29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:26 AM WIB

Ribuan Kilometer Kansas – Boston

Oleh: Dahlan Iskan

Berita dari Boston itu masuk ke HP saya. Tentang kepastian jadwal rapat di MIT. Masih ada waktu empat hari. Beberapa agenda di Hays bisa saya tunda. Termasuk lanjutan diskusi kredit untuk petani.

Jadwal ke Columbia saya majukan: lihat reaktor riset Universitas Missouri. Saya putuskan juga: ke Boston jalan darat. Toh tim saya dari Indonesia baru akan tiba sehari sebelum jadwal rapat.

Saya belum hitung: berapa ribu kilometer jalan yang harus saya tempuh. Yang jelas harus melintasi tujuh negara bagian. Sambil mampir-mampir. Nyetir bergantian. John dan saya. Hanya berdua.

Sayangnya saya sudah pernah menjelajah wilayah itu: Kansas, Missouri, Illinoi, Indiana, Ohio terus naik ke Buffalo, Niagara, Liverpool, mampir ke Universitas Syracuse, trus Amsterdam, Manchester, Lebanon, masuk negara bagian Vermon, ke timur tembus Boston. Empat hari tiga malam.

Tidak ada yang baru. Tapi saya bisa menambah ilmu: cara baru nyetir mobil. Pada umur 66 tahun. Belajar lagi: bagaimana menggunakan gas otomatis.

Di setiap mobil sebenarnya memiliki fasilitas itu. Tapi saya belum pernah memakainya. Atau mencobanya. Tidak mungkin dipakai di Indonesia. Yang jalannya seperti itu. Yang padatnya seperti itu. Tapi, di Amerika, kalau nyetir tidak pakai ‘itu’ justru membahayakan. Kaki bisa kram. Terlalu lama nempel di pedal gas. Tanpa gerakan menambah atau mengurangi gas.

Misalnya dari Hays di Kansas ke Columbia di Missouri itu. Delapan jam. Kecepatan hampir konstan: selalu 75 mil/jam. Atau sekitar 130 km/jam. Tanpa harus pindah jalur. Tanpa ada lampu merah. Tanpa harus injak gas. Tanpa harus injak rem. Nyaris begitu terus.

Itulah kondisi jalan bebas hambatan yang saya lalui. Nama jalannya I-70. Sepanjang ribuan kilometer namanya sama: Jalan I-70. I singkatan dari interstate.

Sepanjang jalan itu kadang dua lajur. Kadang tiga lajur. Tergantung wilayahnya padat atau tidak. Orang Amerika sangat terbiasa berkendara ribuan kilometer. Selalu menggunakan tuas kecil di bawah setir itu.

Begitu tuas diklik kecepatan mobil akan terus sama. Tidak akan lebih cepat atau lebih lambat. Kalau jalan lagi naik otomatis gasnya nambah sendiri. Kalau jalan lagi menurun gasnya berkurang sendiri.

Dengan demikian kedua kaki bisa sepenuhnya istirahat. Tidak harus selalu menempel di pedal gas. Kalau hanya ingin tambah gas cukup di tuas itu juga. Menguranginya pun begitu.

Awalnya saya takut. Lalu coba-coba. Ternyata memang enak begitu. Nyetir mobil enam jam pun tidak capek. Lalu-lintas lengang. Tidak pernah macet. Aspal jalannya mulus. Tidak ada gronjalan. Gak perlu bayar tol. Gratis.

Sepanjang jalan kami ngobrol apa saja. Tidak ada yang tidur. John sudah menceritakan nyaris semua isi Injil. Saya juga sudah menceritakan isi Quran. Isinya begitu banyak persamaannya.

Kami juga melakukan inventarisasi asal usul kesalahpahaman. Antara Islam dan Kristen.

John juga bercerita bagaimana orang Kristen mendoktrin kekristenan pada anak mereka. Saya menceritakan bagaimana kami mendoktrin keislaman di anak kami.

John sering menertawakan kekonyolan-kekonyolan dalam masyarakat Kristen. Saya pun juga menceritakannya di sisi masyarakat Islam.

Kadang kami bicara politik. Di dua negara. Kadang bicara mengenai mengapa ada ras. Dan asal usulnya.

John dan saya pernah sama-sama test darah. Untuk melihat DNA. Yang beda: darah John Jerman-Inggris. Darah saya: ras Asia Tenggara.

Tapi ada persamaannya. Meski sedikit. Dalam darah kami sama-sama mengandung aliran darah Nienderstal. kadarnya sama-sama 2 persen.

Nienderstal adalah manusia purba. Yang hidup di gua-gua di Eropa.

Di dalam darah kami juga sama-sama mengandung darah suku Indian. John lebih tinggi: 5 persen. Darah Indian saya 2 persen.

John hanya punya 4 campuran (Jerman, Inggris, Indian dan Nienderstal). Darah saya lima campuran: Asia Tenggara (mungkin Jawa), Tionghoa, Arab, Indian dan Nienderstal.

Di Buffalo kami mampir sebentar ke air terjun Niagara. Begitu banyak manusia. Dari begitu banyak ras.

Melihat Niagara ternyata gratis. Saya bertanya ke bagian informasi: mengapa tidak pakai karcis. Dia (she) menjawab: ini kan taman; masak ke taman harus bayar.

Oh iya. Ke pantai Kuta di Bali juga gratis. Kalau toh ada air terjun yang tidak gratis itu kan hanya retribusi.

Baguskah Niagara? Hebatkah? Seperti di gambar itu? Iya. Hebat. Indah. Seru. Tapi ya sudah. Memang hebat, mau diapakan.

Tidak sampai 15 menit kami meneruskan perjalanan. Tidak perlu menyesal. Toh tidak bayar.

Sampai Boston saya hitung: kami telah setir mobil 2.570 Kilometer. Dalam empat hari. Dan masih akan tambah.

Dari Boston masih akan ke Connecticut, Virginia, North Carolina, Kentucky, Illinoi dan kembali ke Missouri.

Rasanya, kapan-kapan saya harus ke Amerika lagi. Dari 52 negara bagian masih satu yang belum saya kunjungi: Maine. Di pojok timur laut.

Hampir saja saya mampir ke Maine. Saat menuju ke Boston. Tinggal satu jam dari Manchester, NH. Tapi tidak ada keperluan apa-apa.

Dan lagi tim saya yang dari Indonesia sudah menunggu di Boston. Lain kali, Maine. Kapan-kapan.(dis)

Oleh: Dahlan Iskan

Berita dari Boston itu masuk ke HP saya. Tentang kepastian jadwal rapat di MIT. Masih ada waktu empat hari. Beberapa agenda di Hays bisa saya tunda. Termasuk lanjutan diskusi kredit untuk petani.

Jadwal ke Columbia saya majukan: lihat reaktor riset Universitas Missouri. Saya putuskan juga: ke Boston jalan darat. Toh tim saya dari Indonesia baru akan tiba sehari sebelum jadwal rapat.

Saya belum hitung: berapa ribu kilometer jalan yang harus saya tempuh. Yang jelas harus melintasi tujuh negara bagian. Sambil mampir-mampir. Nyetir bergantian. John dan saya. Hanya berdua.

Sayangnya saya sudah pernah menjelajah wilayah itu: Kansas, Missouri, Illinoi, Indiana, Ohio terus naik ke Buffalo, Niagara, Liverpool, mampir ke Universitas Syracuse, trus Amsterdam, Manchester, Lebanon, masuk negara bagian Vermon, ke timur tembus Boston. Empat hari tiga malam.

Tidak ada yang baru. Tapi saya bisa menambah ilmu: cara baru nyetir mobil. Pada umur 66 tahun. Belajar lagi: bagaimana menggunakan gas otomatis.

Di setiap mobil sebenarnya memiliki fasilitas itu. Tapi saya belum pernah memakainya. Atau mencobanya. Tidak mungkin dipakai di Indonesia. Yang jalannya seperti itu. Yang padatnya seperti itu. Tapi, di Amerika, kalau nyetir tidak pakai ‘itu’ justru membahayakan. Kaki bisa kram. Terlalu lama nempel di pedal gas. Tanpa gerakan menambah atau mengurangi gas.

Misalnya dari Hays di Kansas ke Columbia di Missouri itu. Delapan jam. Kecepatan hampir konstan: selalu 75 mil/jam. Atau sekitar 130 km/jam. Tanpa harus pindah jalur. Tanpa ada lampu merah. Tanpa harus injak gas. Tanpa harus injak rem. Nyaris begitu terus.

Itulah kondisi jalan bebas hambatan yang saya lalui. Nama jalannya I-70. Sepanjang ribuan kilometer namanya sama: Jalan I-70. I singkatan dari interstate.

Sepanjang jalan itu kadang dua lajur. Kadang tiga lajur. Tergantung wilayahnya padat atau tidak. Orang Amerika sangat terbiasa berkendara ribuan kilometer. Selalu menggunakan tuas kecil di bawah setir itu.

Begitu tuas diklik kecepatan mobil akan terus sama. Tidak akan lebih cepat atau lebih lambat. Kalau jalan lagi naik otomatis gasnya nambah sendiri. Kalau jalan lagi menurun gasnya berkurang sendiri.

Dengan demikian kedua kaki bisa sepenuhnya istirahat. Tidak harus selalu menempel di pedal gas. Kalau hanya ingin tambah gas cukup di tuas itu juga. Menguranginya pun begitu.

Awalnya saya takut. Lalu coba-coba. Ternyata memang enak begitu. Nyetir mobil enam jam pun tidak capek. Lalu-lintas lengang. Tidak pernah macet. Aspal jalannya mulus. Tidak ada gronjalan. Gak perlu bayar tol. Gratis.

Sepanjang jalan kami ngobrol apa saja. Tidak ada yang tidur. John sudah menceritakan nyaris semua isi Injil. Saya juga sudah menceritakan isi Quran. Isinya begitu banyak persamaannya.

Kami juga melakukan inventarisasi asal usul kesalahpahaman. Antara Islam dan Kristen.

John juga bercerita bagaimana orang Kristen mendoktrin kekristenan pada anak mereka. Saya menceritakan bagaimana kami mendoktrin keislaman di anak kami.

John sering menertawakan kekonyolan-kekonyolan dalam masyarakat Kristen. Saya pun juga menceritakannya di sisi masyarakat Islam.

Kadang kami bicara politik. Di dua negara. Kadang bicara mengenai mengapa ada ras. Dan asal usulnya.

John dan saya pernah sama-sama test darah. Untuk melihat DNA. Yang beda: darah John Jerman-Inggris. Darah saya: ras Asia Tenggara.

Tapi ada persamaannya. Meski sedikit. Dalam darah kami sama-sama mengandung aliran darah Nienderstal. kadarnya sama-sama 2 persen.

Nienderstal adalah manusia purba. Yang hidup di gua-gua di Eropa.

Di dalam darah kami juga sama-sama mengandung darah suku Indian. John lebih tinggi: 5 persen. Darah Indian saya 2 persen.

John hanya punya 4 campuran (Jerman, Inggris, Indian dan Nienderstal). Darah saya lima campuran: Asia Tenggara (mungkin Jawa), Tionghoa, Arab, Indian dan Nienderstal.

Di Buffalo kami mampir sebentar ke air terjun Niagara. Begitu banyak manusia. Dari begitu banyak ras.

Melihat Niagara ternyata gratis. Saya bertanya ke bagian informasi: mengapa tidak pakai karcis. Dia (she) menjawab: ini kan taman; masak ke taman harus bayar.

Oh iya. Ke pantai Kuta di Bali juga gratis. Kalau toh ada air terjun yang tidak gratis itu kan hanya retribusi.

Baguskah Niagara? Hebatkah? Seperti di gambar itu? Iya. Hebat. Indah. Seru. Tapi ya sudah. Memang hebat, mau diapakan.

Tidak sampai 15 menit kami meneruskan perjalanan. Tidak perlu menyesal. Toh tidak bayar.

Sampai Boston saya hitung: kami telah setir mobil 2.570 Kilometer. Dalam empat hari. Dan masih akan tambah.

Dari Boston masih akan ke Connecticut, Virginia, North Carolina, Kentucky, Illinoi dan kembali ke Missouri.

Rasanya, kapan-kapan saya harus ke Amerika lagi. Dari 52 negara bagian masih satu yang belum saya kunjungi: Maine. Di pojok timur laut.

Hampir saja saya mampir ke Maine. Saat menuju ke Boston. Tinggal satu jam dari Manchester, NH. Tapi tidak ada keperluan apa-apa.

Dan lagi tim saya yang dari Indonesia sudah menunggu di Boston. Lain kali, Maine. Kapan-kapan.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/