SINGARAJA– Perbekel Sumberklampok Wayan Sawitra Yasa menemui Gubernur Bali Wayan Koster. Sawitra ingin meminta kepastian soal permohonan pelepasan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang diajukan masyarakat Eks Timor Timur (Timtim) yang kini bermukim di Desa Sumberklampok.
Pertemuan itu berlangsung di Rumah Jabatan Gubernur Bali pada Selasa (4/10) sore. Sawitra didampingi Bendesa Adat Sumberklampok Putu Artana.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, Sawitra mengaku sengaja melakukan audensi pada Gubernur Koster untuk mendapatkan kepastian soal pelepasan kawasan HPT seperti yang dijanjikan pemerintah 22 tahun silam. Apalagi warga telah melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan saat mengajukan permohonan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Kepastian pelepasan untuk lahan pekarangan dan fasum sudah ada. Tinggal yang lahan garapan saja. Informasinya akan segera ditindaklanjuti Pemprov, berkenaan dengan lahan garapan,” kata Sawitra saat dihubungi dari Singaraja, Rabu (5/10) siang.
Menurutnya Kantor Pertanahan Buleleng juga akan melakukan sosialisasi soal mekanisme pengukuran lahan dan penerbitan sertifikat, pada Jumat (7/10) mendatang. Sebab KLHK telah menerbitkan persetujuan pelepasan kawasan hutan.
Lebih lanjut Sawitra mengungkapkan, warga sebenarnya ingin KLHK melepas kawasan pemukiman dan lahan garapan yang diajukan oleh warga. Namun saat ini baru kawasan pemukiman, serta fasilitas umum yang diberikan pada warga. Sementara soal lahan garapan, hingga kini belum ada kepastian.
Ia meminta agar warga Eks Timtim bisa bersabar dan mengajukan permohonan tahap kedua. “Karena kami dulu di Eks HGU juga seperti itu. Tapak pemukiman dulu, baru garapan. Kami harap warga bisa bersabar, karena perjuangan itu kan butuh kesabaran. Yang penting sekarang sudah progress yang lebih maju. Toh lahan garapan itu tidak akan berpindah,” ujarnya.
Sekadar diketahui saat ini ada 107 kepala keluarga eks transmigran Timor-Timur yang menghuni kawasan hutan produksi di Desa Sumberklampok. Seratusan keluarga itu dulunya merupakan warga Bali. Mereka memutuskan merantau ke Timor-Timur pada era 1980-an.
Tatkala Timor-Timur menyatakan referendum pada 1999, warga Bali di Timor-Timur memilih kembali ke kampung halaman karena alasan keamanan. Sayangnya saat kembali ke kampung halaman, mereka sudah tak memiliki sanak famili maupun aset. Sehingga saat sampai di Bali, mereka menyandang status pengungsi.
Akhirnya pada September 2000 pemerintah menempatkan para pengungsi di kawasan Hutan Produksi Terbatas Desa Sumberklampok. Setelah puluhan tahun menempati kawasan tersebut, para pengungsi eks Tim-Tim tak kunjung mendapat kepastian status hak milik atas lahan tersebut. Mereka pun mendesak pemerintah melakukan proses redistribusi lahan sesuai melalui program Reforma Agraria.
Total luas lahan yang dimohon mencapai 136,96 hektare. Terdiri darilahan pekarangan, lahan garapan, fasilitas umum, dan fasilitas sosial, termasuk tanah untuk pelaba pura. (eps)