DENPASAR – Jumlah data penerimaan dokumen persyaratan pencalonan perseorangan DPD RI dapil Bali terjun bebas.
Turun 44 persen dibanding lima tahun silam. Tepatnya dari 41 pendaftar di tahun 2013 menjadi hanya 23 orang tahun ini.
Tiga di antaranya perempuan, yakni Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati (2019 dukungan suara), Ni Made Suastini alias Dek Ulik (6024 suara), dan Ni Made Ayu Sriwathi (2263 suara).
Nama pertama, Sri Wigunawati yang kini wara-wiri menjadi tim pemenangan paslon nomor urut 1, Wayan Koster- Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Koster-Ace) tercatat ikut bertarung memperebutkan kursi senator.
Dr. I Nyoman Subanda, pengamat politik sekaligus akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar mengatakan, banyak faktor yang memicu berkurangnya jumlah peminat kursi DPD RI.
Salah satunya keikutsertaan tokoh-tokoh sentral dengan elektabilitas tinggi melamar posisi tersebut.
“Mangku Pastika, Anak Agung Gede Agung, Cok Rat, Arya Wedakarna. Orang melihat tokoh sekaliber Mangku Pastika sudah terbukti elektabilitasnya dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Maka relatif susah untuk mengalahkan. Baik dari segi modal, investasi sosial, ketokohan, plus pengalaman,” rinci Dr Nyoman Subanda kemarin.
Mundurnya Gede Pasek Suardika (GPS) dan I Kadek ‘Lolak’ Arimbawa dinilainya tetap tidak membuka ruang mudah bagi peminat baru seperti I Gusti Ngurah Harta yang namanya familiar di telinga masyarakat Bali.
“Ada beberapa tokoh yang memiliki ruang maju dari partai seperti Lolak dan Pasek Suardika (incumbent) yang akhirnya memilih berjuang untuk kursi DPR RI.
Nengah Wiratha, dulu pernah di DPD RI kini ada partai yang menawarkan jadi calon legislatif,” bebernya.
Subanda menambahkan masalah finansial alias biaya logistik juga menjadi ganjalan tersendiri.
“Mengadu nasib sebagai DPD RI tidak pas lagi karena hanya menghabiskan dana. Itu tersirat dari beberapa kawan yang mengaku kapok,” cetusnya sembari mengatakan kursi DPD RI kini bukan lagi sebagai pilihan utama masyarakat Bali.
“Posisinya dalam pengambilan keputusan kurang. Oleh karena itu hanya orang-orang tertentu yang bisa memiliki peran sentra di situ (DPD RI, red).
Yang menguasai kondisi daerahnya. Kalau hanya sekadar ngadu nasib saya kira tidak akan memiliki bargaining position yang kuat,” tegasnya.
Nama Mangku Pastika, Cok Rat, Anak Agung Gede Agung disebut Subanda mewakili bargaining position antara pemerintah pusat dan Provinsi Bali.
Meski demikian, akademisi murah senyum itu tak memungkiri pilihan ketiganya berdampak negatif bagi kaum intelektual muda Bali yang ingin berkiprah lewat panggung DPD RI.
“Positifnya, mereka di usia yang sudah tua masih ingin berbagi pengalaman dan berkontribusi bagi Bali. Namun dari aspek kaderisasi sebenarnya tidak ada pilihan
lain tokoh-tokoh senior ini harus memberikan ruang bagi generasi berikutnya. Caranya adalah ruang itu tidak diisi oleh senior,” tegasnya.
Senior dimaksud tegas Subanda adalah mereka yang memiliki elektabilitas tinggi dan kemungkinan besar memenangkan pertarungan perebutan kursi.
“Tentu bisa bila pikiran-pikirannya mau dititip kepada generasi muda,” tegasnya.