Wartawan Jawa Pos Radar Bali beberapa waktu lalu mendapat cerita pengakuan dari pecandu narkoba yang sudah insyaf. Penuh liku dan mencekam.
Karena suami si pecandu juga pemakai dan meninggal akibat obat terlarang itu. Berikut penuturan kisahnya dengan nama tersamar dan ilustrasi.
I WAYAN WIDYANTARA, Denpasar
HIDUP kelam itu bermula tahun 1996 silam. Tahun itu jadi hari yang mengubah segalanya bagi perempuan berinisial AY, ini. Semua gara-gara salah pergaulan.
Dia mulai akrab dengan narkoba. Hampir semua jenis narkoba pernah dikonsumsi. “Saya pakai karena faktor lingkungan. Biar bisa dianggap keren, bisa diterima di lingkungan itu,” tutur AY, saat menuturkan kisahnya.
Rusak sudah jalan hidupnya. Sebagai pecandu, dia harus berurusan dengan polisi. Bahkan, sempat direhabilitasi.
Susah untuk melepaskan masa lalu, karena semua itu butuh proses untuk kembali jadi warga umumnya. Sebagai pecandu, jalan hidupnya yang harus dilalui dirasa hancur-hancuran.
“Saya kehilangan pekerjaan. Sepertinya tidak ada yang baik dalam diri saya. Hidup saya gitu-gitu aja. Cari uang untuk beli barang (narkoba). Akhirnya saya nggak bisa hidup enjoy,” ungkap perempuan beranak dua ini.
Kisah suram lainnya adalah saat AY sedang mengandung anak kedua. Tindakan bodoh yang dilakukannya sewaktu mengandung, dia masih memakai narkoba.
“Waktu hamil anak kedua saya pakai (narkoba),” ungkapnya. Minum alkohol juga? “Nggak. Saya nggak minum alkohol,” imbuhnya.
“Jujur, saya khawatir. Anak saya gemetar saat lahir. Selamat, sih. Kini umurnya sudah 8 tahun. Hanya saja, selama masa perkembangannya saya nggak mau memberi air susu ibu (ASI). Saya takut anak saya kenapa-kenapa nanti,” jawabnya.
Tak hanya itu, saat AY harus melakukan operasi caesar atau seksio sesaria pun bermasalah. Saat dokter di rumah sakit beberapa kali mencoba memasang infus di tangannya, ternyata begitu sulit.
Karena sudah banyak suntikan. Selalu gagal karena pembuluh darah vena di tangan sudah habis digunakan untuk suntik drugs yang kerap dia lakukan.
Terlalu banyak bekas suntikan. Karena itu, untuk pemasangan infus pun dilakukan di leher AY. Hal itu selalu terulang di setiap akan AY menggunakan infus.
“Itu menyakitkan (pasang infus di leher). Memang susah. Banyak teman-teman pecandu yang belum tahu susahnya,” terangnya.
Kehidupan AY dalam rumah tangga pun kacau. Terakhir, dia harus kehilangan suami untuk selamanya. Sekitar lima tahun yang lalu suami akhirnya meninggal karena narkoba juga.
Dia sangat terpukul akibat kejadian tersebut. AY mulai mengubah diri untuk menjadi baik. Itu berkat nasihat dari teman dekatnya.
“Ada teman dekat cari saya. Katanya, kamu nggak kasihan sama anak kamu. Lalu, saya diberi motivasi. Akhirnya saya mau ikut rehabilitasi karena anak saya,” ujar AY.
Cerita lain diungkapkan pecandu berinisial NG. Pria berpostur ceking ini juga jadi pecandu narkoba sejak tahun 1996 silam. Hampir semua jenis narkoba sempat dia konsumsi.
NG juga begitu fasih bercerita tentang efek setiap jenis narkoba yang dikonsumsi. “Saya kayak orang gila dulu. Tahun 1996, saya awalnya dapat narkoba dari orang Belanda.
Harganya tiga puluh ribu per biji. Saya akhirnya jadi pengguna. Untuk mendapatkan barang (narkoba), apa pun saya lakukan. Kalau nggak, semua badan ini rasanya sakit,” terangnya.
NG pun kini sudah berhenti karena tak kuasa menahan gejolak hidup yang begitu gelap dan suram. Amburadul.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, dia mengaku berhenti karena orang tuanya. Begitu juga dengan istri. Katanya, setiap pulang ke rumah, istrinya pasti mengecek kaki NG.
Bila kaki sudah dingin, muka berminyak, mata melotot, istri NG pasti marah. Sebab, hal tersebut merupakan salah satu ciri yang paling mudah dikenali bagi seorang pecandu.
Yang unik adalah dengan ibunda dari NG. “Dulu, setiap saya pakai (narkoba), ibu pasti ngebel (telepon). Entah kenapa. Saya kasihan melihat orang tua saya.
Sekarang saya sudah berhenti total. Melihat barang-barang itu lagi saya langsung muntah. Pokoknya sekarang saya say no to drugs,” ujarnya dengan semangat.
Usai mendapat testimoni mereka, Jawa Pos Radar Bali meminta pendapat ahli psikologi klinis, Caecilia Nirlaksita Rini, S.Psi, M.Si, Psikolog.
Menurutnya, dalam kasus narkoba, biasanya ada relasi buruk dengan orang tua atau pengganti orang tua . “Artinya ada pengalaman buruk parenting,” ujarnya.
Ada juga kepribadian mereka rapuh. Sehingga menjadi gampang stres. Jenis kepribadian seperti ini yang secara genetik diturunkan atau dipelajari dari buruknya pengasuhan orang tua.
Begitu juga pada masa remaja. Biasanya dasarnya adalah rasa tidak nyaman terhadap diri sendiri atau relasi dengan orang tua.
Rasa yang tidak nyaman adalah bentuk kebingungan, kemarahan pada orang tua, situasi lingkungan, kecemasan diri, kekecewaan, ketakutan siapa diri remaja.
Menurutnya, ada proses pemenuhan identitas diri remaja yang kurang optimal. “Kurangnya proses pemahaman identitas diri menyebabkan diri yang kosong, tidak bahagia,
sehingga butuh pemenuhan rasa cemas itu. Ada akar masalah yang harus dicari, yaitu konstelasi atau psiko dinamika klien,” terangnya.
Sedangkan tentang efek narkoba adalah ketagihan. Ketagihan bukan saja mempengaruhi perilaku. Tapi juga mempengaruhi neuron-neuron di otak.
Sehingga tercipta susunan kimia tertentu yang membuat otak ketagihan. “Ini yang mengarahkan perilaku sulit berhenti,” tuturnya.
Menurut Caecilia, penanganan bukan cuma menangkap saja, namun juga harus kerjasama dengan terapi yang dilakukan para psikiater.
Dengan memberi pengobatan obat tertentu yang bertujuan menurunkan dosis ketagihan di otak secara medis.
“Penanganan kognitif dan behavior (tabiat) bisa dilakukan, tergantung dari sumber akar masalah,” sarannya.
Untuk kasus ketagihan, menurutnya bukan kasus mudah. Karena berubahnya struktur neuron otak. Pola lama yang menetap dalam mengonsumsi narkoba ini menjadikan pola ketagihannya menetap.
Juga karena akar masalah tidak ditemukan. Bila terapi medis secara kimia sudah tertangani maksimal, pada struktur neuron yang membuat ketagihan di otak dan ada penanganan psikologis atasi akar masalah klien, ini bisa ke tahap selanjutnya.
Tujuannya psychotherapist mampu menunjukkan pada klien tentang dinamika psikologisnya.
Sehingga terapi yang sinergis antara terapi pengobatan dan psikologis, akan membawa dampak memilih kesadaran diri untuk menghentikan ketagihan.
“Dengan menjalani terapi secara berkesinambungan ini semakin membantu kembalinya diri sendiri pada kesadaran realita sosial sebagai individu.
Juga sebagai bagian kehidupan sosial. Sehingga dengan kesadaran diri, mulai ada tanggung jawab untuk aktif menyembuhkan diri,” tuturnya.
Ini memang sangat kompleks dan butuh waktu. “Yang terpenting mereka (yang mau berhenti memakai narkoba) mulai muncul niat untuk ingin berhenti. Kalau memang ada niat kuat, maka terapi akan berhasil,” jelasnya.