Sejumlah desa di Kabupaten Buleleng, memiliki tradisi tersendiri jelang Hari Raya Nyepi Tahun Baru 1940 Saka. Tradisi itu telah dilangsungkan turun temurun, dan masih berlangsung hingga kini.
EKA PRASETYA, Singaraja
DI Banjar Adat Pakraman Paketan, Desa Pakraman Buleleng misalnya. Warga disana selalu melangsungkan tradisi ngoncang.
Sebenarnya warga di Banjar Paketan, saat pengrupukan rutin menggelar tradisi ngoncang. Biasanya warga mulai turun ke jalan membawa lesung padi, usai melakukan upacara mecarudi rumah masing-masing.
Lesung kemudian dipukul hingga muncul bunyi bertalu-talu. Hal itu diyakini bisa menetralisir energi negatif.
Tahun ini, tradisi ngoncang juga dikemas dalam bentuk lomba, sehingga tradisi itu berlangsung lebih meriah.
Lomba dipusatkan di depan Balai Banjar Paketan, Jumat (16/3) siang. Lomba itu diikuti rukun tetangga yang ada di wilayah banjar adat.
Warga pun antusias menyaksikan perlombaan tersebut. Pasalnya banyak peserta yang tampil dengan dandanan lucu dan menor.
Beberapa peserta juga ikut menghadirkan penari-penari dengan gaya centil. Tokoh adat setempat, Putu Mahendra mengungkapkan, tradisi ngoncang diyakini sudah ada sejak tahun 1602.
Namun di Banjar Adat Pakraman Paketan, tradisi ngoncang diyakini muncul sejak 1876. “Secara keyakinan Hindu, ngoncang itu dapat meneralisir keburukan.
Makanya sampai saat ini ngoncang itu selalu menjadi bagian dalam berbagai upacara. Misalnya ngeteng linggih, mediksa, khusus di Banjar Paketan, saat pengrupukan juga,” jelasnya.
Menurut Putu Mahendra, sampai saat ini tercatat ada 19 buah perangkat lesung padi di rumah-rumah warga.
Baik itu dalam kondisi baik, maupun yang sudah rusak. Ia pun mengimbau agar masyarakat merawat dengan baik peninggalan leluhur itu.
Kelian Desa Pakraman Buleleng, Nyoman Sutrisna juga menyambut positif diselenggarakannya lomba tersebut.
Sutrisna berharap agar masyarakat bisa menggelar lomba dengan skala lebih massif lagi, sehingga bisa menjadi pusat perhatian warga, terutama jelang hari raya Nyepi.
Selain di Banjar Paketan, tradisi saat pengrupukan juga ada di Desa Pakraman Bengkala. Krama setempat menggelar tradisi mejuk-jukan. Tradisi dipusatkan di depan Kantor Perbekel Bengkala.
Dari cerita turun temurun yang diyakini krama setempat, tradisi mejuk-jukan bermula dari sebuah cerita memilukan di desa setempat.
Dulunya ada wanita rupawan yang diperlakukan tidak baik oleh para pemuda desa setempat. Akhirnya terjadi hal buruk di desa.
Sejak saat itu, krama kemudian menggelar mejuk-jukan sebagai simbol pemuliaan pada kaum hawa.
Tradisi digelar setelah krama melangsungkan persembahyangan bersama di pura desa, Jumat siang.
Setelah melakukan persembahyangan, para truna akan bermusyawarah dan memilih sejumlah pemuda sebagai tukang juk, alias tukang tangkap.
Mereka akan menangkap lima orang gadis yang nantinya akan dibopong masuk ke Pura Desa Bengkala. Kelima gadis itu dipilih berdasarkan paruman para truna.
Gadis-gadis terpilih itu pun tak tahu mereka akan dijuk, karena biasanya mereka ditangkap dari belakang dan langsung dibopong ke pura desa.
“Ada syarat-syarat tertentu sesuai dengan keputusan truna-truna di desa. Misalnya mereka punya kepribadian yang baik, aktif dalam kegiatan di sekaa truna atau desa.
Secara filosofis, tradisi ini bermaksud memuliakan wanita. Kami meyakini dengan memuliakan wanita, akan ada hal positif yang kami dapat di masa mendatang,” kata Penyarikan Desa Pakraman Bengkala, Ketut Darpa.