25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:31 AM WIB

Obat #Stress2019 Ala Shanghai

Oleh : Dahlan Iskan

Waktu di Shanghai saya terkesima dengan berita ini: orang antre beli rumah mewah. Yang disebut ‘rumah’ di sana berarti apartemen.

Apartemen mewah jadi kacang goreng. Baru terjadi dua minggu lalu. Menjelang saya berangkat ke Amerika.

Misalnya di proyek Qiantan Ocean One. Yang dibangun Joy City Property. Dia hanya jual 437 unit. Yang antre membeli 3.100 orang.

Padahal harga permeter perseginya selangit: 93.800 Renminbi. Atau sekitar Rp 190 juta/m2. Berati satu rumah yang luasnya 290 m2 itu harganya Rp 55 miliar.

Mengapa begitu laris? Ternyata harga itu dianggap murah. Itulah harga maksimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk kawasan itu. Untuk kelas itu. Harga pasarnya 20 persen lebih tinggi.

Apakah di Shanghai pemerintah menetapkan harga? Yang tidak boleh dilanggar?

Begitulah.

Itu peraturan baru. Untuk mengendalikan gilanya kenaikan harga rumah. Tak tertahankan. Sudah menjadi keluhan nasional: rakyat tidak akan lagi mampu beli rumah. Sebesar apa pun UMR-nya.

Anak-anak muda stress berat. Padahal untuk berani melamar (calon istri) harus sudah bisa beli rumah (mencicil). Malu.

Saya lihat di Tiongkok tidak ada budaya menjadi kontraktor: pengantin baru mengontrak rumah.

Peraturan baru itu diharap bisa ikut mengendalikan gilanya kenaikan harga apartemen. Tapi banyak pula yang skeptis: mana bisa. Peraturan itu dibuat hanya untuk disiasati.

Harga maksimum itu benar-benar jauh dari harga pasar. Bahkan, kata teman-teman saya, lebih murah dari harga rumah di pasar second hand.

Antrean serupa juga terjadi di proyek baru Daning Jianmao Palace. Juga di Shanghai.

Yang Sabtu dua minggu lalu melakukan penjualan 382 unit. Harga per unitnya sekitar Rp 40 miliar. Yang mendaftar 751 orang.

Padahal untuk mendaftar saja sudah harus menyetor uang Rp 2 miliar. Juga harus menunjukkan bukti punya deposito minimal Rp 6 miliar. Baru sisanya akan dibiayai dari pinjaman bank.

Tidak boleh ada lelang. Tidak boleh penawar tertinggi yang mendapatkannya. Maka jalan satu-satunya lotere. Undian. Siapa yang beruntung dialah yang berhak membeli. Yang kalah uang Rp 2 miliar dikembalikan.

Kondisi yang seperti itu tidak hanya di Shanghai. Juga di Beijing. Mungkin juga akan diikuti kota lain: Shenzhen. Terus ke kota Guangzhou. Dan seterusnya.

Itulah sebabnya Beijing memerlukan Meijing. Seperti Jakarta memerlukan Meikarta. Sebuah perumpamaan yang memang agak benar –ngawurnya.

Beijing sudah merencanakan membangun kota baru: dekat Baoding. Yang akan jadi kota modern abad mendatang. Inilah proyek prestisus Presiden Xijinping.

Tiongkok sudah terkenal pembangun proyek serba besar. Tapi inilah yang akan menjadi terbesar.

Mengalahkan proyek kereta cepat dan apa pun. Yang akan membuat nama Xi Jinping dikenang berabad-abad. Seperti Tembok Besar.

Saya sempatkan ke calon lokasi kota baru itu. Bulan lalu. (Lihat video). Masih berupa desa-desa dan tanah pertanian.

Kini masyarakat sudah tidak boleh menjual tanah di situ. Di radius 100 km2. Pun yang coba-coba investasi tanah gigit jari. Tidak mungkin lagi.
Itu juga untuk mengerem gilanya kenaikan harga rumah di Beijing. Agar yang muda mulai berani melamar.

Kalau ini terjadi di Jakarta mungkin sudah pada bikin hastag #Stress2019.(dis)

Oleh : Dahlan Iskan

Waktu di Shanghai saya terkesima dengan berita ini: orang antre beli rumah mewah. Yang disebut ‘rumah’ di sana berarti apartemen.

Apartemen mewah jadi kacang goreng. Baru terjadi dua minggu lalu. Menjelang saya berangkat ke Amerika.

Misalnya di proyek Qiantan Ocean One. Yang dibangun Joy City Property. Dia hanya jual 437 unit. Yang antre membeli 3.100 orang.

Padahal harga permeter perseginya selangit: 93.800 Renminbi. Atau sekitar Rp 190 juta/m2. Berati satu rumah yang luasnya 290 m2 itu harganya Rp 55 miliar.

Mengapa begitu laris? Ternyata harga itu dianggap murah. Itulah harga maksimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk kawasan itu. Untuk kelas itu. Harga pasarnya 20 persen lebih tinggi.

Apakah di Shanghai pemerintah menetapkan harga? Yang tidak boleh dilanggar?

Begitulah.

Itu peraturan baru. Untuk mengendalikan gilanya kenaikan harga rumah. Tak tertahankan. Sudah menjadi keluhan nasional: rakyat tidak akan lagi mampu beli rumah. Sebesar apa pun UMR-nya.

Anak-anak muda stress berat. Padahal untuk berani melamar (calon istri) harus sudah bisa beli rumah (mencicil). Malu.

Saya lihat di Tiongkok tidak ada budaya menjadi kontraktor: pengantin baru mengontrak rumah.

Peraturan baru itu diharap bisa ikut mengendalikan gilanya kenaikan harga apartemen. Tapi banyak pula yang skeptis: mana bisa. Peraturan itu dibuat hanya untuk disiasati.

Harga maksimum itu benar-benar jauh dari harga pasar. Bahkan, kata teman-teman saya, lebih murah dari harga rumah di pasar second hand.

Antrean serupa juga terjadi di proyek baru Daning Jianmao Palace. Juga di Shanghai.

Yang Sabtu dua minggu lalu melakukan penjualan 382 unit. Harga per unitnya sekitar Rp 40 miliar. Yang mendaftar 751 orang.

Padahal untuk mendaftar saja sudah harus menyetor uang Rp 2 miliar. Juga harus menunjukkan bukti punya deposito minimal Rp 6 miliar. Baru sisanya akan dibiayai dari pinjaman bank.

Tidak boleh ada lelang. Tidak boleh penawar tertinggi yang mendapatkannya. Maka jalan satu-satunya lotere. Undian. Siapa yang beruntung dialah yang berhak membeli. Yang kalah uang Rp 2 miliar dikembalikan.

Kondisi yang seperti itu tidak hanya di Shanghai. Juga di Beijing. Mungkin juga akan diikuti kota lain: Shenzhen. Terus ke kota Guangzhou. Dan seterusnya.

Itulah sebabnya Beijing memerlukan Meijing. Seperti Jakarta memerlukan Meikarta. Sebuah perumpamaan yang memang agak benar –ngawurnya.

Beijing sudah merencanakan membangun kota baru: dekat Baoding. Yang akan jadi kota modern abad mendatang. Inilah proyek prestisus Presiden Xijinping.

Tiongkok sudah terkenal pembangun proyek serba besar. Tapi inilah yang akan menjadi terbesar.

Mengalahkan proyek kereta cepat dan apa pun. Yang akan membuat nama Xi Jinping dikenang berabad-abad. Seperti Tembok Besar.

Saya sempatkan ke calon lokasi kota baru itu. Bulan lalu. (Lihat video). Masih berupa desa-desa dan tanah pertanian.

Kini masyarakat sudah tidak boleh menjual tanah di situ. Di radius 100 km2. Pun yang coba-coba investasi tanah gigit jari. Tidak mungkin lagi.
Itu juga untuk mengerem gilanya kenaikan harga rumah di Beijing. Agar yang muda mulai berani melamar.

Kalau ini terjadi di Jakarta mungkin sudah pada bikin hastag #Stress2019.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/