DENPASAR – Pihak penggugat kembali menghadirkan saksi fakta dalam persidangan gugatan masyarakat dan Greenpeace Indonesia terhadap
Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor: 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan
PLTU Celukan Bawang 2×330 MW di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, Kamis (24/5) kemarin.
Sejumlah fakta menarik terungkap. Saksi menyebut masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi rencana pembangunan PLTU Batubara Celukan Bawang 2×330 MW.
Pihak tergugat langsung membantahnya dengan menunjukkan alat bukti berupa daftar hadir yang menjadi satu kesatuan dengan AMDAL.
Saksi dari penggugat tetap berpegang pada kesaksiannya bahwa nama-nama yang tertera dalam daftar hadir tersebut berasal dari satu banjar dan memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala dusun.
Hal tersebut disampaikan M. Sadli selaku mantan ketua LPM Desa Celukan Bawang dalam persidangan kemarin.
Menurutnya, warga yang hadir dalam acara sosialisasi pada 28 Agustus 2016 sesuai yang ada di AMDAL itu berasal dari 1 Banjar Dinas Pungkukan.
“Itu beberapa masih ada hubungan keluarga dari kepala dusun Pungkukan. Dari 25 yang hadir itu hanya 2 saksi yang tidak tau,” ujarnya M. Sadli.
Ia juga mengatkan bahwa saat pembebasan lahan dulu awalnya warga tidak tahu kalau akan di bangun PLTU.
“Warga tahunya akan dibangun pabrik cat, setelah warga melepas lahannya baru warga mengetahui akan dibangun PLTU,” terangnya.
Selain itu, warga Celukan Bawang mengaku tidak pernah menolak pembangkit listrik, namun yang ditolak adalah bahan bakar batubara yang digunakan.
Dampak buruk batubara dari PLTU Celukan Bawang yang sudah beroperasi sudah dirasakan oleh warga.
Mereka tidak menginginkan batubara semakin merusak lingkungan tempat tinggal mereka serta mengancam kesehatan dan melumpuhkan aktivitas ekonomi mereka.
Terlebih lagi, izin lingkungan dikeluarkan ketika masih banyak warga yang tinggal di lahan ekspansi tersebut.
Kejanggalan lainnya adalah ijin lingkungan dari PLTU Celukan Bawang 2×330 MW ini bisa terbit meskipun proyek ini tidak pernah tercantum dalam dokumen sah RUPTL 2018-2027.
dr Didit haryo W selaku pengkampanye iklim dan energy greenpeace melihat persidangan kemarin menunjukan bahwa masyarakat memang tidak pernah dilibatkan dalam proses sosialisasi.
“Ini tampak jelas hanya akal-akalan perusahaan saja, terbukti saksi mampu menjelaskan bahwa warga yang tercatat didalam dokumen
yang menghadiri sosialisasi adalah satu keluarga yang sama sekali tidak mawakili kepentingan warga lainnya,” tutupnya.
Menurut kuasa hukum penggugat dari LBH Bali, keterangan saksi tadi semakin menegaskan bahwa sosialisasi akan dibangunnya PLTU Batubara tidak representatif karena hanya dihadiri oleh 25 orang dan itupun berasal dari 1 Banjar.
“Sedangkan masyarakat terdampak bukan hanya 1 Banjar saja, bahkan ada desa yang lain selain desa Celukan Bawang,” tegas Dewa Putu Adnyana selaku Direktur LBH Bali kemarin saat dikonfirmasi.