DENPASAR – Tingginya harga daging ayam di pasaran membuat rugi konsumen. Kenaikan harga ini sendiri terjadi sejak Desember lalu.
Di pasar tradisional, harga ayam per kilogram mencapai Rp 37 ribu hingga Rp 40 ribu. Tingginya harganya disinyalir karena peternak tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Ketua Gabungan Rumah Potong Unggas (Garpu) Bali Sang Putu Sudarsana mengungkapkan, harga ayam hidup di tingkat peternak hingga masuk Rumah Potong Hewan (RPH) Rp 24.500 per kilogram.
Masalahnya, ayam potong di Bali memiliki berat tidak ideal. Dalam satu periode selama 35 hari, umumnya berat ayam mencapai 2 kilogram.
“Tapi sekarang, 35 hari berat ayam hanya 1,5 kilogram,” tuturnya. Dia menduga, peternak masih menggunakan antibiotik growth promotor (AGP) sehingga membuat pertumbuhan ayam terhambat.
Seharusnya, kata dia, pemerintah menyosialisasikan kepada peternak, bahwa pemakaian AGP tersebut dilarang.
“Seharusnya pemerintah jeli, kami melihat tidak ada keseriusan,” tuturnya. Dalam satu hari, ada 180 ribu ekor ayam yang diproduksi.
Karena kondisi berat ayam yang tidak sesuai, jumlah tersebut berkurang sekitar 100 ton bahkan bisa mengalami kekurangan suplai hingga 200 ton.
“Karena ada kekurangan suplai, otomatis harga akan naik,” bebernya. Akibatnya, Garpu Bali mendatangkan daging ayam dari Jawa sejak seminggu sebelum hari Raya Nyepi.
“Mengacu pada janji peternak, jangan menyerap daging dari Jawa. Tapi faktanya mereka tidak bisa memenuhi pasar,” jelas Sudarsana.
Apakah ini merugikan peternak Bali? Sudarsana menampik. Menurutnya, peternak mandiri di Bali hanya 1 sampai 2 persen.
Selebihnya, mereka rata-rata melakukan mitra kepada supplier-supllier besar. “Ayam mereka tetap diserap. Jadi tetap untung. Jadi ketika harga daging ayam naik, jangan kami yang disalakan,” tandasnya.
Untuk itu, dalam membahas tingginya harga daging ayam dan berbagai permasalahan yang membelit, pihak Garpu yang diundang oleh DPRD Provinsi Bali
akan menyampaikan berbagai hal atas kondisi yang terjadi. “Sehingga nanti bisa jelas dan terang,” tegasnya