27.1 C
Jakarta
23 November 2024, 17:06 PM WIB

Made Sukanta Wahyu, Seniman Gaek yang Konsisten Berkarya di Usia Senja

Seniman patung dan lukis Kabupaten Klungkung, Made Sukanta Wahyu tidak lagi muda. Di usia 83 tahun, sudah renta, sempat patah kaki, berjalan pakai tongkat untuk bertumpu, ayah dari tiga orang anak itu tetap semangat berkarya.

 URUSAN daya juang, tak usah ditanyakan.  Made Sukanta Wahyu saat ditemui di pekarangan rumahnya, Banjar Sengkiding Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Rabu (28/9) tampak sedang berjalan tertatih dibantu sebuah tongkat.

Melihat kedatangan wartawan Radar Bali Jawa Pos, pria yang dulunya merupakan seorang pendidik itu langsung mengarahkan agar masuk ke dalam galerinya.

Di dalam galeri yang beratapkan asbes itu, tampak berdiri ratusan patung kayu, serta puluhan kolase lukisan dari tempelan kayu, benang dan juga uang kepeng. Di tengah-tengah karya itu, tampak dua kolase yang belum terselesaikan berada di sebuah meja.

Sukanta mengungkapkan, dua kolase itu merupakan karyanya yang belum terselesaikan. Dia mengaku hingga saat ini masih membuat patung dan kolase. Meski diakuinya, tubuh renta membuatnya tidak selincah dulu. “Sampai saat ini, saya masih berkarya,” katanya.

Rasa cinta yang besar terhadap seni membuatnya terus berkarya. Selain itu, berkarya menjadi cara terampun baginya untuk melarikan diri dari kekosongan sepeninggal sang istri, Ni Luh Ketut Mudiasni yang meninggal dunia pada 8 September 2021 akibat terpapar virus korona. “Ini sebagai pelarian dari kekosongan setelah meninggalnya istri 8 September 2021,” ungkapnya.

Hingga saat ini, pria yang serius menggeluti dunia seni lukis dan patung sejak tahun 1960 itu masih mengusung tema lingga (simbol kejantanan pria) dan yoni (wanita) dalam penciptaan karya seninya. Setidaknya ada sekitar 600 patung dan puluhan kolase bertema lingga yoni yang telah dibuatnya. “Awalnya saya membuat patung lingga yoni secara tidak sadar dan berlanjut sampai saat ini. Lingga yoni sumber daripada kehidupan,” terangnya.

Ada sekitar 200 patung dan puluhan kolase yang masih tersisa di galerinya, Banjar Sengkiding Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan hingga saat ini. Bukan karena dijual, berkurangnya karya patung dan kolase Sukanta lantaran kerabat yang datang kerap ingin memiliki karyanya sehingga akhirnya diberikan secara cuma-cuma. Dia mengaku sangat berat bila harus menjual karya seninya. Sebab karya seni yang dibuat dengan rasa tidak dapat dinilai dengan uang. “Kasihan kalau untuk dijual,” jelasnya.

Anak kedua Sukanta, Made Putra Ariawan Para pun membenarkannya. Dia dan sang adik, Nyoman Wahyu Ariadi Para pernah menawarkan Sukanta untuk menjual karya seninya. Melihat karya Sukanta cukup banyak sehingga membutuhkan tempat penyimpanan yang luas. Namun upaya itu kerap gagal lantaran Sukanta selalu bimbang saat memberikan nominal. “Sempat ada yang terjual. Setelah menjual, Bapak terlihat bengong-bengong terus. Karena tidak mungkin bisa membuat karya yang serupa. Sehingga tidak pernak lagi dijual,” tuturnya.

Sehingga hasil karya Sukanta hanya dapat dinikmati di galerinya. Bila beruntung, karya itu baru bisa dibawa pulang. “Wisatawan ada saja yang ke galeri untuk melihat-lihat. Untuk saat ini, lebih banyak dari universitas untuk melakukan penelitian,” tandasnya. (dewa ayu pitri arisanti)

 

 

 

Seniman patung dan lukis Kabupaten Klungkung, Made Sukanta Wahyu tidak lagi muda. Di usia 83 tahun, sudah renta, sempat patah kaki, berjalan pakai tongkat untuk bertumpu, ayah dari tiga orang anak itu tetap semangat berkarya.

 URUSAN daya juang, tak usah ditanyakan.  Made Sukanta Wahyu saat ditemui di pekarangan rumahnya, Banjar Sengkiding Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Rabu (28/9) tampak sedang berjalan tertatih dibantu sebuah tongkat.

Melihat kedatangan wartawan Radar Bali Jawa Pos, pria yang dulunya merupakan seorang pendidik itu langsung mengarahkan agar masuk ke dalam galerinya.

Di dalam galeri yang beratapkan asbes itu, tampak berdiri ratusan patung kayu, serta puluhan kolase lukisan dari tempelan kayu, benang dan juga uang kepeng. Di tengah-tengah karya itu, tampak dua kolase yang belum terselesaikan berada di sebuah meja.

Sukanta mengungkapkan, dua kolase itu merupakan karyanya yang belum terselesaikan. Dia mengaku hingga saat ini masih membuat patung dan kolase. Meski diakuinya, tubuh renta membuatnya tidak selincah dulu. “Sampai saat ini, saya masih berkarya,” katanya.

Rasa cinta yang besar terhadap seni membuatnya terus berkarya. Selain itu, berkarya menjadi cara terampun baginya untuk melarikan diri dari kekosongan sepeninggal sang istri, Ni Luh Ketut Mudiasni yang meninggal dunia pada 8 September 2021 akibat terpapar virus korona. “Ini sebagai pelarian dari kekosongan setelah meninggalnya istri 8 September 2021,” ungkapnya.

Hingga saat ini, pria yang serius menggeluti dunia seni lukis dan patung sejak tahun 1960 itu masih mengusung tema lingga (simbol kejantanan pria) dan yoni (wanita) dalam penciptaan karya seninya. Setidaknya ada sekitar 600 patung dan puluhan kolase bertema lingga yoni yang telah dibuatnya. “Awalnya saya membuat patung lingga yoni secara tidak sadar dan berlanjut sampai saat ini. Lingga yoni sumber daripada kehidupan,” terangnya.

Ada sekitar 200 patung dan puluhan kolase yang masih tersisa di galerinya, Banjar Sengkiding Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan hingga saat ini. Bukan karena dijual, berkurangnya karya patung dan kolase Sukanta lantaran kerabat yang datang kerap ingin memiliki karyanya sehingga akhirnya diberikan secara cuma-cuma. Dia mengaku sangat berat bila harus menjual karya seninya. Sebab karya seni yang dibuat dengan rasa tidak dapat dinilai dengan uang. “Kasihan kalau untuk dijual,” jelasnya.

Anak kedua Sukanta, Made Putra Ariawan Para pun membenarkannya. Dia dan sang adik, Nyoman Wahyu Ariadi Para pernah menawarkan Sukanta untuk menjual karya seninya. Melihat karya Sukanta cukup banyak sehingga membutuhkan tempat penyimpanan yang luas. Namun upaya itu kerap gagal lantaran Sukanta selalu bimbang saat memberikan nominal. “Sempat ada yang terjual. Setelah menjual, Bapak terlihat bengong-bengong terus. Karena tidak mungkin bisa membuat karya yang serupa. Sehingga tidak pernak lagi dijual,” tuturnya.

Sehingga hasil karya Sukanta hanya dapat dinikmati di galerinya. Bila beruntung, karya itu baru bisa dibawa pulang. “Wisatawan ada saja yang ke galeri untuk melihat-lihat. Untuk saat ini, lebih banyak dari universitas untuk melakukan penelitian,” tandasnya. (dewa ayu pitri arisanti)

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/