Desa Adat Busungbiu punya tradisi unik. Yakni meboros kidang. Tradisi ini hanya dilakukan saat pujawali di Pura Puseh Desa Adat Busungbiu.
Eka Prasetya, Buleleng
RIBUAN krama lanang di Desa Adat Busungbiu telah berkumpul di Pura Puseh Desa Adat Busungbiu. Mereka berbekal sebilah kelewang, ada pula yang membawa arit. Pagi itu mereka bersiap masuk ke Hutan Pangkung Biu, di wilayah Desa Pucaksari, Kecamatan Busungbiu, untuk meboros kidang.
Jumat (7/10) pagi, krama di Busungbiu wajib menyelesaikan sebuah misi. Yakni memburu seekor kijang. Kijang itu akan digunakan untuk puncak pujawali di Pura Puseh Desa Adat Busungbiu, yang jatuh pada rahina purnama kapat, Senin (10/10) mendatang.
Berbekal senjata tajam di tangan, serta hiasan pelepah pisang di kepala, mereka berjalan serentak ke selatan. Menuju kawasan hutan. Dengan harapan bertemu dengan I Bulu Pangi – sebutan krama setempat untuk kijang.
Tradisi ini dimulai dari upacara ngajit. Upacara ini berlangsung pada pergantian hari antara Kamis (6/10) dengan Jumat (7/10). Upacara dimulai tepat pada pukul 00.00 dini hari.
Dalam upacara tersebut, para pewaris Tegak Lingsir 66 – sebutan untuk ahli waris pendiri Desa Adat Busungbiu – dipanggil menuju ke bale lantang. Mereka akan dipanggil satu persatu oleh juru surat. Setelah namanya dipanggil, mereka baru naik ke bale lantang.
Selanjutnya dilakukan upacara persembahyangan. Dalam upacara itu, krama memohon petunjuk kepada Ida Bhatara untuk memburu kijang. Berbekal petunjuk itu pula, maka krama akan menuju sejumlah titik yang diyakini jadi lokasi kijang merumput.
Bendesa Adat Busungbiu I Nyoman Dekter mengatakan, tradisi meboros kidang itu sudah dilakukan sejak dahulu kala. Bahkan sejak desa itumasih bernama Busung Magelung – nama tua dari Desa Busungbiu. Pada pujawali, para leluhur di desa akan masuk ke dalam hutan mencari seekor hingga dua ekor kijang.
Dalam pujawali alit, hanya butuh seekor kijang sebagai sarana. Namun saat pujawali ageng, dibutuhkan dua ekor kijang. “Tujuan meboros ini mencari I Bulu Pangi yang digunakan sebagai persembahan saat pujawali nanti,” jelasnya.
Saat pujawali agung, seekor kijang akan digunakan untuk sarana bukakak. Kijang itu akan diletakkan di bale panggungan. Sementara seekor lainnya digunakan sebagai campuran paci-paci (hidangan semacam lawar) yang dibagikan pada seluruh krama desa.
Bila tak ada kijang yang didapat, Dekter menegaskan rangkaian upacara pujawali dapat diundur. Sebab kijang menjadi sarana wajib dala proses pelaksanaan upacara.
Dalam tradisi tersebut, seluruh krama lanang terlibat dalam proses perburuan. Tak terkecuali Anggota DPRD Buleleng Nyoman Sukarmen dan anggota DPR RI Ketut Kariyasa Adnyana. Mereka wajib terlibat dalam rangkaian tradisi tersebut.
Sayangnya proses perburuan kemarin belum membuahkan hasil. Saat berburu di tengah hutan, krama disergap hujan lebat. Kondisi itu dinilai tidak menguntungkan, bahkan cenderung membahayakan. Terlebih kabut menyelimuti sejumlah titik perburuan. Sehingga perburuan dihentikan dan akan dilanjutkan kembali pada Sabtu (8/10) pagi. (*)