DENPASAR– Mantan Bendesa Adat Sunantaya, Tabanan, I Gede Wayan Sutarja, 57, menjalani sidang pembuktian secara daring di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (7/4).
Perbuatan culas mantan anggota DPRD Tabanan itu dibeber oleh para saksi yang dihadirkan JPU Kejari Tabanan. Akibat perbuatan terdakwa LPD Sunantaya mengalami kerugian Rp 1,1 miliar
Saksi pertama yang memberikan keterangan adalah Pande Nyoman Renata. Pria 61 tahun itu saat ini menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketua LPD Sunantaya. Sebelumnya dia menjadi anggota tim pendamping Lembaga Pemberdayaan LPD (LPLPD).
“Sampai sekarang LPD Sunantaya masih sakit. Tapi, kami masih berusaha memulihkan,” ujar Renata.
JPU lantas menanyakan temuan yang didapat saksi saat menjadi LPLPD. Renata mengungkapkan, timnya berhasil menemukan beberapa penyimpangan. Di antaranya terdakwa Sutarja meminjam uang LPD tapi tidak dikembalikan. Pihaknya juga menemukan selisih dalam neraca kas dan selisih pengeluaran kredit.
Selian itu juga ditemukan pemberian kredit yang melampaui batas terhadap terdakwa Sutarja, terdakwa Ni Putu Eka Suwandewi (sekretaris LPD), dan terdakwa I Gede Ketut Sukerta (mantan Ketua LPD) yang sudah divonis 5,5 tahun.
Saksi juga mengungkapkan Sutarja sebagai Bendesa adat sekaligus pengawas LPD mendapatkan fasilitas suku bunga di bawah ketentuan. Dalam rapat desa adat disepakati suku bunga 2,75 persen untuk semua nasabah. Namun, terdakwa Sutarja meminjam dengan bunga di bawah 2,75 persen.
Parahnya lagi, Sutarja lebih dari dua kali mengajukan pinjaman kredit. Tercatat Sutarja memiliki tujuh pinjaman di LPD Sunantaya. Padahal, satu orang hanya berhak mengajukan satu kali pinjaman.
“Pinjaman pertama dan kedua macet, tapi masih diberikan pinjaman. Terdakwa juga sempat menggunakan nama desa adat untuk meminjam uang. Atas nama desa adat, tapi dipakai untuk kepentingan pribadi,” ungkap Renata.
JPU lantas menanyakan alasan pengurus LPD memberikan fasilitas plus pada Sutarja. “Apakah karena terdakwa bendesa adat, sehingga ada rasa sungkan?” tanya jaksa. Saksi mengatakan, terdakwa mendapatkan fasilitas kredit seperti itu karena ada komunikasi dengan ketua LPD sebelumnya yang sudah menjadi terpidana.
Fakta tidak kalah mengejutkan terungkap saat JPU menanyakan modus Eka Suwandewi. Saksi mengatakan, Suwandewi melakukan kas bon dana LPD. Padahal hal itu tidak diperbolehkan. “Apakah terdakwa Suwandewi juga mengajukan kredit tanpa agunan?” cecar jaksa. “Iya, betul,” jawab saksi.
Dikatakan saksi, apa yang dilakukan Suwandewi sudah merupakan pelanggaran aturan LPD. Sebab, ada perarem (aturan adat) menyatakan pinjaman Rp 1 juta ke atas wajib menyertakan agunanan atau jaminan. Hanya pinjaman di bawah Rp 1 juta yang tanpa jaminan.
Dua saksi lainnya adalah I Dewa Nyoman Alit Astina (coordinator LPLPD), dan Pande Nyoman Suka Adnyana.
Di sisi lain, majelis hakim yang diketuai Heriyanti mengabulkan permohonan pengalihan penahanan yang diajukan terdakwa Eka Suwandewi. Hakim berani mengalihkan penahanan rutan menjadi tahanan kota karena suami terdakwa memberi jaminan. Alasan lain karena kesehatan.
“Kami kabulkan pengalihan penahanan karena terdakwa Suwandewi sakit jantung. Terdakwa mengalami pelonggaran katup jantung,” kata Heriyanti.
Selama sidang kemarin hakim juga mengingatkan Suwandewi, jika tidak kuat agar berterus terang.
Langkah Suwandewi meminta pengalihan penahanan ini diikuti Sutarja. Melalui pengacaranya, Sutarja minta pengalihan penahanan rutan menjadi tahanan rumah. Permohonan itu sempat dipertanyakan hakim. Rupanya pengacara Sutarja tidak paham perbedaan antara tahanan rumah dan tahanan kota.
“Benar ini, mau jadi tahanan rumah? Tahanan rumah atau tahanan kota? Kalau tahanan rumah tidak boleh keluar rumah, lo. Kalau tahanan kota bisa berobat dalam kota,” goda hakim Heriyanti.
Hakim yang juga Ketua PN Buleleng itu juga menjelaskan perbedaan masa hitung tahanan rumah dan tahanan kota. Jika tahanan rumah tiga hari dihitung satu hari, sedangkan tahanan kota lima hari dihitung satu hari. “Kalau begitu tahanan kota, Yang Mulia,” ucap pengacara Sutarja.