Oleh: Dahlan Iskan
Hampir satu jam saya sendirian di rumah itu. Eh… masjid itu. Sambil lihat-lihat apa yang tertempel di dinding: sebuah AC-jendela yang lama. Kalimat-kalimat pujian dalam bahasa Arab. Tertempel pula teguran dari Pemda: harus membayar sesuatu. Dan harus melengkapi beberapa syarat perizinan yang belum ada.
Oh… di dinding itulah tertempel: salat Jumatnya pukul 14:35. Ada juga jadwal salat: maghrib pukul 21:00. Saya pun masuk toilet lagi. Ingin berwudlu. Ingin salat sunnah. Lalu ingin baca Qur’an.
Banyak Qur’an di rak itu. Berbagai ukuran. Ada juga buku tebal: terjemahan Qur’an dalam bahasa Inggris. Saya cukup lama membolak-baliknya. Menarik. Tiap surah didahului dengan ikhtisar: bicara apa sih surah berikut itu.
Misalnya surah At Tariq. Tentang bintang. Disertai ikhtisar apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata ‘bintang pagi’ di surah itu. Lihatlah foto halaman itu. Yang saya sertakan di tulisan ini. Baru kali ini saya tahu. Biar pun pernah enam tahun di pesantren.
Tiba-tiba ada orang tua masuk. Agak kaget ia… kok ada saya. Kami pun bersalaman. Berkenalan.
Saya disuruh menebak: ia orang mana. Saya tebak: asal Pakistan. Salah. Ia asal Arabi Saudi. Dari kota Dammam. Sudah empat tahun di Hays.
Ia menemani putrinya. Kuliah di Fort Hays University. Ambil biologi. Tahun depan lulus. Kembali ke Saudi. Minggu depan pun ia pulang ke Saudi. Bersama putrinya. Ramadhan di sini, katanya, tidak enak. Suasananya beda. Ramadhan harus di kampung.
Pemerintah Saudi mengijinkan warganya yang perempuan sekolah di Amerika. Asal didampingi orang tuanya. Atau saudara kandungnya. Atau suami/istrinya.
Ia mendampingi putrinya itu. Sewa apartemen dua kamar. Di komplek universitas. Ada tiga wanita Saudi di universitas ini. Dari total sekitar 20 mahasiswa Saudi. Ada yang ambil kimia, geologi, biologi, bahasa dan ada yang ambil gelar doktor.
Setelah berkenalan orang tua tadi tiba-tiba azan. Jam menunjukkan pukul 14:10. Saya tanya: azan apa tadi? Ia jawab: azan pertama untuk Jumatan.
Hanya ada ia dan saya. Lalu ia menjelaskan bagaimana prosesi Jumatan itu. Seperti mengira saya tidak pernah Jumatan.
Saat kami membaca Quran ada satu anak muda datang. Langsung ambil vacuum cleaner. Memvacuum karpet. Kami menyingkir.
Dia mahasiswa dari Saudi juga. Tahun kedua. Ambil geologi. Setelah karpet bersih anak muda itu ke dapur. Membuat dupa. Asapnya mengepul. Aroma dupanya kuat. Dupa itu ia sodorkan ke orang tua tadi. Untuk dihirup aroma – dan asapnya ikut.
Asapnya dikibas-kibas dengan tangannya agar asap mengarah ke hidungnya. Lalu disodorkan ke saya. Saya tiru apa yang dilakukan pak tua. Praktik dupa ini yang tidak ada di Indonesia. Tapi biasa dilakukan di Arab Saudi.
Di masjid-masjid Tiongkok juga ada adat bakar dupa. Sebelum sembahyang. Disertai menancapkan lidi hio. Dengan pembakaran dupa itu pertanda Jumatan akan dimulai. Jam menunjukkan pukul 14:35. Anak vacuum cleaner tadi azan. Itulah azan kedua.
Bersamaan dengan itu orang tua tadi maju. Duduk di kursi lipat. Siap berkhotbah: topinya ia balik. Capingnya dihadapkan ke belakang. Seperti anak muda Amerika yang mau nge-rap. Baju kausnya agak lusuh. Jelananya jean.
Khotbahnya penuh dalam bahasa Arab. Isinya tentang persiapan memasuki bulan ramadhan. Ibadah apa saja yang harus diperbanyak. Di tengah khotbah sudah ada 10 orang yang datang. Ternyata orang tua itu juga yang jadi imam.
Oh…topinya tadi dibalik agar dahinya bisa menempel ke sajadah. Saat sujud.
Habis salat kami saling salaman. Berkenalan. Umunya mereka mahasiswa. Dari Saudi. Ada S1, master dan calon doktor. Hanya satu dari Mesir. Dan satu dari Jordan.
Anak muda vacuum cleaner itu dosen di Riyadh. Bulan depan lulus master. Akan melanjutkan doktornya. Mungkin di Inggris. Di sini, katanya, perlu lima tahun. Di Inggris bisa tiga tahun.
Meski kelihatan sementara, masjid ini permanen. Rumah ini sudah dibeli. Sekitar 16 tahun yang lalu. Tidak ada yang ingat persisnya. Generasi mahasiswa terus berganti. Ternyata Jumatan pukul 14:35 itu bukan karena alirannya. Tapi lebih karena jam segitulah mereka baru bisa keluar kampus.
Hanya ada 20-an orang Islam di sini.
Saya sudah tahu tempat ini. Kapan saja bisa ke sini. Ada atau tidak ada pertanda-pertanda. Hanya orang yang mampu menangkap pertanda-pertanda akan bahagia hidupnya. Itu bukan dari Paulo Coelho.(dis)