33 C
Jakarta
24 November 2024, 13:17 PM WIB

Melihat Koleksi Buku Tua di Museum Lontar Gedong Kirtya, Buleleng

Musem Lontar Gedong Kirtya selama ini dikenal sebagai pusat koleksi lontar. Selain lontar, ada pula koleksi berupa buku-buku tua berbahasa Belanda. Seperti apa koleksi buku tersebut?

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

LEMARI tua berwarna hitam itu terlihat begitu mencolok. Di dalam lemari, ratusan buku tersimpan. Kertas-kertasnya kuning dimakan usia.

 

Dari stiker inventaris, tertulis bahwa lemari itu didapat pada tahun 1928 silam. “Ini lemari asli Gedong Kirtya. Memang sejak Gedong Kirtya berdiri, lemari ini sudah ada. Lemarinya masih kuat dan kami gunakan hingga saat ini,” kata Kepala UPT Museum Lontar Gedong Kirtya, Dewa Ayu Putu Susilawati.

 

Lemari itu digunakan untuk menyimpan koleksi buku-buku dalam Bahasa Belanda dan Jerman. Dalam catatan inventaris Gedong Kirtya, tertulis ada 8.494 eksemplar buku yang tersimpan. Namun belum diketahui ada berapa banyak judul yang tersimpan di sana.

 

Susilawati mengungkapkan, buku-buku merupakan salah satu koleksi awal di Gedong Kirtya. Diduga sebagian besar buku merupakan koleksi dari Herman Neubronner van der Tuuk. Van der Tuuk dikenal adalah pendiri Gedong Kirtya. Dia juga dikenal sebagai pakar bahasa sekaligus peletak dasar linguistik modern.

 

Buku yang dikoleksi bertarik tahun 1800-an hingga yang terbaru berasal dari tahun 1960-an. “Sebagian besar memang masih berbahasa Belanda,” ungkapnya.

 

Menurut Susilawati merawat buku-buku tua penuh tantangan. Apalagi buku itu disimpan dalam sebuah lemari yang cukup tua.

 

Untuk merawat buku tersebut, pengelola museum harus rutin membersihkan debu. Kapur barus dan silica gel juga harus diletakkan di lemari. Bahkan harus diganti secara berkala. Tepatnya sebulan sekali.

 

Selain itu lemari juga harus dibersihkan secara rutin. Pegawai museum rutin menyemprotkan cairan anti rayap. Cairan itu kemudian diseka secara merata di seluruh bagian. Agar tak dimakan rayap.

 

Lebih lanjut Susilawati mengungkapkan, saat ini pihaknya tengah melakukan inventarisasi ulang terhadap koleksi buku di museum. Sebab beberapa buku sudah rusak, tak bisa dibaca kembali.

 

“Saat kami pindahkan, ternyata sudah habis dimakan rayap. Jadi sudah tidak berbentuk lagi. Sudah jadi bubur. Memang ini tantangan dalam mengoleksi manuskrip,” imbuhnya.

 

Susilawati mengungkapkan, saat ini pihaknya masih memiliki sejumlah tantangan lain. Yakni melakukan alih bahasa terhadap buku-buku tersebut. Menurutnya, sebelum pandemi berlangsung, cukup banyak wisatawan asal Belanda yang datang ke museum. Mereka menyempatkan diri membaca buku-buku tua. Meski hanya membaca beberapa bagian.

 

Dari penjelasan wisatawan-wisatawan itu, pengelola museum mampu mengklasifikasikan sejumlah buku. Ada yang berupa buku sejarah, ensiklopedia, buku sastra, ada pula yang berupa majalah.

 

“Kami sih ingin bisa melakukan alih bahasa. Tapi kendalanya kami tidak punya SDM yang mampu menerjemahkan. Sekitar dua tahun lalu ada mahasiswa magang dari Belanda yang mau menerjemahkan. Tapi belum selesai satu buku, sudah dipanggil kembali ke negaranya. Akhirnya ya tertunda sampai sekarang,” demikian Susilawati. (/*)

Musem Lontar Gedong Kirtya selama ini dikenal sebagai pusat koleksi lontar. Selain lontar, ada pula koleksi berupa buku-buku tua berbahasa Belanda. Seperti apa koleksi buku tersebut?

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

LEMARI tua berwarna hitam itu terlihat begitu mencolok. Di dalam lemari, ratusan buku tersimpan. Kertas-kertasnya kuning dimakan usia.

 

Dari stiker inventaris, tertulis bahwa lemari itu didapat pada tahun 1928 silam. “Ini lemari asli Gedong Kirtya. Memang sejak Gedong Kirtya berdiri, lemari ini sudah ada. Lemarinya masih kuat dan kami gunakan hingga saat ini,” kata Kepala UPT Museum Lontar Gedong Kirtya, Dewa Ayu Putu Susilawati.

 

Lemari itu digunakan untuk menyimpan koleksi buku-buku dalam Bahasa Belanda dan Jerman. Dalam catatan inventaris Gedong Kirtya, tertulis ada 8.494 eksemplar buku yang tersimpan. Namun belum diketahui ada berapa banyak judul yang tersimpan di sana.

 

Susilawati mengungkapkan, buku-buku merupakan salah satu koleksi awal di Gedong Kirtya. Diduga sebagian besar buku merupakan koleksi dari Herman Neubronner van der Tuuk. Van der Tuuk dikenal adalah pendiri Gedong Kirtya. Dia juga dikenal sebagai pakar bahasa sekaligus peletak dasar linguistik modern.

 

Buku yang dikoleksi bertarik tahun 1800-an hingga yang terbaru berasal dari tahun 1960-an. “Sebagian besar memang masih berbahasa Belanda,” ungkapnya.

 

Menurut Susilawati merawat buku-buku tua penuh tantangan. Apalagi buku itu disimpan dalam sebuah lemari yang cukup tua.

 

Untuk merawat buku tersebut, pengelola museum harus rutin membersihkan debu. Kapur barus dan silica gel juga harus diletakkan di lemari. Bahkan harus diganti secara berkala. Tepatnya sebulan sekali.

 

Selain itu lemari juga harus dibersihkan secara rutin. Pegawai museum rutin menyemprotkan cairan anti rayap. Cairan itu kemudian diseka secara merata di seluruh bagian. Agar tak dimakan rayap.

 

Lebih lanjut Susilawati mengungkapkan, saat ini pihaknya tengah melakukan inventarisasi ulang terhadap koleksi buku di museum. Sebab beberapa buku sudah rusak, tak bisa dibaca kembali.

 

“Saat kami pindahkan, ternyata sudah habis dimakan rayap. Jadi sudah tidak berbentuk lagi. Sudah jadi bubur. Memang ini tantangan dalam mengoleksi manuskrip,” imbuhnya.

 

Susilawati mengungkapkan, saat ini pihaknya masih memiliki sejumlah tantangan lain. Yakni melakukan alih bahasa terhadap buku-buku tersebut. Menurutnya, sebelum pandemi berlangsung, cukup banyak wisatawan asal Belanda yang datang ke museum. Mereka menyempatkan diri membaca buku-buku tua. Meski hanya membaca beberapa bagian.

 

Dari penjelasan wisatawan-wisatawan itu, pengelola museum mampu mengklasifikasikan sejumlah buku. Ada yang berupa buku sejarah, ensiklopedia, buku sastra, ada pula yang berupa majalah.

 

“Kami sih ingin bisa melakukan alih bahasa. Tapi kendalanya kami tidak punya SDM yang mampu menerjemahkan. Sekitar dua tahun lalu ada mahasiswa magang dari Belanda yang mau menerjemahkan. Tapi belum selesai satu buku, sudah dipanggil kembali ke negaranya. Akhirnya ya tertunda sampai sekarang,” demikian Susilawati. (/*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/