Oleh: Dahlan Iskan
Hanya ada dua menu Korea di makan siang Donald Trump dan Kim Jong-un kemarin: oiseon untuk pembuka dan daegu yorun untuk hidangan utama.
Selebihnya masakan Amerika: salad udang-apokat dan green mango gaya Malaysia (pembuka), daging iga pendek dimasak coufit, daging babi renyah dimasak asam, dan sayur. Sedangkan hidangan penutup semuanya Barat: coklat hitam ganache, es krim Haagen-Dazs rasa vanilla dikasih cerry dan kue tart model tropizienne.
Ups….. ada satu sisipan masakan China: nasi goreng Yangzhou.
Makan siang itu dibayar oleh pemerintah Singapura. Juga kamar-kamar hotelnya. Termasuk total pengeluaran selama pertemuan presiden Amerika Serikat dan pemimpin tertinggi Korea Utara itu: sekitar Rp 300 miliar.
Singapura dapat publikasi paling top untuk ukuran dunia. Inilah pertemuan puncak yang dramatis. Yang sampai tahun lalu pun tidak terbayangkan akan bisa terjadi. Bahkan sudah dipastikan bulan lalu pun masih terancam batal. Yakni saat Amerika tetap latihan perang-perangan di Korsel. Yang bikin Kim Jong-un sempat ngambek.
Kini semuanya lega. Kim boleh dikata menyerah total: mau balik kucing. Mau summit. Mau membatalkan semua program nuklirnya. Mau membongkarnya. Mau mengakhirinya. Termasuk program balistik jarak jauhnya.
Tidak ada tuntutan apa pun ke arah Amerika. Sama sekali. Misalnya minta pengurangan jumlah tentara Amerika yang ditempatkan di Korsel.
Kim pada dasarnya memang sudah berubah pikiran. Sejak tahun lalu. Dengan atau tanpa gertakan Amerika. Terutama sejak harapan tertingginya sia-sia: percobaan terakhir senjata nuklirnya itu. Yang gagal total itu. Yang gunungnya sampai runtuh itu. Yang fasilitas percobaannya ikut hancur itu.
Sebagai anak muda Kim sangat realistis: dunia sudah berubah. Rajanya komunis Soviet sudah wassalam. Ratu komunis Tiongkok sudah lebih kapitalis dari kapitalis setengah hati. Vietnam sudah punya 18 special economic zone. Dan segera ditambah tiga lagi. Semua untuk menampung investasi dari Tiongkok yang dibencinya. Kuba sudah membuka kedubes di Amerika. Laos sudah menjadi kucing yang tidak bisa menangkap tikus.
Maka Korut tinggal menunggu momentum. Kini momentum itu tiba. Semua pertanda-pertanda mengarah ke sana: presiden Amerika-nya tukang gertak, ekonomi Korutnya kian tak tertahankan, Tiongkok-nya kian jual mahal, Korsel-nya dipimpin orang yang gengsinya tidak tinggi.
Setelah pertemuan puncak di Cappella Hotel Singapura kemarin itu apalagi yang ditunggu?
Tentu: pembangunan ekonomi. Dan peningkatan kesejahteraan rakyatnya.
Dari mana sumbernya?
Hanya tiga: Korsel, Tiongkok dan Rusia. Bisa juga Singapura. Tapi dengan gendong-indit dua raksasa tetangganya saja sudah cukup: Tiongkok dan Korsel.
Tiongkok sudah siap untuk itu. Kepergian Kim Jong-un ke Singapura pun sudah menggunakan pesawat Tiongkok: Boeing 747 khusus untuk pejabat tinggi Tiongkok. Korut tidak sebesar Jerman Timur dulu.Yang harus digendong Jerman barat sendirian.
Bagaimana dengan Amerika?
Rasanya sulit mengharapkan apa pun dari Amerika. Amerika, sebagai negara, tidak punya anggaran. Untuk itu. Sedang swastanya, sekarang ini, justru menarik kembali dana mereka ke dalam negeri. Ideologi Trump yang ‘America First’ juga tidak akan sinkron dengan tugas ‘menolong orang lain’ seperti itu.
Ini sudah bukan zaman perang dunia kedua lagi: siapa yang menang harus membangun yang kalah. Seperti Amerika harus membangun Jepang dulu. Setelah Jepang menyerah dulu. Setelah Amerika menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki dulu.
Tidak berlaku lagi humor Gus Dur ini: Memajukan Indonesia itu sebenarnya gampang sekali. Nyatakan saja perang dengan Amerika. Kita kan pasti kalah. Lalu Amerika-lah yang akan membangun Indonesia.
Kata Gus Dur lagi: persoalannya adalah, bagaimana kalau kita yang menang!
Korut sekarang ini sudah menyerah. Kalah. Tapi Kim Jong-un harus cari jalan sendiri. Untuk membuat negaranya keluar dari kesulitan.
Bahkan mungkin Amerika justru akan lebih berhemat: menarik 80.000 tentaranya di Korsel. Tidak ada gunanya lagi. Perdamaian Korut-Korsel ini membuat penempatan tentara besar-besaran di Korsel tidak relevan lagi.
Kecuali Amerika masih ingin sengaja menakut-nakuti Tiongkok. Dan Tiongkok-nya mau takut.
Tanda-tanda ke arah itu ada: di saat perhatian dunia tertuju ke Singapura kemarin Amerika bikin ‘salipan di tikungan’. Amerika meresmikan kedutaan besarnya di Taiwan.
Ini sebuah permainan baru yang gawatnya melebihi kasus Korut. Tiongkok akan marah besar. Harga mati.
Apa pun Summit kemarin itu sangat sukses. Lebih sukses lagi bagi Howard X dan Alan: yang satu mirip Kim Jong-un satunya lagi mirip Trump.
Sejak empat hari sebelum Summit mereka sudah tiba di Singapura. Pose-pose mereka bikin heboh. ”Kim Jong-un sudah jalan-jalan di Singapura,” tulis media empat hari sebelum kedatangan yang asli.
Ia sering tampil di tempat-tempat umum. Pokoknya mereka berdua top banget. Terutama Kim palsu itu.
Ini menunjukkan bahwa dunia itu, seberapa seriusnya pun, selalu ada kepalsuannya. (dis)