Dua saudara kandung, Ni Nyoman Tunjung, 60, dan adiknya, Ni Ketut Jempiring, 59, sama-sama tidak bisa melihat alias.
Seperti tak mau terpisahkan, kedua nenek dengan kekurangan pada matanya itu tidak menikah dan tinggal dalam satu gubuk reyot di Banjar Pulesari Kawan, Desa Peninjoan, Kecataman Tembuku.
IB INDRA PRASETIA, Bangli
KONDISI tempat tinggal kedua nenek kakak beradik, Tunjung dan Jempiring yang sama-sama tunanetra sungguh memprihatinkan.
Keduanya tinggal dalam satu rumah berupa gubuk yang sudah reyot. Mereka berdua tinggal di gubuk yang menjadi satu dengan dapur.
Lantai gubuk itu terbuat dari tanah. Temboknya dari bedeg atau anyaman bambu. Beberapa bagian bedeg yang bolong juga ditutupi dengan sisa seng.
Atap dari genteng tampak bolong-bolong lantaran bagian kayu mengalami perapuhan. Tempat tidur kedua nenek ini beralas tikar plastik yang diatasnya diisi kain.
“Kalau hujan, tembus di sini. Air juga sampai ke tanah,” ujar Jempiring kemarin. Di gubuk itu, perabotan rumah tangga juga tampak rusak lantaran dimakan usia.
Meski hidup dengan kondisi begitu, keduanya tampak terbiasa dan menjadi keseharian mereka. Ni Ketut Jempiring mengaku, tidak bisa melihat sejak kecil karena bola matanya sudah pecah.
Sementara Nyoman Tunjung mengalami bermasalah pada mata sejak berusia 10 tahun lalu. “Awalnya sakit mata biasa, karena tidak diobati saya tidak bisa melihat,” ujarnya.
Karena keterbatasan fisik tersebut, nenek kakak beradik itu tidak menikah. Untuk membantu rutinitas mereka, kedua nenek itu menggantungkan hidup pada dua keponakannya, I Kadek Astawa dan Ni Kadek Tami.
Namun, semua kebutuhan Tunjung dan Jempiring tidak sepenuhnya bisa dipenuhi. Itu karena tulang punggung mereka hanya mengandalkan pekerjaan sebagai buruh serabutan.
Sesekali, Tunjung dan Jempiring itu dibantu oleh kerabat lainnya. Ni Kadek Tami menyatakan, untuk kesehariannya, Tunjung dan Jempiring ini sudah hafal medan rumahnya.
Untuk kegiatan bersih-bersih dan mencuci pakaian bisa dilakukan oleh keduanya. “Kalau jalan sendiri bisa, karena hafal posisi rumah. Tapi kalau ke kamar kecil harus dipapah karena licin,” jelas Tami.
Sebagai tumpuan keluarga, Ni Kadek Tami tidak bisa berbuat banyak. Itu karena perekonomian Tami berada di garis menengah ke bawah.
Untuk tempat tinggal juga memperoleh bantuan bedah rumah. Di sisi lain, masih ada satu lansia yang ada di pekarangan tersebut yakni Putu Kemek, 76.
Kemek pun tidak memiliki anak, sehingga di hari tua tidak ada yang merawat. Putu Kemek pun menempati rumah yang tidak jauh berbeda dari rumah yang ditempati Nyoman Tunjung.
Sementara itu, Kepala Lingkungan Banjar Pulesari Kawan, I Wayan Kardiasa mengaku Ni Ketut Jempiring dan Ni Nyoman Tunjung, termasuk Putu Kemek tercatat dalam satu kartu keluarga.
Mereka sudah memperoleh bantuan beras miskin (raskin) serta jaminan kesehatan. “Biasanya raskin ditebus sama keponakan Kadek Astawa,” ujar Kardiasa.
Setelah beras diambil, langsung dimasak untuk dihidangkan kepada keluarga tersebut. “Dan beras tersebut dimasak untuk kebutuhan Nyoman Tunjung dan saudara-saudaranya,” tukasnya.