SINGARAJA– Penjabat Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana berjanji akan menanggulangi masalah kemiskinan di Buleleng. Ia mengklaim telah menyusun strategi penanggulangan. Sehingga angka kemiskinan dapat ditekan semaksimal mungkin.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) Buleleng, tingkat kemiskinan di Buleleng pada tahun 2019 sebenarnya hanya 34.260 jiwa. Namun pada tahun 2021, naik menjadi 40.920 jiwa. Itu berarti selama masa pandemi, ada 6.660 orang miskin baru di Buleleng.
Bukan hanya kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka juga melonjak. Kontraksi ekonomi yang terjadi pada 2020 dan 2021 lalu, mengakibatkan jumlah pengangguran bertambah. Pada tahun 2020 lalu, tercatat ada 19.861 orang pengangguran. Sedangkan pada tahun 2020 meningkat menjadi 20.234 orang.
Kebijakan pemerintah pusat yang menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan tarif bahan bakar minyak (BBM) juga diprediksi akan meningkatkan angka pengangguran terbuka, dan angka kemiskinan.
Saat ditemui kemarin, Lihadnyana menyatakan pemerintah telah menyiapkan program perlindungan sosial. Namun ia meminta agar data masyarakat miskin disusun dengan valid. Sehingga tak ada lagi masyarakat miskin yang tercecer dari data, atau warga yang sudah mampu secara ekonomi justru masuk dalam data masyarakat miskin.
“2023 itu kita harus firm datanya untuk bantu masyarakat yang kurang beruntung. Pemerintah harus hadir di tengah mereka,” ujar Lihadnyana saat ditemui di Gedung DPRD Buleleng kemarin.
Dalam waktu dekat, BPS juga akan melakukan sensum program Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek). Dalam sensus itu Lihadnyana meminta agar petugas sensus memperhatikan titik-titik kritikal. Apalagi tak sedikit masyarakat yang merekayasa kondisi ekonomi mereka.
“Saya punya pengalaman di pemutakhiran basis data terpadu. Karena ada saja oknum masyarakat yang tidak malu dikategorikan miskin dan berharap dimasukkan sebagai data miskin meskipun mereka kaya. Itu persoalannya,” imbuh pria yang juga Kepala BKPSDM Bali itu.
Untuk itu ia meminta agar petugas BPS yang melakukan survey benar-benar melakukan verifikasi secara fkctual di lapangan. Sebab bila sensus tak dilakukan secara faktual, maka banyak warga miskin yang berpotensi tercecer. Alhasil perencanaan dan eksekusi program pembangunan juga berpotensi tidak tepat sasaran. (eps)