Oleh Dahlan Iskan
Setelah anak-menantu-cucu ke Makkah tinggal saya dan istri di Madinah. Kesakitan. Tergolek di tempat tidur. Mereka terus memonitor sakit saya.
Saya bisiki istri agar mengatakan kondisi saya baik-baik saja. Agar tidak mengganggu kekhusukan mereka melakukan umroh. Toh sudah banyak dokter asal Surabaya yang bisa dihubungi setiap saat.
Saya juga terus dikirimi foto atau video saat mereka tawaf dan sya’i. Termasuk foto Azrul yang lagi berlinang di dekat Ka’bah. Tapi saya hanya bisa melirik foto-foto itu sekilas.
Badan lemas. Perut masih agak sesak meski tidak seberat hari kedua. Nafas masih berat meski kini sudah bisa bernafas sambil berbaring. Dada dan punggung masih nyeri tapi tidak sesakit hari kedua.
Malamnya ada ide tradisional: kerikan. Saya minta istri mengeriki punggung saya. Tidak ada alat kerik. Dipakailah sendok. Istri memotret hasil kerikannya: penuh garis-garis merah hitam di seluruh punggung saya.
Tapi tidak menolong.
Saya praktis tidak makan apa pun selama dua hari ini. Untuk mengistirahatkan pencernaan. Makanan terakhir saya ya lentil India dan kurma mentah itu. Yang sudah habis terbuang dalam bentuk muntah.
Prof Teddy, istri dan anaknya terus menengok saya. Melakukan pemeriksaan, memberi obat dan menenangkan jiwa. Saya ceritakan padanya hasil pemeriksaan di rumah sakit Madinah. Bahwa jantung saya prima.
Maka fokus kami pun ke pencernaan yang bermasalah. Apalagi sejak makan kurma mentah itu saya belum bisa kentut. Belum bisa pup. Sudah tiga hari. Dan belum bisa makan. Perut terasa penuh.
Kehadiran para dokter Surabaya di kamar saya itu membuat saya tenang. Lalu membangun semangat untuk bisa ke bandara. Pulang ke Indonesia. Tapi tanpa energi tidak mungkin bisa melangkah.
Saya pun berpikir apa yang bisa saya makan. Tentu makanan yang lembut. Jangan yang aneh-aneh. Sayangnya tidak ada peralatan untuk masak bubur. Tidak ada yang disuruh beli makanan lunak. Istri saya pun mengeluarkan kreativitasnya: mengambil nasi di restoran untuk dilembutkan.
Dilembutkan dengan cara bagaimana? Kan tidak ada ulek-ulek. Akhirnya nasi itu dimasukkan plastik. Diremas-remas sampai ludes. Lalu dipindah ke gelas. Ditambahkan air panas. Jadilah bubur hambar.
Demi mendapat energi untuk ke bandara. “Bubur remas” itu pun saya minum. Begitu lagi. Tiap dua jam istri saya meremas-remas nasi. Prof Teddy membekali saya obat. Untuk diminum setelah pesawat take off dari Madinah.
Sepanjang penerbangan saya tidur. Tidak minum. Tidak makan. Rupanya itu obat tidur. Agar saya tidak menderita sepanjang penerbangan Madinah-Jakarta.
Begitu mendarat di Juanda saya tidak boleh pulang. Langsung masuk rumah sakit. Saya sampaikan hasil pemeriksaan di RS Madinah: jantung prima, paru baik, dan tidak ada masalah dengan jantung.
Keluhan saya: perut sesak, dada nyeri, punggung sakit dan nafas berat. Sudah empat hari tidak bisa kentut dan tidak pup. Kenyataan itu membuat dokter kian fokus ke pencernaan. Maag saya diduga bermasalah.
Saat Pimred Jawa Pos Nurwahid, menjenguk saya di RS ternyata juga punya problem yang sama. Maka dia pun menyarankan agar saya minum tajin. Bahkan Nurwahid menegaskan di Redaksi Jawa Pos banyak yang terkena penyakit yang sama. Ah, berarti ini penyakit wartawan. Beberapa redaktur yang ikut menengok membenarkan kata-kata Nurwahid itu.
“Kalau begitu kita bisa bentuk paguyuban penderita maag,” kata saya.
Semua tertawa.
Sejak itu istri saya rajin membuat tajin. Mudah. Di Surabaya peralatannya lengkap. Tidak perlu meremas-remas nasi dalam plastik. Tiap dua jam saya minum tajin.
Robert Lai teman baik saya yang di Singapura terus memonitor keadaan saya. Dia terus mendesak saya agar ke Singapura. Saya tidak mau. Ini kan hanya urusan pencernaan. Pasti bisa teratasi.
Begitu saya ngotot tidak mau ke Singapura dia pun mengusulkan agar saya makan makanan tertentu. Orang di Tiongkok, dan orang Tionghoa di seluruh dunia, menjalani itu untuk pengatasi sakit maag.
Dia tidak tahu bahasa Inggrisnya apa. Dia hanya tahu istilah itu dalam bahasa Kanton. Dia juga tidak tahu bahasa Mandarinnya apa. Lalu saya minta Robert menceritakan proses pembuatan makanan khusus untuk orang maag itu.
Dari situ saya menarik kesimpulan bahwa makanan yang dimaksud tidak lain adalah tajin!
“Saya sudah melakukannya dua hari ini,” kata saya. “Istri saya bisa buat.”
Robert pun tertawa ngakak.
Selama tiga hari di rumah sakit saya tetap tidak bisa kentut. Tidak bisa pup. Berarti total tujuh hari. Perawat sudah mengusahakan memasukkan obat lunak ke lubang dubur. Dua kali. Tetap tidak berhasil. Hari berikutnya perawat memasukkan cairan tertentu ke dalam dubur. Sampai dua kali. Juga tidak berhasil.
Malamnya saya putuskan untuk meditasi. Menarik nafas panjang lewat hidung, menahannya di dada, dan menghembuskannya lewat mulut. Begitu terus sampai 99 kali. Sebanyak asma’ul husna. Sampai hitungan ke 40 saya kelelahan. Tapi saya teruskan.
Obat sudah tidak bisa mengatasi.
Pada tarikan nafas ke 60 saya hampir jatuh tertidur. Saya paksakan sadar. Sampai akhirnya mencapai 99 kali.
Paginya saya bisa pup. Tidak sulit sama sekali. Juga tidak keras. Saya tidak tahu apa hubungannya dengan meditasi.
Saya pun minta pulang. Dokter mengijinkan. Dirawat istri saya di rumah. Anak-anak saya belum pulang.
Tajin terus diproduksi. Dimasukkan termos. Tiap dua jam saya teguk.
Robert Lai terus mendesak agar saya ke Singapura. Dia sudah atur dokter ahli pencernaan terbaik di sana. Sudah pula punya jadwal apa yang akan dilakukan untuk saya: begitu tiba akan dilakukan pemeriksaan, lalu keesokan harinya akan dilakukan pemeriksaan perut dengan cara memasukkan peralatan ke dalam perut. Dimasukkan dari tenggorokan dan dari dubur. Dari situ akan lebih jelas apa sebenarnya yang terjadi di dalam perut saya.
Yang seperti itu di Surabaya juga bisa.
Sejak keluar dari RS saya kembali tidak bisa kentut dan tidak bisa pup. Selama tiga hari lagi. Tajin terus melewati tenggorokan tapi perut terus sesak. Setelah tiga hari di rumah saya tidak tahan omelan.
Akhirnya saya putuskan: ke Singapura. (bersambung)