33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:32 PM WIB

Berangkat dari Tamatan SMP, Sebut UKM Bali Minim Brand

Di kalangan industri fashion dan artis nasional, nama Anne Avantie tidak asing lagi. Perempuan kelahiran Semarang, 20 Mei 1954 itu memulai usahanya dari nol hingga tumbuh besar seperti sekarang.

Tamatan SMP yang mengaku gagap teknologi itu sempat berbagi pengamalamannya di kalangan wirausahawan Bali. Seperti apa?

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

MENGENAKAN sanggul dengan hiasan bunga kamboja menjadi ciri khas Anne Avantie dalam setiap kesempatan.

Seperti yang tampak pada pertemuan dengan sejumlah wirausahawan Bali di Rumah Luwih pada Minggu malam (27/5) lalu.

Tampil dengan balutan kain batik, pertemuan malam itu menyosialisasikan jika Anne akan menggelar pameran bertajuk Pagelaran Cinta Putih pada 27 Juli mendatang.

Pameran semacam ini pernah dia buat di Bali 13 tahun lalu. Sebelum pameran berlangsung, Anne sedikit berbagi pengalamannya selama 29 tahun berkiprah di dunia busana.

“Saya ini tamatan SMP, saya juga gaptek (gagap teknologi, red). Saya tidak paham internet,” ujar Anne dihadapan wirausahawan Bali.

Walau namanya kini sudah tenar, Anne tampak tidak malu bicara masa lalunya. “Dulu saya tidak kuliah perancang busana. Saya memulai dari bawah,” ungkap istri dari Yoseph Henry Susilo itu.

Berbekal semangat dan kerja keras, usaha Anne tumbuh dan berkembang hingga punya nama di kalangan artis papan atas.

Diakui Anne, setiap usaha akan ada pasang surut. “Usaha nggak selamanya di atas. Ada waktu di atas dan di bawah,” jelasnya.

Bahkan, kadangkala posisi berada terjungkal akibat salah perhitungan. “Ada juga waktunya harus turun,” terangnya.

Kini, di 29 tahun berkarya sebagai perancang busana, Anne mengaku menurunkan sedikit tensi pekerjaannya.

“Di 29 tahun berkarya, saya merasa mau apa lagi? Dengan sadar saya menurunkan diri,” terang ibu tiga anak itu.

Kini, Anne pun menggandeng Usaha Kecil Menengah (UKM) yang ada di Indonesia. “Termasuk kami masuk ke Lapas (Lembaga Pemasrakatan, red) untuk memberikan pelatihan bagi narapidana. Hasilnya dijual untuk mereka juga,” terangnya.

Anne pun membagi sedikit strategi dalam berusaha. Kalau bisa membeli produk UKM. “Semua dibeli secara tunai. Jangan buat susah orang lain,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Anne juga mengajak untuk berbagi kepada kaum disabilitas. Ada kursi roda yang dibagikan.

Secara tidak langsung, Anne memberikan gambaran jika bekerja harus dibarengi dengan berderma. Usai pertemuan itu, kepada wartawan Anne mengaku ingin memajukan dunia busana di tanah air.

“Saya tidak masalah karya saya di-kloning (tiru, red). Saya menggabungkan antara karya dan kehidupan sosial. Saya menunjukkan keberhasilan ini untuk apa?” terangnya.

Mengenai kondisi Usaha Kecil Menengah (UKM) di bidang busana di Bali Anne berharap pemerintah Gianyar atau pemerintah Bali, bisa menjembatani pihak Anne supaya bisa membuat seminar.

“(Di Bali, red) Saya melihat UMKM-nya jalan, tapi brand (nama, red) yang tidak jalan,” paparnya blak-blakan.

Diakui Anne, brand di Bali masih dikuasai oleh brand luar. “Seharusnya pelaku UMKM ini bercitra, apapun itu pencitraan baik. Kalau jadi katak dalam tempurung, maka tidak akan maju,” terangnya.

Sebagai desainer mapan, Anne justru melihat ada kesan manja bagi pelaku UKM di Bali. “Saya melihat sebagai sosok manja, untuk selalu berada di bawah binaan (pemerintah, red) terus menerus, justru tidak akan jalan,” terangnya.

Seharusnya, UKM yang sudah mampu mandiri lebih baik melepaskan diri dari naungan pemerintah.

“Yang harusnya lepas, harusnya memiliki tempat dan jaringan atau sub tersendiri. Seperti menjadi negara kecil. Tidak selalu harus pemerintah. Tapi mungkin pemerintah terlalu memanjakan, itu jadi ketergantungan,” tukasnya. 

Di kalangan industri fashion dan artis nasional, nama Anne Avantie tidak asing lagi. Perempuan kelahiran Semarang, 20 Mei 1954 itu memulai usahanya dari nol hingga tumbuh besar seperti sekarang.

Tamatan SMP yang mengaku gagap teknologi itu sempat berbagi pengamalamannya di kalangan wirausahawan Bali. Seperti apa?

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

MENGENAKAN sanggul dengan hiasan bunga kamboja menjadi ciri khas Anne Avantie dalam setiap kesempatan.

Seperti yang tampak pada pertemuan dengan sejumlah wirausahawan Bali di Rumah Luwih pada Minggu malam (27/5) lalu.

Tampil dengan balutan kain batik, pertemuan malam itu menyosialisasikan jika Anne akan menggelar pameran bertajuk Pagelaran Cinta Putih pada 27 Juli mendatang.

Pameran semacam ini pernah dia buat di Bali 13 tahun lalu. Sebelum pameran berlangsung, Anne sedikit berbagi pengalamannya selama 29 tahun berkiprah di dunia busana.

“Saya ini tamatan SMP, saya juga gaptek (gagap teknologi, red). Saya tidak paham internet,” ujar Anne dihadapan wirausahawan Bali.

Walau namanya kini sudah tenar, Anne tampak tidak malu bicara masa lalunya. “Dulu saya tidak kuliah perancang busana. Saya memulai dari bawah,” ungkap istri dari Yoseph Henry Susilo itu.

Berbekal semangat dan kerja keras, usaha Anne tumbuh dan berkembang hingga punya nama di kalangan artis papan atas.

Diakui Anne, setiap usaha akan ada pasang surut. “Usaha nggak selamanya di atas. Ada waktu di atas dan di bawah,” jelasnya.

Bahkan, kadangkala posisi berada terjungkal akibat salah perhitungan. “Ada juga waktunya harus turun,” terangnya.

Kini, di 29 tahun berkarya sebagai perancang busana, Anne mengaku menurunkan sedikit tensi pekerjaannya.

“Di 29 tahun berkarya, saya merasa mau apa lagi? Dengan sadar saya menurunkan diri,” terang ibu tiga anak itu.

Kini, Anne pun menggandeng Usaha Kecil Menengah (UKM) yang ada di Indonesia. “Termasuk kami masuk ke Lapas (Lembaga Pemasrakatan, red) untuk memberikan pelatihan bagi narapidana. Hasilnya dijual untuk mereka juga,” terangnya.

Anne pun membagi sedikit strategi dalam berusaha. Kalau bisa membeli produk UKM. “Semua dibeli secara tunai. Jangan buat susah orang lain,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Anne juga mengajak untuk berbagi kepada kaum disabilitas. Ada kursi roda yang dibagikan.

Secara tidak langsung, Anne memberikan gambaran jika bekerja harus dibarengi dengan berderma. Usai pertemuan itu, kepada wartawan Anne mengaku ingin memajukan dunia busana di tanah air.

“Saya tidak masalah karya saya di-kloning (tiru, red). Saya menggabungkan antara karya dan kehidupan sosial. Saya menunjukkan keberhasilan ini untuk apa?” terangnya.

Mengenai kondisi Usaha Kecil Menengah (UKM) di bidang busana di Bali Anne berharap pemerintah Gianyar atau pemerintah Bali, bisa menjembatani pihak Anne supaya bisa membuat seminar.

“(Di Bali, red) Saya melihat UMKM-nya jalan, tapi brand (nama, red) yang tidak jalan,” paparnya blak-blakan.

Diakui Anne, brand di Bali masih dikuasai oleh brand luar. “Seharusnya pelaku UMKM ini bercitra, apapun itu pencitraan baik. Kalau jadi katak dalam tempurung, maka tidak akan maju,” terangnya.

Sebagai desainer mapan, Anne justru melihat ada kesan manja bagi pelaku UKM di Bali. “Saya melihat sebagai sosok manja, untuk selalu berada di bawah binaan (pemerintah, red) terus menerus, justru tidak akan jalan,” terangnya.

Seharusnya, UKM yang sudah mampu mandiri lebih baik melepaskan diri dari naungan pemerintah.

“Yang harusnya lepas, harusnya memiliki tempat dan jaringan atau sub tersendiri. Seperti menjadi negara kecil. Tidak selalu harus pemerintah. Tapi mungkin pemerintah terlalu memanjakan, itu jadi ketergantungan,” tukasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/