DENPASAR – Berdasar penelitian tim peneliti Fakultas Pertanian (FP) Universitas Udayana (Unud), dampak terburuk dengan mewabahnya fusarium, petani stroberi di Bali kesulitan mencari bibit.
Kondisi ini terjadi karena sentra penghasil stroberi terbesar di Bali ada di Candi Kuning dan Pancasari, Tabanan. Tidak ada pembibitan khusus untuk tanaman stroberi di Bali.
“Selama ini pembibitan hanya dilakukan petani secara konvensional. Sehingga ketika sumber atau ketersediaan bibit tanaman terserang patogen,
petani kesulitan mendapatkan bibit stroberi yang sehat dan baik,” ujar Sekretaris Program Studi Strata (S2) Bioteknologi FP Unud Dr I Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya SP MAgr kemarin.
Lantas, apa solusi menekan penyebaran wabah fusarium? Solusi paling jitu adalah memanfaatkan agen-agen hayati.
“Pemakaian unsur kimiawi tidak mungkin dilakukan karena stroberi merupakan jenis tanaman buah segar yang langsung dikonsumsi.
Yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah dengan pemanfaatan agen-agen hayati,” papar Dr Alit Susanta.
“Kami (tim peneliti FP Unud) sudah melakukan penelitian dengan penggunaan Trichoderma sp yang ditambahkan dalam berbagai kompos untuk pengendalian penyakit layu ini, “jelasnya.
Percobaan penggunaan Trichoderma sp. dengan kompos (kotoran kambing, sapi dan daun). Hasil terbaik adalah penggunaan Trichoderma sp. dengan kotoran kambing.
“Tentu dari hasil penelitian ini kami akan melakukan pelatihan kepada petani agar nanti mereka mampu membudidayakan bibit stroberi sendiri,” papar Dr Alit Susanta.
Teknik pembudidayaan bibit stroberi bisa dilakukan baik secara konvensional maupun kultur jaringan. Hanya saja, kedua teknik budidaya ini memerlukan pendanaan yang besar.
“Kami tidak membahas tentang budidayanya. Namun, dengan teknik konvensional maka yang diperlukan adalah rumah kaca yang medianya sendiri dari tanah yang bebas patogen.
Kalau ingin masal, tentu bisa dilakukan dengan teknik kultur jaringan,” pungkasnya.