Warga Banjar Ponggang Desa Puhu Kecamatan Payangan, I Wayan Sumadana, sudah 17 tahun hidup tanpa kaki kiri lantaran diamputasi pasca-kecelakaan maut.
Kini, Sumadana tidak berdiam diri, dia berusaha menghidupi diri sebagai tukang serabut kelapa. Bagaimana kisahnya?
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
TUMPUKAN kepala berserakan di halaman rumah I Wayan Sumadana di Banjar Ponggang, Desa Puhu Payangan.
Di rumah tersebut, ada Sumadana yang sedang sibuk mengupas kulit kelapa. Pria 40 tahun tersebut dengan cekatan mengupas kulit kelapa untuk dijual.
Sebuah tongkat penopang pun menemani ayah dua anak tersebut. Yang memprihatinkan, kaki kiri Sumadana, mulai bagian paha tidak ada.
“Ini gara-gara kejadian tabrakan waktu saya jadi kernet bus Jawa-Bali,” ujar Sumadana mengenang kisah perjalanan hidupnya, kemarin (29/12).
Kejadiannya 17 tahun silam, tepatnya tahun 2000 lalu berlokasi di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton Jawa Timur.
Saat itu, Wayan Sumadana bertugas sebagai kernet bus malam jurusan Jawa-Bali yang mengangkut puluhan penumpang dari Yogyakarta menuju Denpasar.
Saat kejadian, bus yang ditumpangi Sumadana menyalip truk gandeng melalui jalur sebelah kiri. Di saat yang bersamaan, dari arah berlawanan, meluncur sepeda motor.
Untuk menghindari adu jangkrik, pengemudi bus pun membanting setir ke kiri. “Bus langsung menghantam truk. Benturannya cukup keras, bus sampai terjungkal,” kenangnya.
Sumadana bersama 5 penumpang bus mengalami luka berat. “Tapi saya yang paling parah, urat nadi pada paha kiri pecah,” terangnya.
Minimnya fasilitas kesehatan dekat lokasi kejadian membuat penanganan menjadi terkendala. Lebih-lebih kejadiannya pukul 03.00, Wayan Sumadana terlambat mendapat pertolongan.
Wayan Sumadana sejatinya sempat dapat pertolongan di Puskesmas Probolinggo. Tapi karena lukanya cukup parah, pihak Puskesmas merujuknya ke RSUP Sanglah Denpasar.
Dari Puskesmas Probolinggo menuju RSUP Sanglah Denpasar, ambulans yang mengantar Sumadana memerlukan waktu selama 12 jam.
“Berangkat dari Probolinggo sekitar pukul setengah 9 pagi. Tiba di Sanglah jam 9 malam,” jelasnya. Saking lamanya dalam perjalanan, kondisi Sumadana pun semakin parah.
Hal itu dirasakan ketika baru melintasi jalur Cekik Jembrana. “Di Alas Cekik, infus macet tidak menyala,” terang suami dari Ni Luh Suarningsih, 40, ini.
Setibanya di RSUP Sanglah, Sumadana pun semakin drop sebab menurut tim medis infeksi pecahnya urat nadi pada paha sudah menjalar ke saraf di kepala.
“Solusinya harus diamputasi kata dokter. Jika tidak, bisa berakibat fatal karena infeksi sudah ke saraf,” terangnya.
Dengan berat hati, Sumadana yang kala itu masih lajang terpaksa mengiklaskan kakinya diamputasi. Selama satu bulan, Sumadana menjalani perawatan.
Pasca mengalami lakalantas, Sumadana menghabiskan dana sekitar Rp 40 juta untuk operasi. “Saat itu dapat santunan kecelakaan sekitar RP 28 juta.
Jasa Raharja sekitar Rp 6 juta. Tapi habisnya Rp 40 juta,” jelasnya. Sumadana pun sempat memakai kaki palsu. Ia beli di kawasan Panjer Denpasar seharga Rp 5,5 juta pada waktu itu.
“Saya pakai selama 10 tahun. Tapi karena sudah lama, kaki palsu itu rusak,” jelasnya. Karena rusak, Sumadana pun berharap bisa kembali memakai kaki palsu baru.
Namun karena keterbatasan biaya, sementara waktu ia pakai tongkat. “Beberapa lama pakai tongkat, adik saya kasihan lalu ajak saya ke Puspadi Bali di Denpasar. Saya dibuatkan kaki palsu disana,” kenangnya.
Tapi kaki palsu yang kedua ini sempat jatuh. Sumadana terpeleset saat memakainya berjalan-jalan.
“Hanya dipakai beberapa hari, kaki palsu itu patah. Lantas tak pernah pakai sampai sekarang,” keluhnya.
Waktu itu Sumadana mengalami syok berat. “Rasanya tak ada semangat hidup. Beruntung keluarga waktu itu menyemangati,” kenangnya.
Beruntung, Sumadana justru mendapat dukungan dari pacarnya yang setia dan kini menjadi pendamping hidupnya.
“Saat kejadian, kami pacaran baru setahun. Dia setia sekali merawat saya hingga akhirnya menikah 4 tahun kemudian,” paparnya.
Dari pernikahannya dengan Ni Luh Suarningsih asal Kubu Karangasem ini pun dikaruniai 2 anak. “Anak pertama perempuan sekarang kelas 1 SMP, anak kedua cowok baru kelas 2 SD,” jelasnya.
Pertemuannya dengan Luh Suarningsih pun cukup unik. Sumadana yang kernet bus dan Luh Suarningsih sebagai penumpang.
“Ketemunya di Jakarta, waktu istri saya ini numpang bus di tempat saya kerja. Saat tahu sama-sama dari Bali, langsung kenalan dan PDKT hingga akhirnya menikah tahun 2004,” ungkapnya.
Saat bekerja sebagai kernet bus malam, Sumadana biasa selama berhari-hari mondar-mandir Jawa-Bali. Sekali Pulang Pergi (PP), bus malam menghabiskan waktu selama 2 sampai 3 hari.
“Sistem kerjanya setelah 6 kali PP, libur 3 PP,” ujarnya. Pasca kakinya diamputasi, Sumadana pun tak lagi bisa melanglang buana menempuh perjalanan Jawa-Bali.
Kini ia hanya bekerja di rumahnya, mengupas serabut kelapa. “Ada yang bawa kelapa ke rumah, setiap hari 1 carry (colt),” jelasnya.
Dalam waktu 3 jam, dia berhasil mengupas kulit kelapa sebanyak 100 sampai 150 buah. “Kerjanya suka-suka saya. Kalau capek istirahat,” jelasnya.
Atas kemurahan hati pemilik buah kelapa, Sumadana pun kebagian sisa serabut kelapa. Dalam kondisi kering, kulit atau serabut kelapa dia jual seharga Rp 7 ribu per kampil.
“Ada juga serabut kelapa yang bagus untuk kerajinan, harganya beda,” jelasnya. Dari hasil inilah, Sumadana dan keluarga bisa bertahan hidup.
Hanya saja, harapannya untuk memiliki kaki palsu hanya tinggal harapan. Sebab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, Sumadana harus hidup pas-pasan.
“Saya maunya beli kaki palsu, tapi kebutuhan hidup banyak, jadi terus tertunda,” tukasnya.