berkat dukungan istri dan orangtunya akhirnya menjadi penguat langkahnya untuk terus berbagi dengan sesama.

Informasi dan komunikasi menjadi kebutuhan penting saat bencana mengintai. Lesto Prabhancana, berbagi dengan warga di Karangasem bagaimana cara memantau situasi Gunung Agung yang sedang “hamil tua” itu.

 

MAULANA SANDIJAYA, Amlapura

SUARA mendenging panjang terdengar dari Handy Talky (HT) yang dipegang Lesto. Suara mendenging itu kemudian didengarkan pada belasan warga yang sedang berkumpul di Banjar Bambang Pande, Desa Rendang, Kecamatan, Rendang, Karangasem.

“Nah ini, dengar kan suaranya? Ngiiiiiing, ini berarti di atas (puncak Gunung Agung) terjadi suatu aktifitas” ujar Lesto.

Tidak lama berselang,  suara mendenging panjang itu berubah menjadi suara mendenging sedikit pendek. “Nah, kalau ini berarti di atas hujan,” imbuh pria asal Jogjakarta itu.

Lesto kemudian menjawab satu demi satu pertanyaan warga yang tergabung dalam ORARI Lokal Karangasem. Warga tampak penasaran dan antusias mendapat peralatan itu.

Pria ramah dan murah senyum itu mengatakan, alat yang dia bawa dari Jogjakarta itu sejatinya sangat sederhana. Bahkan, alat itu belum punya nama baku.

“Cuma kalau dari cara kerjanya dia merelay sinyal seismograf, sinyal itu kemudian dimasukkan ke dalam frekuensi,” jelasnya.

Sinyal seismograf dari Gunung Agung yang tertangkap itu kemudian didengarkan dan diterjemahkan.

Karena belum punya nama baku, untuk memudahkan alat yang oleh Lesto tidak disebutkan harganya itu disebut SRR, kepanjangan dari Station Relay Radio.

Alat itu diberikan kepada warga secara cuma-cuma. Saat koran ini tanya harga SRR, Lesto bergeming. Dia tidak mau menjawab.

“Ilmu itu buat dishare ya. Anggap saja ini kontribusi dari pengalaman kami,” jawabnya diplomatis. Meski usianya tak muda lagi, Lesto terlihat energik.

Padahal, untuk datang ke Bali Lesto bukannya tanpa hambatan. Banyak hambatan yang harus dia lalu. Salah satunya dia harus mengalahkan “musuh” utamanya, yaitu rasa sakit luar biasa akibat saraf kejepit.

Dokter memintanya tidak banyak berpergian, harus banyak istirahat, kurangi penerbangan lebih dari satu jam. Jika itu dilarang, maka dia merasakan rasa sakit luar biasa.

“Tapi, saya pikir rasa sakit yang saya alami melihat kepuasaan teman-teman seperti ini cukup menghibur sakitnya jadi hilang,” tuturnya penuh semangat.

Jumat lalu (24/11) saat memasang SRR di tiga titik, itu merupakan kedatangannya yang kedua ke Karangasem.

Pertengahan bulan ini Lesto dkk juga sudah datang ke Karangasem, tepatnya di Tulamben dan Kubu untuk melakukan survei.

“Kalau ke Bali sering. Tapi, saya tahu Bali itu ya hotel dan bandara. Setelah jadi pembicara atau moderator balik ke hotel terus ke bandara dan pulang,” kisahnya.

Lesto memang unik. Meski memiliki banyak keahlian di bidang migas dan geothermal, dia lebih suka disebut petani. “Pokoknya saya petani. Memang saya petani kok,” cetusnya.

Pun saat Jawa Pos Radar Bali  coba mengulik gelar dan keilmuannya, bapak enam anak itu tidak mau membuka. Bahkan, saat Jawa Pos Radar Bali tanya berapa umurnya dia juga menolak halus.

“Nanti kalau tahu umur saya malah banyak yang tidak suka,” selorohnya lantas terkekeh. Ketika Jawa Pos Radar Bali bertanya,

kenapa dia rela datang jauh – jauh ke Karangasem bahkan membagikan SRR gratis, dia sendiri mengaku tidak tahu.

Sebelum menjawab, beberapa saat dia sempat bingung sambil tertawa. “Apa ya? Cuma pingin saja nggak ada apa-apa.

Perasaan saya harus ikut campur tangan di sini. Saya ngikuti nurani saja. Saya tidak peduli profit dan keuntungan, itu bukan tujuan saya,” tandasnya.

Lesto cukup banyak mengalami situasi bencana gunung meletus dan bencana hidrometeorologi. Di antaranya Gunung Galunggung, Gunung Merapi, Gunung S Sinabung Gunung Kelud dan Gunung Raung.

Bahkan, dia pernah ditugaskan untuk melakukan observasi Gunung Merapi saat erupsi 2010 silam.

“Saya naik helikopter TNI AU ke atas kawah yang sedang erupsi, saya mengalami guncangan, debu vulkanik dan lainnya,” tuturnya.

Lesto menceritakan, sebelum 2005 dirinya bekerja di industri migas dan geothermal. Dia rela meninggalkan industri migas karena berjanji bila berkeluarga akan tinggal di Yogyakarta.

“Saya sudah janji dengan diri saya, setelah menikah berkeluarga saya tinggal di Jogjakarta bukan Jakarta,” urai pria yang rambutnya mulai rata dengan uban itu.

Pada 2006, Lesto menikah dan menetap di Jogjakarta, tepatnya di Kabupaten Sleman. Meski baru menikah, dia tetap aktif di berbagai kegiatan sosial.

Dia tidak ambil pusing dengan jenis kerjaan dan jumlah penghasilan yang didapat. Dia yakin ketika menolong orang, maka Tuhan akan membalasnya.

“Dan, saya punya anak enam. Jaraknya dekat karena kejar tayang,” candanya lantas tertawa. Dari enam anaknya itu, anaknya yang keempat lahir bertepatan dengan erupsi Gunung Kelud pada 2014 lalu.

Saat itulah musibah terjadi. Anaknya meninggal dunia. Ya, meski tinggal di Kota Gudeg yang jaraknya ratusan kilometer dengan Gunung Kelud, dia ikut merasakan debu vulkanik Gunung Kelud saat menghujani Jogjakarta. 

Kepergian anak keempatnya itu membuat sejuta pertanyaan menggelayut di benaknya. “Saya selalu memberikan terbaik buat orang-orang? kenapa anak saya meninggal?” urainya bertanya-tanya.

Namun, berkat dukungan istri dan orangtunya akhirnya menjadi penguat langkahnya untuk terus berbagi dengan sesama.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/