Tahun ajaran baru 2022/2023 dibuka. Setelah menuntaskan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kini pemerintah harus menyelesaikan tugas baru. Yakni memburu anak-anak yang putus sekolah. Seperti apa caranya?
Eka Prasetya, Buleleng
SEREMONI Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dimulai. Kegiatan yang dulu dikenal dengan sebutan Masa Orientasi Siswa (MOS) itu menandai awal tahun ajaran baru 2022/2023.
Di Kabupaten Buleleng, seremonial MPLS dilakukan di SMPN 1 Singaraja. Seremoni itu ditandai dengan apel bendara di lapangan sekolah. Kegiatan itu juga dihadiri Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, I Made Astika.
Usai MPLS, Astika mengungkapkan, perhatian Disdikpora Buleleng kini dipusatkan pada partisipasi siswa di jenjang SMP. Dari hasil pendataan Disdikpora Buleleng, ada ratusan siswa lulusan sekolah dasar yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP.
Mengacu data Disdikpora Buleleng, pada tahun ajaran 2021/2022 jumlah lulusan SD mencapai 11.963 orang siswa. Sementara pada tahun 2022/2023, jumlah siswa baru di jenjang SMP hanya 11.523 orang. Itu artinya ada 440 orang lulusan SD yang diduga tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Astika mengungkapkan, selisih data itu bisa disebabkan sejumlah hal. Pertama, ada siswa yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. Kedua, ada siswa yang melanjutkan pendidikan di jenjang madrasah.
“Penyebab lainnya, bisa saja dia melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren di luar Bali. Jadi tidak terdata di Dapodik. Biasanya banyak lulusan SD di Gerokgak yang melanjutkan ke pesantren,” kata Astika.
Ia mengatakan, Disdikpora telah menginstruksikan seluruh kepala SD di Buleleng untuk menelusuri lulusan mereka. Guna memastikan bahwa siswa itu benar-benar melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Apabila ada yang tidak melanjutkan, maka pihaknya akan menggerakkan posko drop out. Tim satgas yang disiagakan di posko drop out, akan mengidentifikasi permasalahan siswa. Selanjutnya masalah itu akan dipecahkan,dengan harapan siswa itu dapat melanjutkan pendidikannya.
“Tidak ada alasan tidak ada biaya, karena sekolah sudah ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Tapi kalau ada masalah lain, seperti uang transport, tidak punya biaya untuk seragam, ini akan kami pecahkan lewat bantuan dari pihak ketiga,” ujarnya.
Hal-hal seperti itu, kata Astika, relatif mudah dipecahkan. Hal yang lebih sulit bila anak tidak memiliki kemauan untuk belajar. “Pernah juga kami ketemu kasus, orang tua yang tidak mau menyekolahkan anak. Nanti kami lakukan pendekatan personal bersama tokoh masyarakat setempat. Supaya mereka tetap mendapat haknya melanjutkan pendidikan,” demikian Astika. (*)