Komunitas Banjar Bali yang dipromotori Prof Wayan P Windia ini tergolong satu-satunya di Bali yang melaksanakan diskusi pra nikah dengan tema “Kelas Persiapan Perkawinan”.
Pesertanya generasi muda maupun calon pengantin. Kelas perdana diikuti sekitar 20 pemuda-pemudi yang berkumpul di Museum Patung Pendet, Desa Nyuh Kuning, Kecamatan Ubud.
IB INDRA PRASETIA, Ubud
DI sebuah ruangan semi terbuka museum Patung Pendet, beberapa pemuda-pemudi tampak berkumpul. Posisi duduk mereka acak, yang penting nyaman.
Ada yang duduk bersila, ada yang duduk di kursi. Dipandu oleh pakar adat, Prof Windia dan praktisi kesehatan, Prof Wija,
serta Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak (KPPAD) Provinsi Bali, Kadek Ariyasa, mereka ini sedang bicara masa depan rumah tangga.
Kelas Persiapan Perkawinan kali ini mengambil filosofi Guyu Guyu Saja, Uli Cenik Ngae Besik Dadi Liu (Bercanda tapi sungguhan, dari kecil membuat satu jadi banyak).
Kegiatan itu mengedukasi generasi muda tentang segala proses perkawinan. Diskusi ini akan rutin digelar setiap bulan pada hari Minggu pertama dari pagi hingga siang.
Ada empat hal yang secara intensif dibahas dalam kelas ini. Di antaranya, pengetahuan dasar hukum adat Bali dan hukum perkawinan; pengetahuan dasar tentang sosial budaya Bali; mengelola potensi ekonomi keluarga; dan kesehatan reproduksi.
Prof Windia menyatakan, perkawinan merupakan peristiwa yang penting dan pokok. Maka itu harus dipersiapkan, mengantisipasi kasus rumah tangga semisal KDRT, perceraian dan lain sebagainya.
Maka pihaknya mengundang siapa saja yang berminat untuk belajar mempersiapkan perkawinan yang ideal.
“Terutama bagi generasi muda bahkan yang belum punya pacar. Mari lebih hati-hati dalam memilih pasangan,” pintanya.
Menurut Windia, pernikahan tidak cukup bermodal cinta. “Perlu didukung modal tambahan seperti pengetahuan tentang hukum perkawinan, sosial budaya potensi ekonomi calon pengantin dan kesehatan,” terangnya.
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, dianggap sudah dewasa. “Meski dia usianya baru 15 tahun, jika sudah kawin, dianggap dewasa,” tegasnya.
Status dewasa itu melekat pada dirinya yang mau tidak mau harus menjalani hidup berumahtangga. Namun, pada usia yang sejatinya belum cocok untuk kawin, beberapa masalah akan muncul selama perkawinan.
“Berani kawin, artinya berani menghadapi masalah. Mulai dari masalah pribadi dengan pasangan, masalah dengan keluarga suami atau sebaliknya,” terang pria berkumis tebal ini.
Diakui, pada era globalisasi ini, cukup banyak terjadi perkawinan beda agama, beda budaya. Untuk di Bali, beberapa kali ditemukan pernikahan Nyentana (pria berstatus diambil oleh perempuan).
Tak jarang pula ditemukan pernikahan putra-putri tunggal, sehingga terjadi pernikahan Pade Gelahang (sama-sama diambil).
“Ini yang harus diantisipasi. Sebelum memutuskan untuk pacaran atau kawin, cari informasi dulu. Jika laki-laki nggak mau nyentana, jangan dekati perempuan yang anak tunggal atau saudaranya semua perempuan,” pintanya.
Antisipasi masalah perkawinan, kata Prof Windia sejatinya mudah dilakukan. Walau secara edukasi telah diketahui, namun kenyataan di lapangan, cinta membutakan segalanya.
“Sesudah kawin perlu hidup, supaya bisa mengelola keahlian. Juga perlu untuk mengenali penyakit masing-masing. Nah jika dirasa sudah cocok, baru melangsungkan perkawinan,” terangnya.
Komisioner KPPAD Bali, Kadek Ariyasa, menyambut baik diskusi semacam ini digelar rutin setiap bulan.
“Ini untuk memberikan gambaran seperti apa menikah, termasuk bertanggung jawab kepada seluruh anggota keluarga,” jelasnya.
Pemahaman sejak dini, setidaknya bisa mencegah kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT). “Ini penting sebagai pendidikan sejak dini. Sebelum diputuskan menikah, calon suami atau istri harus sudah siap lahir dan batin,” tukasnya.