29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 11:06 AM WIB

Sambut Hari Raya, Berbagi Makanan kepada Pemeluk Agama Lain

Bali adalah etalase mini Indonesia. Suasana rukun, damai, dan hidup bertoleransi antarsesama terlihat begitu nyata.

Seperti yang terlihat saat hari raya Galungan di Banjar Piling Kanginan, Desa Mengesta, Penebel, Tabanan. 

Umat Hindu sejak pagi berbagi makanan, kepada pemeluk agama lain. Di sana, tradisi itu diberi nama ngejot, tradisi yang hidup secara turun temurun.

 

JULIADI, Tabanan

PENJOR-PENJOR  berdiri rapi, tinggi menjulang, penuh hiasan daun kelapa muda. Begitu pula di sepanjang jalan memasuki Banjar Piling Kanginan, Mangesta Penebel, Tabanan.

Hampir setiap rumah pintu dan gang yang dilalui terpasang penjor di pinggir jalan.  Selain itu, dua buah bangunan gereja dengan ornamen arsitektur Bali berdampingan dengan bangunan pura.

Terasa khas. Tepat pukul 08.00 pagi sejumlah warga Banjar Piling Kanginan, Desa Mengesta, Penebel, tampak sibuk mempersiapkan makanan yang akan dibawa kepada pemeluk agama lain.

Tradisi ngejot dengan membawa makanan kepada pemeluk agama lain sudah dilakukan secara turun temurun.

“Begitulah cara warga kami menjaga tradisi dan menjaga toleransi antar umat beragama. Meski warga di sini memeluk agama Hindu, tapi memberi dan membagikan makanan

kepada pemeluk agama Kristen di sini sudah jadi tradisi,” kata Kelian Banjar Dinas Piling Kanginan I Wayan Agus Setiawan kemarin.

Di sini suasana hidup rukun, damai, toleran, berdampingan, ini sudah terjalin sejak dulu. Antara pemeluk agama Kristen dan Hindu.

“Para tetua di zaman dulu melakukan ini untuk memperkuat hubungan kelembagaan adat dan desa hingga rasa persaudaraan. Tradisi ngejot inilah yang dilakukan,” terang Setiawan.

Dikatakan, pria berusia 58 tahun ini, makanan yang akan diberikan krama banjar Hindu kepada pemeluk agama lain.

Yakni lawar, tum, brengkes, jajan (tape jaje uli, jajan bali) sate, nasi, nyatnyat (be genyol), dan penyon (lawar nangka).

Tradisi ini memang selalu dilakukan setiap Hari Raya Galungan. Tepatnya pada penampahan Galungan. Sedangkan, tradisi ngejot yang dilakukan umat Kristiani saat perayaan Natal. 

“Dari 141 KK atau 488 warga yang tinggal di Banjar Piling Kanginan, sebanyak 66 (20 KK) warga yang menganut kepercayaan Kristen.

Meski berbeda keyakinan, antara warga umat Hindu dan Kristen juga memiliki keterikatan keluarga. Ini karena sebagian warga Hindu juga menikah dengan warga Kristen. Begitu juga sebaliknya,” paparnya. 

Selain ngejot, kata Setiawan, warga di sini diperlakukan sama hanya berbeda pada cara sembahyangnya saja.

Kegiatan seperti ngayah, metulungan  (saling membantu) juga sama dilakukan seluruh warga. Bahkan seluruh warga juga tergabung di sebuah wadah, bernama suka duka.

Sehingga keluarga suka duka ini juga sangat berperan penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan. 

“Kami juga sudah membentuk sebuah wadah bernama suka duka. Jadi, tidak ada yang membedakan. Semua warga juga ikut dalam berkegiatan baik itu sosial, budaya dan lainnya,” ujarnya. 

Setiawan menambahkan tidak pernah ada masalah di desanya terutama baik yang menyangkut isu SARA (suku,agama, ras dan antargolongan).

Semua warga tetap menjaga kerukunan. Kegiatan gotong royong terus terjalin baik dalam pembuatan rumah ibadah, wantilan desa dan kegiatan lain.

“Mudah-mudahan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di sini tetap terjalin dan terjaga,” tandasnya.  

Di sisi lain salah satu tokoh umat Kristen I Wayan Diksa, 78, menuturkan, umat Kristiani masuk ke Desa Mengesta khususnya Banjar Piling Kanginan ini sekitar tahun 1938.

Sejak saat itu, umat Kristiani pun mulai berkembang. Umat Kristiani menikah dengan warga umat Hindu. Begitu juga sebaliknya.

“Tradisi ngejot sudah ada sejak dulu dengan membagikan makanan. Kami juga demikian pada saat perayaan Natal. Warga umat Kristen juga melaksanakan hal serupa yakni

memasak dalam jumlah besar dan memotong babi atau menyembelih babi. Kemudian dibagikan kepada warga umat Hindu lainnya,” ungkapnya.

Dikatakan umat Kristiani juga melakukan sejumlah kegiatan kepada umat Hindu lainnya. Yakni metulungan saat ada upacara dan hari besar kegiatan kegiatan adat dan keagamaan.

“Tradisi ngejot dan tradisi lainnya yang ada di Banjar Piling Kanginan tak lain bentuk sebuah toleransi antar umat beragama,” pungkasnya.

Bali adalah etalase mini Indonesia. Suasana rukun, damai, dan hidup bertoleransi antarsesama terlihat begitu nyata.

Seperti yang terlihat saat hari raya Galungan di Banjar Piling Kanginan, Desa Mengesta, Penebel, Tabanan. 

Umat Hindu sejak pagi berbagi makanan, kepada pemeluk agama lain. Di sana, tradisi itu diberi nama ngejot, tradisi yang hidup secara turun temurun.

 

JULIADI, Tabanan

PENJOR-PENJOR  berdiri rapi, tinggi menjulang, penuh hiasan daun kelapa muda. Begitu pula di sepanjang jalan memasuki Banjar Piling Kanginan, Mangesta Penebel, Tabanan.

Hampir setiap rumah pintu dan gang yang dilalui terpasang penjor di pinggir jalan.  Selain itu, dua buah bangunan gereja dengan ornamen arsitektur Bali berdampingan dengan bangunan pura.

Terasa khas. Tepat pukul 08.00 pagi sejumlah warga Banjar Piling Kanginan, Desa Mengesta, Penebel, tampak sibuk mempersiapkan makanan yang akan dibawa kepada pemeluk agama lain.

Tradisi ngejot dengan membawa makanan kepada pemeluk agama lain sudah dilakukan secara turun temurun.

“Begitulah cara warga kami menjaga tradisi dan menjaga toleransi antar umat beragama. Meski warga di sini memeluk agama Hindu, tapi memberi dan membagikan makanan

kepada pemeluk agama Kristen di sini sudah jadi tradisi,” kata Kelian Banjar Dinas Piling Kanginan I Wayan Agus Setiawan kemarin.

Di sini suasana hidup rukun, damai, toleran, berdampingan, ini sudah terjalin sejak dulu. Antara pemeluk agama Kristen dan Hindu.

“Para tetua di zaman dulu melakukan ini untuk memperkuat hubungan kelembagaan adat dan desa hingga rasa persaudaraan. Tradisi ngejot inilah yang dilakukan,” terang Setiawan.

Dikatakan, pria berusia 58 tahun ini, makanan yang akan diberikan krama banjar Hindu kepada pemeluk agama lain.

Yakni lawar, tum, brengkes, jajan (tape jaje uli, jajan bali) sate, nasi, nyatnyat (be genyol), dan penyon (lawar nangka).

Tradisi ini memang selalu dilakukan setiap Hari Raya Galungan. Tepatnya pada penampahan Galungan. Sedangkan, tradisi ngejot yang dilakukan umat Kristiani saat perayaan Natal. 

“Dari 141 KK atau 488 warga yang tinggal di Banjar Piling Kanginan, sebanyak 66 (20 KK) warga yang menganut kepercayaan Kristen.

Meski berbeda keyakinan, antara warga umat Hindu dan Kristen juga memiliki keterikatan keluarga. Ini karena sebagian warga Hindu juga menikah dengan warga Kristen. Begitu juga sebaliknya,” paparnya. 

Selain ngejot, kata Setiawan, warga di sini diperlakukan sama hanya berbeda pada cara sembahyangnya saja.

Kegiatan seperti ngayah, metulungan  (saling membantu) juga sama dilakukan seluruh warga. Bahkan seluruh warga juga tergabung di sebuah wadah, bernama suka duka.

Sehingga keluarga suka duka ini juga sangat berperan penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan. 

“Kami juga sudah membentuk sebuah wadah bernama suka duka. Jadi, tidak ada yang membedakan. Semua warga juga ikut dalam berkegiatan baik itu sosial, budaya dan lainnya,” ujarnya. 

Setiawan menambahkan tidak pernah ada masalah di desanya terutama baik yang menyangkut isu SARA (suku,agama, ras dan antargolongan).

Semua warga tetap menjaga kerukunan. Kegiatan gotong royong terus terjalin baik dalam pembuatan rumah ibadah, wantilan desa dan kegiatan lain.

“Mudah-mudahan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di sini tetap terjalin dan terjaga,” tandasnya.  

Di sisi lain salah satu tokoh umat Kristen I Wayan Diksa, 78, menuturkan, umat Kristiani masuk ke Desa Mengesta khususnya Banjar Piling Kanginan ini sekitar tahun 1938.

Sejak saat itu, umat Kristiani pun mulai berkembang. Umat Kristiani menikah dengan warga umat Hindu. Begitu juga sebaliknya.

“Tradisi ngejot sudah ada sejak dulu dengan membagikan makanan. Kami juga demikian pada saat perayaan Natal. Warga umat Kristen juga melaksanakan hal serupa yakni

memasak dalam jumlah besar dan memotong babi atau menyembelih babi. Kemudian dibagikan kepada warga umat Hindu lainnya,” ungkapnya.

Dikatakan umat Kristiani juga melakukan sejumlah kegiatan kepada umat Hindu lainnya. Yakni metulungan saat ada upacara dan hari besar kegiatan kegiatan adat dan keagamaan.

“Tradisi ngejot dan tradisi lainnya yang ada di Banjar Piling Kanginan tak lain bentuk sebuah toleransi antar umat beragama,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/