24 C
Jakarta
13 September 2024, 6:29 AM WIB

Repetisi Bahaya, Sutradara Eksplorasi Emosi

SINGARAJA – Hajatan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya kian mendekati akhir. Pada pekan-pekan akhir, pementasan monolog-monolog karya Putu Wijaya

hampir setiap hari dilakukan di penjuru Bali. Bukan hanya di Singaraja, naskah juga dipentaskan di Tabanan, Denpasar, dan Bangli.

Sejak beberapa hari terakhir, Forum Teater Muda Bali Utara dengan intens menggelar pementasan monolog-monolog karya Putu Wijaya.

Pementasan itu dilangsungkan di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja. Pada Minggu (25/12) malam lalu, ada empat naskah monolog karya Putu Wijaya yang dipentaskan.

Empat naskah itu masing-masing “Bahaya” produksi Komunitas Mahima dengan aktor Satia Guna dan sutradara Wulan Dewi Saraswati;

“BOR” produksi Komunitas Puntung Rokok dengan aktor Gamma dan sutradara Hidayat; “Putra Jenderal” produksi Komunitas Senja dengan aktor Mpol dan sutradara Heri Windi Anggara;

serta Putri Ibu yang juga diproduksi Komunitas Senja dengan aktor Ody dan sutradara Komang Adi Wiguna.

Dari empat pementasan itu, salah satu pementasan yang menarik dicermati adalah naskah Bahaya. Naskah ini menceritakan mengenai psikologi seorang psikopat yang merasakan bahaya di sekitar dirinya.

Ia mempertanyakan dirinya sendiri dan menganggap bahwa dirinya adalah sumber bahaya. Naskah itu merujuk pada kondisi kekinian, yang mana manusia sibuk berusaha membunuh bahaya.

Padahal bahaya itu tak bisa dibunuh. Sebenarnya naskah ini sudah pernah dipentaskan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, pada Mei lalu.

Kali ini, sang sutradara berusaha menghadirkan sebuah repitisi pementasan dan menawarkan sebuah pementasan yang berbeda dengan pementasan sebelumnya.

Sutradara Wulan Dewi Saraswati mengakui, naskah yang dipentaskan pada Minggu malam lalu, sama dengan naskah yang dipentaskan pada Mei lalu. Bukan hanya naskahnya yang serupa, aktor dan sutradaranya pun sama.

“Sejak awal saya dan aktor memang sudah berkomitmen, pementasan pada bulan Mei lalu itu bukan puncak. Perlu ada sebuah pementasan lain.

Kebetulan kami dapat kesempatan, maka kami melakukan repetisi dengan tawaran-tawaran baru,” kata Wulan.

Menurut Wulan, pada pementasan kali ini, mereka lebih fokus pada emosi, narasi, dan tempo pementasan.

Sementara pada pementasan Mei lalu, mereka cenderung menggunakan idiom-idiom dalam pementasan. Salah satunya memanfaatkan buah semangka sebagai idiom pementasan.

Pada pementasan kali ini, aktor Satia Guna juga bermain lebih rileks dan lentur. Satia Guna hanya menggunakan sebuah kursi sebagai property.

Tak dinyana, kursi itu bisa berwujud berbagai macam simbol. Tak hanya itu, Satia juga memanfaatkan kotak hydrant sebagai lokasi pementasan. Kelenturan tubuhnya, terus dieksploitasi hingga titik tertinggi.

“Saya juga surprise aktor bisa bermain semaksimal itu. Pada naskah ini, emosi benar-benar kami manfaatkan.

Memang penonton menilai pementasan bulan Mei lebih baik. Tapi bagi saya dan aktor, kami merasa lebih puas dengan pementasan malam ini,” tegas Wulan. 

SINGARAJA – Hajatan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya kian mendekati akhir. Pada pekan-pekan akhir, pementasan monolog-monolog karya Putu Wijaya

hampir setiap hari dilakukan di penjuru Bali. Bukan hanya di Singaraja, naskah juga dipentaskan di Tabanan, Denpasar, dan Bangli.

Sejak beberapa hari terakhir, Forum Teater Muda Bali Utara dengan intens menggelar pementasan monolog-monolog karya Putu Wijaya.

Pementasan itu dilangsungkan di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja. Pada Minggu (25/12) malam lalu, ada empat naskah monolog karya Putu Wijaya yang dipentaskan.

Empat naskah itu masing-masing “Bahaya” produksi Komunitas Mahima dengan aktor Satia Guna dan sutradara Wulan Dewi Saraswati;

“BOR” produksi Komunitas Puntung Rokok dengan aktor Gamma dan sutradara Hidayat; “Putra Jenderal” produksi Komunitas Senja dengan aktor Mpol dan sutradara Heri Windi Anggara;

serta Putri Ibu yang juga diproduksi Komunitas Senja dengan aktor Ody dan sutradara Komang Adi Wiguna.

Dari empat pementasan itu, salah satu pementasan yang menarik dicermati adalah naskah Bahaya. Naskah ini menceritakan mengenai psikologi seorang psikopat yang merasakan bahaya di sekitar dirinya.

Ia mempertanyakan dirinya sendiri dan menganggap bahwa dirinya adalah sumber bahaya. Naskah itu merujuk pada kondisi kekinian, yang mana manusia sibuk berusaha membunuh bahaya.

Padahal bahaya itu tak bisa dibunuh. Sebenarnya naskah ini sudah pernah dipentaskan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, pada Mei lalu.

Kali ini, sang sutradara berusaha menghadirkan sebuah repitisi pementasan dan menawarkan sebuah pementasan yang berbeda dengan pementasan sebelumnya.

Sutradara Wulan Dewi Saraswati mengakui, naskah yang dipentaskan pada Minggu malam lalu, sama dengan naskah yang dipentaskan pada Mei lalu. Bukan hanya naskahnya yang serupa, aktor dan sutradaranya pun sama.

“Sejak awal saya dan aktor memang sudah berkomitmen, pementasan pada bulan Mei lalu itu bukan puncak. Perlu ada sebuah pementasan lain.

Kebetulan kami dapat kesempatan, maka kami melakukan repetisi dengan tawaran-tawaran baru,” kata Wulan.

Menurut Wulan, pada pementasan kali ini, mereka lebih fokus pada emosi, narasi, dan tempo pementasan.

Sementara pada pementasan Mei lalu, mereka cenderung menggunakan idiom-idiom dalam pementasan. Salah satunya memanfaatkan buah semangka sebagai idiom pementasan.

Pada pementasan kali ini, aktor Satia Guna juga bermain lebih rileks dan lentur. Satia Guna hanya menggunakan sebuah kursi sebagai property.

Tak dinyana, kursi itu bisa berwujud berbagai macam simbol. Tak hanya itu, Satia juga memanfaatkan kotak hydrant sebagai lokasi pementasan. Kelenturan tubuhnya, terus dieksploitasi hingga titik tertinggi.

“Saya juga surprise aktor bisa bermain semaksimal itu. Pada naskah ini, emosi benar-benar kami manfaatkan.

Memang penonton menilai pementasan bulan Mei lebih baik. Tapi bagi saya dan aktor, kami merasa lebih puas dengan pementasan malam ini,” tegas Wulan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/