29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 8:55 AM WIB

Jadi Tempat Pengelukatan, Tiap Hari Dibanjiri Pemedek, Kios Menjamur

Badung Utara bergerak menjadi tujuan wisata spiritual. Salah satunya bisa dilihat dari keberadaan Pengelukatan Pancoran Solas Tirta Taman Mumbul, Desa Adat Sangeh, Abiansemal.

Meski memberi dampak positif bagi pemasukan warga dan desa, dampak negatif bisa ditimbulkan bila tak segera dikelola dengan baik.

 

 

I KADEK SURYA KENCANA, Mangupura

RITUAL sehari setelah Siwaratri berlangsung khusyuk di Badung Utara. Ribuan warga berpakaian adat madya tumpah ruah ke Pengelukatan Pancoran Solas Tirta Taman Mumbul, Desa Adat Sangeh.

Sejak pukul 04.00, para pemedek mulai memadati lokasi dan menggelar pengelukatan (pembersihan lahir batin dengan media air suci).

Ritual ini dilakukan setelah mereka menggelar upacara purwaning tilem ke-7 (sasih kapitu) tahun Caka. Hingga pukul 11.55, pemedek masih berdatangan.

Berpakaian adat madya, warga memulai ritual dengan mengaturkan canang (sesajen). Proses melukat pun tidak sembarangan.

Warga harus memulai dari arah selatan ke utara dalam kondisi tubuh terendam air kolam. Arah pengelukatan yang dimulai dari selatan ke utara ini konsepnya dari bawah ke atas.

“Konsep nyegara gunung (pemujaan terhadap gunung, Red). Dari nol kita mengisi. Nunas waranugraha (anugerah) dari alam,” ucap Pangelingsir Desa Adat Sangeh Ida Bagus Made Bawa.

Usai melukat, pemedek melanjutkan prosesi dengan bergeser sekitar dua meter ke arah utara. Pemangku kahyangan jagat desa adat setempat kemudian sudah bersiap memercikkan tirta kepada pemedek.

Konsep pengelukatan di lokasi tersebut bukan sekadar pembersihan. Menurut Bawa, ini juga bagian untuk menyeimbangkan. “Yang disembah di sini Ratu Niang Lingsir,” tandasnya.

Setiap Siwaratri, kunjungan ke lokasi membeludak. Kunjungan per hari mencapai angka 10 ribu orang. Maka, para pemangku pun harus ngayah sampai pukul 19.00.

Meski begitu, biasanya masih ada saja pemedek yang datang. ”Di sini ada security dan CCTV yang standby 24 jam. Kami tak boleh menyetop umat yang ingin tangkil,” sambungnya.

Para pengunjung menurut Bawa bukan hanya umat Hindu. Umat dari agama lain, baik Islam, Kristen, dan kalangan turis mancanegara tak sedikit yang datang ke objek wisata spiritual ini.

“Kita minta berkah dari alam. Bukan kepada siapa kita meminta. Spirit alam,” tandasnya. Di sebelah utara lokasi pengelukatan terdapat danau buatan.

Menurut Bawa, ini difungsikan sebagai tempat nyegara gunung untuk tiga kabupaten: Badung, Tabanan, dan Denpasar Utara. Dulu danau ini menjadi lokasi mancing.

”Lokasinya bisa disebut kumuh,” imbuh dia sembari memperlihatkan foto dimaksud, lalu memberi makan ratusan ikan berukuran super besar yang menghiasi danau.

Sepanjang tahun, air terus mengalir ke lokasi pengelukatan. Air ini, lanjutnya, berasal dari bawah tanah. Ini pula mengapa pancoran ini disebut mumbul, yang berarti menyembul.

“Air terus mengalir dan jernih karena sumber air ditopang oleh hutan Sangeh yang telah berusia ratusan tahun,” jelas penglingsir asal Banjar Pemijian, Desa Adat Sangeh, tersebut.

Secara spiritual, imbuhnya pancoran tersebut merupakan satu kesatuan dengan Pura Pucak Bukit Sari yang terletak di tengah-tengah Monkey Forest Sangeh.

“Kebejian (pemandian, Red) Ida di sini. Orang Sangeh itu sudah go green duluan,” katanya. Sebelum menjadi tempat pengelukatan, pancoran merupakan rawa-rawa yang dikenal angker.

Bawa mengingat sekitar tahun 2013 sempat direncanakan sebagai kolam renang dan waterboom. “Saya paling tidak setuju. Mungkin karena beliau menginginkan kita di sini ngayah,

akhirnya beliau memberikan pencerahan kepada tiang (saya). Mei 2016 saya pernah didatangi orang, bisa dilihat tapi orang lain tidak melihat. Beliau yang memberi petunjuk,” terangnya.

Melalui petunjuk gaib, ia menjalani dengan penuh suka-duka. Sempat tidak disetujui, tapi masih bertahan. ”Sekarang kita bisa bersyukur atas yang telah terwujud,” ungkapnya.

Setelah beroperasi sejak 2016, Bawa menjelaskan, lokasi wisata spiritual tersebut kini berkontribusi positif kepada desa setempat.

Pemasukan seluruhnya dari parkir sepeda motor, mobil, loker, sewa selendang, dan sesari untuk desa adat. Per bulan sekitar Rp 70 juta. ”Kalau hari raya di atas Rp 100 juta,” beber dia.

Namun, tak hanya berkah. Bawa menyebut Sangeh Tradisional Activity (STA) kini harus berhadapan dengan dampak perkembangan Pengelukatan Pancoran Solas Tirta Taman Mumbul yang selalu ramai.

“Kami cemas karena Mumbul semakin dikenal. Imbasnya kios bermunculan. Yang mungkin akan merusak pelestarian alam,” ucapnya.

Masalah lain yang sedang dihadapi adalah leluhu (sampah bekas upacara). Bagaimana tidak, setiap hari ribuan pemedek membawa sarana upacara  yang akhirnya menjadi leluhu.

Ini, katanya, yang menjadi tantangan pengelola ke depan. Pasalnya, leluhu ini diangkut hanya seminggu sekali. ”Semoga pemerintah melihat ini. Termasuk parkir dan kamar mandi taraf internasional,” paparnya. 

Badung Utara bergerak menjadi tujuan wisata spiritual. Salah satunya bisa dilihat dari keberadaan Pengelukatan Pancoran Solas Tirta Taman Mumbul, Desa Adat Sangeh, Abiansemal.

Meski memberi dampak positif bagi pemasukan warga dan desa, dampak negatif bisa ditimbulkan bila tak segera dikelola dengan baik.

 

 

I KADEK SURYA KENCANA, Mangupura

RITUAL sehari setelah Siwaratri berlangsung khusyuk di Badung Utara. Ribuan warga berpakaian adat madya tumpah ruah ke Pengelukatan Pancoran Solas Tirta Taman Mumbul, Desa Adat Sangeh.

Sejak pukul 04.00, para pemedek mulai memadati lokasi dan menggelar pengelukatan (pembersihan lahir batin dengan media air suci).

Ritual ini dilakukan setelah mereka menggelar upacara purwaning tilem ke-7 (sasih kapitu) tahun Caka. Hingga pukul 11.55, pemedek masih berdatangan.

Berpakaian adat madya, warga memulai ritual dengan mengaturkan canang (sesajen). Proses melukat pun tidak sembarangan.

Warga harus memulai dari arah selatan ke utara dalam kondisi tubuh terendam air kolam. Arah pengelukatan yang dimulai dari selatan ke utara ini konsepnya dari bawah ke atas.

“Konsep nyegara gunung (pemujaan terhadap gunung, Red). Dari nol kita mengisi. Nunas waranugraha (anugerah) dari alam,” ucap Pangelingsir Desa Adat Sangeh Ida Bagus Made Bawa.

Usai melukat, pemedek melanjutkan prosesi dengan bergeser sekitar dua meter ke arah utara. Pemangku kahyangan jagat desa adat setempat kemudian sudah bersiap memercikkan tirta kepada pemedek.

Konsep pengelukatan di lokasi tersebut bukan sekadar pembersihan. Menurut Bawa, ini juga bagian untuk menyeimbangkan. “Yang disembah di sini Ratu Niang Lingsir,” tandasnya.

Setiap Siwaratri, kunjungan ke lokasi membeludak. Kunjungan per hari mencapai angka 10 ribu orang. Maka, para pemangku pun harus ngayah sampai pukul 19.00.

Meski begitu, biasanya masih ada saja pemedek yang datang. ”Di sini ada security dan CCTV yang standby 24 jam. Kami tak boleh menyetop umat yang ingin tangkil,” sambungnya.

Para pengunjung menurut Bawa bukan hanya umat Hindu. Umat dari agama lain, baik Islam, Kristen, dan kalangan turis mancanegara tak sedikit yang datang ke objek wisata spiritual ini.

“Kita minta berkah dari alam. Bukan kepada siapa kita meminta. Spirit alam,” tandasnya. Di sebelah utara lokasi pengelukatan terdapat danau buatan.

Menurut Bawa, ini difungsikan sebagai tempat nyegara gunung untuk tiga kabupaten: Badung, Tabanan, dan Denpasar Utara. Dulu danau ini menjadi lokasi mancing.

”Lokasinya bisa disebut kumuh,” imbuh dia sembari memperlihatkan foto dimaksud, lalu memberi makan ratusan ikan berukuran super besar yang menghiasi danau.

Sepanjang tahun, air terus mengalir ke lokasi pengelukatan. Air ini, lanjutnya, berasal dari bawah tanah. Ini pula mengapa pancoran ini disebut mumbul, yang berarti menyembul.

“Air terus mengalir dan jernih karena sumber air ditopang oleh hutan Sangeh yang telah berusia ratusan tahun,” jelas penglingsir asal Banjar Pemijian, Desa Adat Sangeh, tersebut.

Secara spiritual, imbuhnya pancoran tersebut merupakan satu kesatuan dengan Pura Pucak Bukit Sari yang terletak di tengah-tengah Monkey Forest Sangeh.

“Kebejian (pemandian, Red) Ida di sini. Orang Sangeh itu sudah go green duluan,” katanya. Sebelum menjadi tempat pengelukatan, pancoran merupakan rawa-rawa yang dikenal angker.

Bawa mengingat sekitar tahun 2013 sempat direncanakan sebagai kolam renang dan waterboom. “Saya paling tidak setuju. Mungkin karena beliau menginginkan kita di sini ngayah,

akhirnya beliau memberikan pencerahan kepada tiang (saya). Mei 2016 saya pernah didatangi orang, bisa dilihat tapi orang lain tidak melihat. Beliau yang memberi petunjuk,” terangnya.

Melalui petunjuk gaib, ia menjalani dengan penuh suka-duka. Sempat tidak disetujui, tapi masih bertahan. ”Sekarang kita bisa bersyukur atas yang telah terwujud,” ungkapnya.

Setelah beroperasi sejak 2016, Bawa menjelaskan, lokasi wisata spiritual tersebut kini berkontribusi positif kepada desa setempat.

Pemasukan seluruhnya dari parkir sepeda motor, mobil, loker, sewa selendang, dan sesari untuk desa adat. Per bulan sekitar Rp 70 juta. ”Kalau hari raya di atas Rp 100 juta,” beber dia.

Namun, tak hanya berkah. Bawa menyebut Sangeh Tradisional Activity (STA) kini harus berhadapan dengan dampak perkembangan Pengelukatan Pancoran Solas Tirta Taman Mumbul yang selalu ramai.

“Kami cemas karena Mumbul semakin dikenal. Imbasnya kios bermunculan. Yang mungkin akan merusak pelestarian alam,” ucapnya.

Masalah lain yang sedang dihadapi adalah leluhu (sampah bekas upacara). Bagaimana tidak, setiap hari ribuan pemedek membawa sarana upacara  yang akhirnya menjadi leluhu.

Ini, katanya, yang menjadi tantangan pengelola ke depan. Pasalnya, leluhu ini diangkut hanya seminggu sekali. ”Semoga pemerintah melihat ini. Termasuk parkir dan kamar mandi taraf internasional,” paparnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/