DENPASAR – Hebohnya pemberitaan terkait ibu-ibu yang menari mirip rejang namun bergaya India di depan Pura Samuantiga, Bedulu, Gianyar mendapatkan tanggapan dari PHDI Bali.
Ketua PHDI Bali Nyoman Kenak ketika dihubungi radarbali.id menyayangkan adanya Tiktok di areal Pura tersebut. Terlihat ibu-ibu itu menari dengan busana putih kuning, yang sepintas kelihatan seperti tari rejang.
Namun tiba-tiba ada bagian yang menunjukkan goyangan rada erotik dan tidak terkait dengan ritual ‘’ngayah’’ seperti misalnya tarian Rejang yang sering terlihat di Pura.
Video yang viral tersebut sudah mendapat tanggapan, kecaman, kritik bahkan kata-kata yang keras dari sejumlah netizen di media sosial.
Bagi Kenak, keberatan netizen itu menggambarkan bahwa tarian model begitu, yang dibuat untuk konten aplikasi tidaklah pantas dilakukan di areal pura.
“Kejadian ini perlu mendapat renungkan dan introspeksi diri dari kita umat Hindu, karena umat Hindu yang mengetahui batas-batas mana yang boleh dan pantas, serta mana yang tidak boleh dan tidak pantas, seharusnya tidak dilakukan. Tidak mungkin membebankan semua hal itu pada Bendesa dan Prajuru atau Pecalang, karena mereka juga tidak 24 jam ‘’mekemit’’ di Pura,’’ kata Nyoman Kenak pada Jumat (6/5/2022).
‘’Kalau bagian dari kita saja masih belum bisa membedakan mana yang boleh dan pantas dengan yang tidak boleh dan tidak pantas dilakukan di areal pura, apalagi wisatawan-wisatawan asing dan domestik yang notabena bukan semeton Hindu,”lanjutnya.
Ditambah dengan terbatasnya informasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di areal pura dan tempat serta simbol suci lainnya, maka kejadian seperti ini, Kenak mengatakan ke depan berpotensi makin banyak terjadi.
“Selain bisa dilakukan oleh wisatawan asing maupun nusantara, potensinya juga dilakukan oleh umat Hindu sendiri yang seharusnya lebih tahu dan menjaga kesucian areal pura kita,’’ imbuh Kenak.
Karenanya, Kenak mengimbau sesama umat Hindu dari berbagai lembaga, seperti Pengempon dan penyungsung pura, desa adat, dadya, pesemetonan, organisasi Hindu harus sama-sama introspeksi. Dan memperluas edukasi tentang bagaimana simbol dan tempat suci Hindu di Bali mesti kita jaga dari perilaku yang tidak sesuai dan tidak pantas.
Dan untuk mengembalikan kesucian tempat-tempat suci itu dari perilaku yang tidak pantas dan bisa ngeletehin, mencemari kesuciannya, para pelaku harus ngaturang upacara seperti guru piduka dan ritual lain yang diperlukan, sebagai sanksi dan kewajiban atas kesalahannya.
“Mari kurangi menghakimi mereka yang perilakunya kurang tepat, tapi menyadarkan dan mengajak kembali menghargai dan menjaga kesucian tempat suci umat Hindu secara sadar dan bertanggung jawab. Kalau edukasi terus ditingkatkan, ke depan kejadian-kejadian seperti ini bisa berkurang,’’ tutup Kenak.