32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 14:57 PM WIB

Masjid Jamik Baitul Arham, Simbol Pluralisme, Berusia Ratusan Tahun

RadarBali.com- Keberagaman budaya di Kabupaten Sumenep membuat masyarakatnya pun berfikir terbuka dan bahkan plural.

Keterbukaan itu tergambar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Salah satunya tergambar jelas lewat tempat peribadatan dari tiga agama yang berdiri kokoh di satu lokasi di Desa Pabean, Kecamatan Kota Sumenep, Jawa Timur.

Di lokasi itu terdapat Kelenteng Pao Sian Lian Kong  yang sudah berusia sekitar 200 tahun. Berjarak beberapa meter terdapat Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel yang berusia sekitar 100 tahun.

 Bersebelahan lagi dengan tempat itu berdiri kokoh peribadatan umat Islam Masjid Jamik Baitul Arham.

Kendati lokasinya berdekatan selama puluhan bahkan ratusan tahun, tidak pernah terjadi insiden intoleransi perbedaan agama. Masing-masing umat beragama tetap saling menghargai satu sama lain.

Terutama saat setiap umat beragama melaksanakan ibadahnya masing-masing.

Keturunan Tioghoa generasi ke sembilan Edhi Setiawan mengakui bahwa pluralisme masyarakat di Sumenep sangat luar biasa.

Terbukti, sejak berdirinya Kelenteng Pao Sian Lian Kong di Desa Pabean tidak pernah terganggu oleh penganut agama lain. Sebagai warga dengan agama minoritas itu dia meyakini keterbukaan warga Sumenep dengan adanya perbedaan.

 ”Di Desa Pabean ada tiga peribadatan berbeda. Namun dalam sejarah tidak pernah terjadi masalah. Bahkan tidak saling terganggu,” ucap laki-laki keturunan Hokkian, Tiongkok yang tiba ke Sumenep pertengahan abad ke-18 lalu.

Diakui leluhurnya yang berasal dari Tiongkok, masuk pada masa peralihan Dinasti Ming ke Ching. Leluhurnya sendiri seorang lelaki dan menikah dengan perempuan lokal, sehingga dirinya sangat mencintai budaya lokal.

 ”Adanya keterbukaan masyarakat ini sangat baik menyongsong Visit Years 2018. Kami sangat bangga dengan masyarakat Sumenep, Madura umumnya dengan jiwa toleransinya yang sangat tinggi,” tuturnya.

Dikatakan, kerukunan di Sumenep tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Namun kerukunan umat beragama antara sudah terjadi sejak ratusan tahun silam. Salah satu bukti dengan adanya bangunan di Mesjid Jamik dengan arsitektur China Law Piango. Masjid Jamik Baitul Arham dibangun pada tahun 1779 Masehi dan selesai 1787 Masehi.

 ”Saya cari di semua buku catatan tidak pernah ada konflik agama di Sumenep. Ketika Natal, agama lain menghargai. Saat berkumandang suara azan agama lain pun juga menghargai. Luar biasa kerukunan umat beragama di Sumenep,” imbuh laki-laki yang sudah berusia 71 tahun tersebut.

Sementara Budayawan Sumenep Zawawi Imron membenarkan kerukunan umat beragama di Sumenep terpelihara dengan baik selama ini.

Peraih penghargaan The S.E.A Write Award di Bangkok Thailand itu mengaku pluralisme masyarakat terbentuk dari budaya.

”Dari zaman dulu Sumenep mempunyai sejarah hati yang bersih. Masyarakat tidak mempunyai niatan mencelakakan orang lain. Hal itulah yang menjadi dasar kerukunan antar beragama,” katanya.

Diakui, banyak pantun madura yang mencerminkan sikap masyarakat Madura. Menurutnya masyarakat Sumenep memang menghargai perbedaan. Dilihat dari sejarah masyarakat tidak memaksakan sebuah keyakinan.

 Adanya Masjid, Kelenteng dan Gereja di satu lokasi menjadi bukti bisu kerukunan antar umat beragama. ”Sampai saat tidak terjadi apapun antara umat beragama di Sumenep. Ini berarti nilai-nilai keberagaman dan kerukunan masih terpelihara dengan baik. Saya berharap sikap ini perlu dirawat bersama,” kata pengarang sajak Celurit Emas ini.

Sementara salah satu anggota tim kelompok kerja (Pokja) Visit Years 2018 Ibnu Hajar mengatakan dalam catatan sejarah masyarakat Sumenep terbuka.

 Buku Raffles dalam judulnya history of Java yang diteliti pada masa kerajaan Abdurrahman Saleh juga menjadi bukti.

 ”Keterbukaan yang terbuka, itulah Kota Sumenep. Jadi Sumenep menjadi masyarakat yang inklusif. Kesiapan pemeliharaan kebudayaan di Sumenep sulit terpengaruh. Jadi masyarakat Sumenep saya nilai siap menyambut Visit Years 2018,” katanya.

Salah satu Budayawan Sumenep itu menambahkan, dalam konteks kekinian masyarakat Sumenep masih terbuka.

 Sehingga masyarakat tetap menerima adanya keberagaman dan kemajemukan keyakinan. Pada Visit Years 2018 nanti warga asing tidak perlu khawatir datang ke Kota Sumenep.

”Siapapun yang pernah minum dirumahku dialah saudaraku. Artinya siapapun yang pernah berkunjung ke Sumenep itu harus dihargai. Itulah salah satu kebudayaan yang berkembang di masyarakat,”imbuh laki-laki yang dikenal sebagai seorang sastrawan tersebut. 

RadarBali.com- Keberagaman budaya di Kabupaten Sumenep membuat masyarakatnya pun berfikir terbuka dan bahkan plural.

Keterbukaan itu tergambar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Salah satunya tergambar jelas lewat tempat peribadatan dari tiga agama yang berdiri kokoh di satu lokasi di Desa Pabean, Kecamatan Kota Sumenep, Jawa Timur.

Di lokasi itu terdapat Kelenteng Pao Sian Lian Kong  yang sudah berusia sekitar 200 tahun. Berjarak beberapa meter terdapat Gereja Katolik Paroki Maria Gunung Karmel yang berusia sekitar 100 tahun.

 Bersebelahan lagi dengan tempat itu berdiri kokoh peribadatan umat Islam Masjid Jamik Baitul Arham.

Kendati lokasinya berdekatan selama puluhan bahkan ratusan tahun, tidak pernah terjadi insiden intoleransi perbedaan agama. Masing-masing umat beragama tetap saling menghargai satu sama lain.

Terutama saat setiap umat beragama melaksanakan ibadahnya masing-masing.

Keturunan Tioghoa generasi ke sembilan Edhi Setiawan mengakui bahwa pluralisme masyarakat di Sumenep sangat luar biasa.

Terbukti, sejak berdirinya Kelenteng Pao Sian Lian Kong di Desa Pabean tidak pernah terganggu oleh penganut agama lain. Sebagai warga dengan agama minoritas itu dia meyakini keterbukaan warga Sumenep dengan adanya perbedaan.

 ”Di Desa Pabean ada tiga peribadatan berbeda. Namun dalam sejarah tidak pernah terjadi masalah. Bahkan tidak saling terganggu,” ucap laki-laki keturunan Hokkian, Tiongkok yang tiba ke Sumenep pertengahan abad ke-18 lalu.

Diakui leluhurnya yang berasal dari Tiongkok, masuk pada masa peralihan Dinasti Ming ke Ching. Leluhurnya sendiri seorang lelaki dan menikah dengan perempuan lokal, sehingga dirinya sangat mencintai budaya lokal.

 ”Adanya keterbukaan masyarakat ini sangat baik menyongsong Visit Years 2018. Kami sangat bangga dengan masyarakat Sumenep, Madura umumnya dengan jiwa toleransinya yang sangat tinggi,” tuturnya.

Dikatakan, kerukunan di Sumenep tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Namun kerukunan umat beragama antara sudah terjadi sejak ratusan tahun silam. Salah satu bukti dengan adanya bangunan di Mesjid Jamik dengan arsitektur China Law Piango. Masjid Jamik Baitul Arham dibangun pada tahun 1779 Masehi dan selesai 1787 Masehi.

 ”Saya cari di semua buku catatan tidak pernah ada konflik agama di Sumenep. Ketika Natal, agama lain menghargai. Saat berkumandang suara azan agama lain pun juga menghargai. Luar biasa kerukunan umat beragama di Sumenep,” imbuh laki-laki yang sudah berusia 71 tahun tersebut.

Sementara Budayawan Sumenep Zawawi Imron membenarkan kerukunan umat beragama di Sumenep terpelihara dengan baik selama ini.

Peraih penghargaan The S.E.A Write Award di Bangkok Thailand itu mengaku pluralisme masyarakat terbentuk dari budaya.

”Dari zaman dulu Sumenep mempunyai sejarah hati yang bersih. Masyarakat tidak mempunyai niatan mencelakakan orang lain. Hal itulah yang menjadi dasar kerukunan antar beragama,” katanya.

Diakui, banyak pantun madura yang mencerminkan sikap masyarakat Madura. Menurutnya masyarakat Sumenep memang menghargai perbedaan. Dilihat dari sejarah masyarakat tidak memaksakan sebuah keyakinan.

 Adanya Masjid, Kelenteng dan Gereja di satu lokasi menjadi bukti bisu kerukunan antar umat beragama. ”Sampai saat tidak terjadi apapun antara umat beragama di Sumenep. Ini berarti nilai-nilai keberagaman dan kerukunan masih terpelihara dengan baik. Saya berharap sikap ini perlu dirawat bersama,” kata pengarang sajak Celurit Emas ini.

Sementara salah satu anggota tim kelompok kerja (Pokja) Visit Years 2018 Ibnu Hajar mengatakan dalam catatan sejarah masyarakat Sumenep terbuka.

 Buku Raffles dalam judulnya history of Java yang diteliti pada masa kerajaan Abdurrahman Saleh juga menjadi bukti.

 ”Keterbukaan yang terbuka, itulah Kota Sumenep. Jadi Sumenep menjadi masyarakat yang inklusif. Kesiapan pemeliharaan kebudayaan di Sumenep sulit terpengaruh. Jadi masyarakat Sumenep saya nilai siap menyambut Visit Years 2018,” katanya.

Salah satu Budayawan Sumenep itu menambahkan, dalam konteks kekinian masyarakat Sumenep masih terbuka.

 Sehingga masyarakat tetap menerima adanya keberagaman dan kemajemukan keyakinan. Pada Visit Years 2018 nanti warga asing tidak perlu khawatir datang ke Kota Sumenep.

”Siapapun yang pernah minum dirumahku dialah saudaraku. Artinya siapapun yang pernah berkunjung ke Sumenep itu harus dihargai. Itulah salah satu kebudayaan yang berkembang di masyarakat,”imbuh laki-laki yang dikenal sebagai seorang sastrawan tersebut. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/