Semula Nengah Sukasari, 54, berencana menggunakan uang bansos Rp 350 ribu untuk membeli sejumlah kebutuhan untuk anak-anaknya. Tapi di tengah jalan dia punya rencana lain.
Eka Prasetya, Buleleng
UANG sebanyak Rp 150 ribu dibelanjakan di Pasar Desa Bondalem. Berbagai sayur mayur hingga lauk pauk diborong. Ia juga membeli sebuah nyiru. Dalam perjalanan pulang sayur dan lauk itu dijajakan pada tetangga sekitar. Hal itu ia lakukan dengan berjalan kaki.
Mengelilingi Desa Pacung hingga ke Desa Sembiran. Ternyata dagangannya laku. Hari itu ia berhasil meraup untung sebanyak Rp 30 ribu. “Saya pikir waktu itu biar nggak rugi ke Tejakula. Karena tidak sempat kerja. Gimana caranya biar pulang bawa uang,” cerita Sukasari.
Keesokan harinya, ibu dari 9 orang anak ini memutuskan melakukan hal yang sama. Kali ini ia berangkat ke pasar pada pukul 03.00 pagi. Berbagai sayur dan lauk siap dijajakan. Mulai pukul 05.00 pagi hingga pukul 13.00 siang ia berkeliling menjajakan barang dagangan. Bila beruntung, Sukasari bisa membawa pulang uang Rp 50 ribu hingga lebih. Bila buntung, paling ia hanya menghasilkan Rp 20 ribu.
“Waktu itu rasanya sedih sekali harus berangkat pagi. Bapaknya jadi buruh berangkat pagi, saya juga berangkat pagi. Anak-anak ditinggal di rumah. Hanya saya selimuti terpal biar tidak kedinginan. Saya tinggal cari uang, siangnya baru ketemu anak. Begitu susah hidup saya dulu,” kenang Sukasari seraya meneteskan air mata.
Setelah beberapa bulan berjualan, ia melihat beberapa ibu yang sibuk membeli kue dan dodol untuk hari raya. Dari sana Sukasari terpikir untuk membuat dodol. Ide itu ia lontarkan pada suaminya, Wayan Srinada, 55. (Bersambung)