DENPASAR – Debat perdana Pilgub Bali, kedua paslon telah tebar pesona. Menariknya, seusai debat baik paslon nomor urut 1, Wayan Koster- Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati
Koster-Ace) maupun paslon 2, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra- I Ketut Sudikerta (Mantra-Kerta) mengaku unggul.
Paslon nomor urut satu bahkan diberitakan di sejumlah media massa cetak maupun elektronik unggul dalam survei.
Secara persentase keunggulan itu pun telak. Namun sayangnya, tidak diketahui lembaga survei yang bertanggung jawab atas angka-angka tersebut.
Pengamat politik sekaligus dosen Universitas Udayana, I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa mengatakan sebuah metodologi polling,
khususnya terkait hajatan Pilkada Serentak 2018 wajib hukumnya mengedukasi masyarakat secara politik.
Dirinya menyesalkan berbagai poling dalam Pilgub Bali ditayangkan oleh berbagai media, terutama perusahaan media on line Bali.
Lantaran tidak kredibel atau terpercaya, Suka Arjawa menyebut poling tersebut tidak layak dipercaya.
“Saya tidak mau masuk ke dalam persoalan politik apalagi membela paslon tertentu. Saya hanya mengingatkan agar masyarakat mencermati secara cerdas soal beberapa polling
yang dilakukan selama ini di Bali. Karena publikasi dari poling harus lengkap, metodis, dan ilmiah,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu.
Menurutnya, bila polling dipublikasikan ke publik, maka beberapa hal penting wajib diperhatikan.
Pertama, perlu ada penjelasan secara rinci bagaimana metodologi yang digunakan, komposisi responden yang digunakan sesuai dengan jumlah pemilih di setiap kabupaten di Bali.
Kedua, perlu juga dijelaskan margin eror bila itu menyangkut perolehan angka keterpilihan. Bila margin error tidak dijelaskan, maka sesungguhnya survei tidak memenuhi unsur ilmiah dan cenderung menguntungkan pasangan tertentu.
“Angka-angka yang dimunculkan selalu di atas dan tidak ada margin error, sementara dalam survei manapun selalu dimungkinkan ada margin error,” ucapnya.
Survei dalam konteks Pilkada Serentak 2018 yang menjadi konsumsi khalayak harus mampu mendidik masyarakat secara politik.
“Kalau survei yang tidak memenuhi unsur-unsur ilmiah kemudian hasil survei itu dipublikasikan, maka masyarakat bukannya teredukasi secara politik,
tetapi malah membuat semakin apatis terhadap politik. Yang rugi malah masyarakat dan paslon atau kandidat yang disurvei,” ujarnya.
Lebih lanjut ditekankan Suka Arjawa bahwa saat ini masyarakat sudah semakin melek dengan politik.
Oleh karena itu, survei dari lembaga yang tidak resmi malah akan merugikan kandidat itu sendiri.
“Karena hanya ingin menaikkan pencitraan dan terindikasi menggiring opini secara tidak bermartabat,” tegasnya.