SINGARAJA – Upaya pemerintah menggenjot pendapatan dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diprediksi tidak akan efektif. Sebab penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terlampau tinggi. Dampaknya kemampuan masyarakat membayar pajak pun akan menurun.
Hal itu terungkap dalam Rapat Paripurna DPRD Buleleng kemarin (20/9). Rapat itu mengagendakan pembacaan jawaban Bupati Buleleng atas pemandangan fraksi-fraksi DPRD Buleleng terhadap Ranperda APBD Perubahan Tahun 2022.
Salah satu yang disoroti oleh DPRD Buleleng adalah pendapatan dari sektor pajak, khususnya PBB. Hal itu dikritisi Fraksi Golkar DPRD Buleleng. Mereka menilai bahwa NJOP terhadap nilai tanah pertanian di Buleleng, masih terlalu tinggi.
“Buktinya banyak masyarakat yang mengajukan keberatan, dampak mereka tidak mampu membayar kewajiban pajaknya,” kata Ketua Fraksi Golkar DPRD Buleleng, Nyoman Gede Wandira Adi.
Menurut Wandira sejak Perda PBB disesuaikan, banyak petani yang mengeluh tak mampu membayar pajak karena NJOP dianggap terlalu tinggi. NJOP yang ditetapkan tidak sesuai dengan harga pasar di daerah tersebut.
“Mungkin yang menaksir nilai tanah itu hanya di atas meja. Contoh di Desa Tista (Kecamatan Busungbiu), di sana itu ada NJOP tanah perkebunan yang sampai Rp 1 miliar per hektare, ada juga yang sampai Rp 2,38 miliar per hektare,” katanya.
Ia mendesak agar pemerintah benar-benar mendengarkan keluhan petani. Sebab pemerintah memiliki kebijakan untuk menyesuaikan kembali NJOP lahan pertanian. “Ini sudah empat kali kami sampaikan dalam paripurna. Tapi selalu dijawab sudah sesuai regulasi. Padahal kalau benar-benar mau dengar masyarakat, banyak yang mengeluh,” imbuhnya.
Sementara itu Penjabat Bupati Buleleng, Ketut Lihadnyana, mengungkapkan, berdasarkan data ada 262.685 lembar Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang disebar. Dengan potensi pendapatan sebesar Rp 29,23 miliar. “Perkiraan yang mampu membayar sampai 60 persen,” kata Lihadnyana singkat. (eps/pit)