32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 15:27 PM WIB

Berkat Jajanan Bali Anak Bisa Lulus Fakultas Kedokteran

Usaha jajanan pasar seperti laklak, ketan, dan lainnya, tidak bisa dipandang remeh. Dengan menjaga kualitas bahan dan rasa, dijamin pasti disukai pasar.

Pasutri Nengah Sukariata dan Ni Putu Putriani, asal Banjar Pande Kota, Kelurahan Semarapura Klod, Kangin, Klungkung, membuktikannya.

 

 

DEWA AYU PUTRI ARISANTI, Semarapura

KERJA keras dan kegigihan berusaha tak kenal waktu dilakoni pasangan suami istri Nengah Sukariata dan Ni Putu Putrini asal Banjar Pande Kota, Kelurahan Semarapura Klod Kangin, Klungkung, sejak bertahun-tahun lalu.

Berkat kerja kerasnya itu, tidak hanya bisa membiayai kebutuhan sehari-hari namun juga bisa menyekolahkan ketiga anaknya.

Bahkan anak pertamanya telah berhasil lulus sarjana kedokteran di Universitas Udayana (Unud), dan anak keduanya sedang bersiap untuk mendaftar ke Fakultas Kedokteran Hewan di Unud.

Putrini saat ditemui ketika sedang berjualan di Pasar Semarapura, mengungkapkan, usaha ini dilakoninya sejak ia baru menikah.

Itu lantaran pada saat menikah, suami dan dirinya belum memiliki pekerjaan sehingga memutuskan untuk meneruskan usaha sang mertua.

“Sudah lebih dari 25 tahun saya berjualan jajanan Bali,” ungkapnya. Saat memulai usaha, menurutnya, tidaklah mudah.

Karena tidak memiliki tempat berjualan dan juga pelanggan, ia akhirya memasarkan jajanan Bali buatannya itu dengan cara berkeliling.

Sejak pukul 03.00, dia sudah bersiap. Tidak sendiri. Dia dibantu oleh ketiga anak perempuannya dan juga suaminya.

“Dulu pokoknya berat sekali, tapi dijalani saja. Sampai sekarang, juga dibantu suami dan anak-anak saya menyiapkan bahan adonan,” katanya.

Berkat usahanya yang gigih dalam pemasaran, dan juga komitmennya dalam menjaga kualitas bahan serta rasa, jajanan yang dibuatnya tidak hanya laku di pasar tradisional, namun juga menerima pesanan dari rumah sakit dan pertokoan.

Dalam menjaga kualitas dan rasa, bahan-bahan yang digunakan merupakan bahan-bahan yang alami tanpa pengawet, pewarna buatan, dan juga pemanis buatan.

Gula merah yang digunakan pun merupakan gula merah asli Desa Dawan yang sudah sangat terkenal di Bali akan rasa dan kelezatannya.

“Ini yang sangat saya jaga agar orang terus percaya dan membeli jajanan saya. Orang pasti ingin makan-makanan yang sehat,” ujar wanita kelahiran tahun 1975 ini.

Meski menggunakan bahan-bahan yang berkualitas, harga jajanan Bali yang dijualnya terbilang murah. Untuk jajanan Bali yang dikemas dengan mika berukuran sedang, dijualnya dengan harga Rp 2.000 per buah.

Pernah merasakan hidup yang susah, menjadi alasan ia menjual jajanan buatannya itu dengan harga yang murah sehingga

tidak hanya masyarakat menengah ke atas saja yang bisa merasakan, namun juga masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

“Dari sini saya juga mau berbuat baik. Apalagi jajanan Bali seperti ini tidak hanya untuk dikonsumsi, tapi juga biasa digunakan dalam ritual agama Hindu di Bali,” terangnya.

Walau jajanan Bali yang dijualnya terbilang murah, namun dari usahanya itu lah dia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tidak hanya itu, anak pertamanya pun sudah lulus sekolah kedokteran meski tanpa beasiswa. Sementara anak keduanya sedang bersiap untuk mencari beasiswa sarjana Kedokteran Hewan di Unud.

Sementara anak ketiganya masih mengenyam pendidikan di bangku SMP. “Kalau hari-hari biasa, penjualan saya sekitar Rp 400 ribu per hari. Kalau hari raya sekitar Rp 600 ribu per hari,” tandasnya. 

Usaha jajanan pasar seperti laklak, ketan, dan lainnya, tidak bisa dipandang remeh. Dengan menjaga kualitas bahan dan rasa, dijamin pasti disukai pasar.

Pasutri Nengah Sukariata dan Ni Putu Putriani, asal Banjar Pande Kota, Kelurahan Semarapura Klod, Kangin, Klungkung, membuktikannya.

 

 

DEWA AYU PUTRI ARISANTI, Semarapura

KERJA keras dan kegigihan berusaha tak kenal waktu dilakoni pasangan suami istri Nengah Sukariata dan Ni Putu Putrini asal Banjar Pande Kota, Kelurahan Semarapura Klod Kangin, Klungkung, sejak bertahun-tahun lalu.

Berkat kerja kerasnya itu, tidak hanya bisa membiayai kebutuhan sehari-hari namun juga bisa menyekolahkan ketiga anaknya.

Bahkan anak pertamanya telah berhasil lulus sarjana kedokteran di Universitas Udayana (Unud), dan anak keduanya sedang bersiap untuk mendaftar ke Fakultas Kedokteran Hewan di Unud.

Putrini saat ditemui ketika sedang berjualan di Pasar Semarapura, mengungkapkan, usaha ini dilakoninya sejak ia baru menikah.

Itu lantaran pada saat menikah, suami dan dirinya belum memiliki pekerjaan sehingga memutuskan untuk meneruskan usaha sang mertua.

“Sudah lebih dari 25 tahun saya berjualan jajanan Bali,” ungkapnya. Saat memulai usaha, menurutnya, tidaklah mudah.

Karena tidak memiliki tempat berjualan dan juga pelanggan, ia akhirya memasarkan jajanan Bali buatannya itu dengan cara berkeliling.

Sejak pukul 03.00, dia sudah bersiap. Tidak sendiri. Dia dibantu oleh ketiga anak perempuannya dan juga suaminya.

“Dulu pokoknya berat sekali, tapi dijalani saja. Sampai sekarang, juga dibantu suami dan anak-anak saya menyiapkan bahan adonan,” katanya.

Berkat usahanya yang gigih dalam pemasaran, dan juga komitmennya dalam menjaga kualitas bahan serta rasa, jajanan yang dibuatnya tidak hanya laku di pasar tradisional, namun juga menerima pesanan dari rumah sakit dan pertokoan.

Dalam menjaga kualitas dan rasa, bahan-bahan yang digunakan merupakan bahan-bahan yang alami tanpa pengawet, pewarna buatan, dan juga pemanis buatan.

Gula merah yang digunakan pun merupakan gula merah asli Desa Dawan yang sudah sangat terkenal di Bali akan rasa dan kelezatannya.

“Ini yang sangat saya jaga agar orang terus percaya dan membeli jajanan saya. Orang pasti ingin makan-makanan yang sehat,” ujar wanita kelahiran tahun 1975 ini.

Meski menggunakan bahan-bahan yang berkualitas, harga jajanan Bali yang dijualnya terbilang murah. Untuk jajanan Bali yang dikemas dengan mika berukuran sedang, dijualnya dengan harga Rp 2.000 per buah.

Pernah merasakan hidup yang susah, menjadi alasan ia menjual jajanan buatannya itu dengan harga yang murah sehingga

tidak hanya masyarakat menengah ke atas saja yang bisa merasakan, namun juga masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

“Dari sini saya juga mau berbuat baik. Apalagi jajanan Bali seperti ini tidak hanya untuk dikonsumsi, tapi juga biasa digunakan dalam ritual agama Hindu di Bali,” terangnya.

Walau jajanan Bali yang dijualnya terbilang murah, namun dari usahanya itu lah dia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tidak hanya itu, anak pertamanya pun sudah lulus sekolah kedokteran meski tanpa beasiswa. Sementara anak keduanya sedang bersiap untuk mencari beasiswa sarjana Kedokteran Hewan di Unud.

Sementara anak ketiganya masih mengenyam pendidikan di bangku SMP. “Kalau hari-hari biasa, penjualan saya sekitar Rp 400 ribu per hari. Kalau hari raya sekitar Rp 600 ribu per hari,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/