Oleh Dahlan Iskan
Dari Robert Lai pula saya kenal Meiling. Nama lengkapnya Chang Meiling. Gadis (waktu itu) Tiongkok yang belum lama tinggal di Singapura.
Waktu itu saya ingin meneruskan pelajaran bahasa Mandarin saya. Sudah kepalang tanggung. Saya sudah kursus di Surabaya selama tiga bulan.
Saya sudah kursus di Jiangxi Chifan Daxue (semacam IKIP) selama sebulan penuh di kota Nanchang, Tiongkok. Di sini saya masuk asrama mahasiswa. Hidup bersama mahasiswa lokal. Saya belajar 16 jam sehari.
Di luar mata pelajaran di kampus saya menambah pelajaran sendiri dengan cara mendatangkan guru ke kamar saya. Mereka tidak tahu siapa saya karena makan pun saya ikut tarif mahasiswa (waktu itu) Rp3.000/makan.
Mereka baru heran ketika saya membeli selimut yang menurut mereka mahal. Waktu itu udara kian dingin. Saya terpaksa membeli selimut.
Tahun berikutnya saya kursus lagi sebulan. Dengan cara yang sama. Hanya saja kali ini di Beijing. Di Beijing Ren Ming Daxue.
Nah, tahun berikutnya lagi saya ingin kursus dengan cara lain: Home stay. Tinggal di dalam satu rumah tangga orang Tiongkok yang di rumah itu tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Biar saya, mau tidak mau, terpaksa berbicara bahasa Mandarin.
Sepanjang hari. Selama sebulan.
Saya kemukakan keinginan itu ke Robert. Dia menghubungi Meiling. Gadis cantik ini menyarankan saya home stay di kota kelahirannya: Harbin.
Dua alasan dikemukakannya. Pertama, dia kenal keluarga yang mungkin siap untuk menerima saya. Kedua, katanya, bahasa Mandarin yang paling asli itu berasal dari wilayah itu.
Robert setuju atas usul Meiling. Saya terserah saja.
Kota Harbin adalah ibukota propinsi Heilongjiang. Provinsi yang berbatasan dengan Rusia.
Tentu di musim dingin luar biasa dinginnya. Bisa minus 30 derajat. Dan amat tebal saljunya.
Provinsi ini termasuk empat provinsi yang disebut kawasan Manchuria. Suku bangsanya Manchu. Pernah menguasai seluruh Tiongkok selama 300 tahun.
Kini suku Manchu itu sudah tidak pernah disebut lagi. Sudah melebur ke dalam suku Han. Suku Hanlah yang kini merupakan 90 persen penduduk Tiongkok.
Manchuria atau suku Manchu tidak pernah lagi disebut sebagai mantan penjajah Tiongkok.
Saya diantar Robert dan Meiling ke Harbin. Langsung diperkenalkan dengan satu keluarga polisi berpangkat rendah. Istrinya mantan perawat. Satu anaknya sudah remaja putri dan satu anak laki-lakinya lagi masih anak-anak.
Keluarga polisi tersebut memang dari generasi yang belum terkena peraturan hanya boleh punya satu anak.
Berkat Meiling-lah saya bisa langsung masuk dalam keluarga itu. Tidak ada prosedur apa pun.
Sebagai orang asing yang akan tinggal di sebuah negara komunis mestinya banyak prosedur yang harus dilewati. Waktunya pun bisa sangat panjang.
Rumah itu seperti apartemen dua lantai di satu blok kira-kira 100 rumah. Satu blok itu hanya punya satu gerbang. Ada taman kecil di tengah blok tersebut.
Sebenarnya ada satu ponakan yang tinggal di rumah itu tapi diungsikan entah ke mana. Kamarnya disediakan untuk saya.
Selama berada di Harbin saya sempat mengajak pak Polisi itu jalan-jalan. Naik pesawat. Ke kota Heihe. Letaknya di perbatasan dengan Rusia. Yang hanya dibatasi oleh sungai.
Di akhir home stay saya pak Polisi itu memberikan kenangan yang menarik: seragam polisi Tiongkok. Lengkap dengan topi dan tanda pangkatnya.
Saya pernah berfoto dalam seragam itu dan sering menimbulkan pertanyaan yang aneh-aneh.
Tahun-tahun berikutnya Meiling banyak membantu saya. Misalnya kalau saya ingin mengajak beberapa bupati atau walikota ke Tiongkok. Agar bisa bertemu kepala daerah di sana. Untuk mendapat inspirasi bagaimana bisa membangun kota begitu cepat di sana.
Meilinglah yang mengatur agendanya di sana. Yang menghubungi para kepala daerah yang dituju. Rasanya sudah lebih 30 bupati/walikota/gubernur yang ikut program seperti itu di awal tahun 2000-an.
Meiling sangat lincah. Berpikirnya juga cepat. Apalagi jalannya. Tindakannya pun sangat cekatan.
NBeberapa tahun kemudian saya dengar Meiling mulai pacaran. Dengan pemuda Singapura yang mapan. Saya pun hadir di perkawinannya itu. Istri saya mengenakan kebaya resmi ala Jawa. Dia sudah berpakaian seperti itu sejak dari Surabaya.
Ternyata pesta perkawinan di Singapura itu sangat simple. Yang hadir hanya sekitar 50 orang. Padahal pengantin prianya dari keluarga yang tergolong amat kaya. Istri saya dengan pakaian Jawanya menjadi sangat menonjol di pesta itu.
Kini Meiling sudah punya dua anak. Laki dan perempuan. Saat saya opname di Singapura itu praktis tidak pernah makan makanan rumah sakit.
Dua kali sehari Meiling mengantari saya makanan dari rumahnya. Suaminya sendiri, Daniel, yang mengantarkannya.
Saya berbahagia. Punya teman-teman baik di mana-mana.
Di Indonesia, di Singapura, di Tiongkok, di Amerika, di Italia dan di banyak belahan lain dunia. Hidup itu indah.(habis)