Oleh: Dahlan Iskan
Siapa pun tahu: beli tiket mendadak itu sulit. Terutama menjelang Lebaran seperti ini. Tapi saya harus pulang. Semendadak ini. Menjelang lebaran ini. Istri saya masuk rumah sakit. Batu di ginjalnya bikin infeksi. Dengan segala komplikasinya.
Segi baiknya: istri saya terpaksa mau dioperasi. Setelah sekian lama sulit dirayu.
Saya tahu: tidak mudah cari tiket pulang. Dari Amerikanya sih mudah. Tapi setelah tiba di Asia akan sulit cari sambungan ke Indonesia. Terutama dari jurusan gemuk: Hongkong, Tokyo, Shanghai, Beijing, Xiamen, Singapura, Kuala Lumpur, Dubai.
Saya harus cari jurusan ke Indonesia dari kota-kota yang tidak populer. Begitulah kiat saya. Pilihannya: Hongkong-Hanoi-Ho Chi Min City-Jakata. Atau Hongkong-Kunming-Xiamen-Jakarta. Atau lewat Manila-Jakarta. Atau Brunai Darussalam-Surabaya.
Maka untuk bisa cepat tiba di tanah air akhirnya saya dapat tiket dengan jurusan muter-muter: dari Amerika mendarat di Hongkong. Lalu terbang satu jam ke Hanoi (Vietnam). Di Hanoi sempat mengikuti berita demo anti Tiongkok. Yang akan diberi izin menambah lagi tiga special economic zone. Dari 18 SEZ yang sudah ada. Dengan izin tanah 99 tahun.
Dari Hanoi terbang satu jam ke Kunming, Tiongkok. Nah, dari Kunming ini barulah saya dapat tiket pulang: Kunming – Xiamen – Jakarta.
Awalnya saya melihat ada pilihan lain: Hongkong-Brunai-Surabaya. Bermalam di Brunai dulu. Gak masalah. Bisa langsung Surabaya. Masih ada lima seat: aman. Saya mulai keluarkan dompet. Ambil kartu kredit. Siap membayar. Eh…. telat: dalam sekejap itu lima seat tadi lenyap.
Pilihan lain juga ada: Hongkong-Manila-Jakarta. Bermalam satu malam di Manila. Tapi saya pilih yang ke Jakarta lewat Kunming-Xiamen itu.
Hanya saja saya juga harus bermalam di Kunming. Gak masalah. Lebih menarik Kunming daripada Manila. Saya bisa cari masjid di Kunming. Untuk buka puasa.
Saya sudah beberapa kali ikut berbuka puasa di kota-kota lain di Tiongkok. Tapi belum pernah di Kunming. Setiap ke Kunming selalu saja bukan di bulan puasa.
Menurut Paman Baidu (Pak Googlenya Tiongkok), ada lima masjid di Kunming. Saya pilih yang paling pusat kota: di jalan Cheng-yi. Pusatnya kya-kya di Kunming. Ribuan orang cuci mata di situ. Mobil tidak boleh masuk. Wisata kota tua juga ada di jalan itu.
Masjid Cheng-yi tidak terlihat dari jalan. Bagian depannya gedung enam tingkat: hotel milik masjid. Dan perkantoran milik masjid. Di sebelah gedung itu ada gang masuk: ke halaman masjid. Masjidnya luas: di lantai dua. Lantai bawahnya untuk restoran halal.
Restoran itu tutup selama bulan puasa. Fungsinya diubah hanya untuk tempat buka puasa bersama. Setiap hari.
Saya tiba di masjid itu pukul 18.30. Beberapa orang mulai datang. Kian banyak. Pukul 18.20an orang tua itu keluar dari ruangan masjid: adzan.
Saya bertanya ke anak muda di sebelah saya: adzan untuk apa itu?
”Untuk sembahyang ashar,” kata anak muda itu.
”Asharnya kok telat sekali ya…,” kata saya dalam hati.
Tidak berani sok mengkritik. Kalau di kampung saya ashar setelat itu sudah dipelototi: salat kok ditelat-telatkan. ”Salat itu harus tepat waktu,” begitu ajaran yang selalu didengungkan. Belakangan ini.
Tidak dulu. Waktu saya kecil. Waktu orang-orang masih mencangkul di sawah. Saat waktu ashar tiba. Para petani baru salat ashar sepulang dari sawah. Saat matahari sudah menguning. Seperti di Kunming ini. Tidak ada yang memelototi.
Pukul 19.00 salat ashar di masjid Cheng-yi ini selesai. Matahari kian senja: memerah. Begitu salam, para jamaah langsung berdiri. Tidak ada wirid. Mereka pindah tempat. Duduk melingkar. Menunggu datangnya saat berbuka. Inilah ngabuburit gaya Kunming: tidak ada yang meninggalkan masjid.
Setelah duduk melingkar itu imam tadi membaca Quran: surah yasin. Yang lain menyimak. Sang imam membacanya luar kepala: hafal.
Tidak melihat Quran. Saya ikut menyimaknya. Lewat Quran yang saya ambil dari rak pustaka.
Ternyata semua yang duduk melingkar itu dapat giliran. Ada yang membaca surah yang agak panjang. Ada juga yang membaca surah sependek kulhu. Tiga kali. Semua hafal di luar kepala. Saya hitung: 16 orang. Diakhiri oleh anak muda yang tanpa kopiah putih itu.
Duduk di sebelah anak muda itu saya merasa ‘ehm’: bukan lagi satu-satunya yang tidak pakai tutup kepala.
Setelah semua yang di depan membaca ayat-ayat Quran, semua kembali berdiri: pindah posisi lagi. Duduk menghadap imaman. Seseorang mengambil topi putih. Topi haji. Dari laci di lemari. Memberikannya ke saya.
Saya langsung memakainya. Sambil duduk berjajar menghadap imaman. Ternyata ada ceramah agama. Dalam bahasa mandarin. Tentu saja. Di sisa waktu tinggal 15 menit itu. Sebelum saat berbuka tiba.
Sambil mendengarkan ceramah itu satu jamaah keliling membagikan tisu. Satunya lagi membagikan kurma. Kurma ditaruh di atas tisu. Itulah satu-satunya makanan takjil. Lalu salat maghrib berjamaah.
Rupanya salat ashar tadi sengaja dimundurkan. Agar jarak antara ashar dan maghrib hanya satu jam: untuk tadarus Quran tadi. Dan ceramah agama tadi.
Inilah pemanfaatkan waktu ngabuburit yang amat padat. Dan penuh ibadah. Antara ashar dan maghrib. Di masjid Cheng-yi Kunming ini. Tiongkok ini.
Praktik salatnya sangat Indonesia: full ahli sunnah wal jamaah. Tarawihnya 20 rakaat. Plus witir tiga rakaat. ”Di seluruh propinsi Yunnan seperti ini,” ujar anak muda itu. Lulusan teknik mesin itu.
Kunming adalah kota terbesar di propinsi Yunnan.
Itu agak berbeda dengan yang saya alami di Beijing. Atau di Ningxia. Atau di Qinghai. Atau di Heilongjiang. Yang lebih ke madzhab Hambali.
Yang seru adalah habis salat maghrib: semua turun ke lantai satu. Ke restoran itu. Berbuka bersama. Seperti pesta makan malam. Khas Tiongkok. Riuh dengan omongan keras mandarin. Dan panggilan-panggilan. Dan benturan piring. Dan mangkok.
Saya hitung: ada 16 meja bundar. Dilingkari kursi. Penuh semua. Tiap meja diisi 10 orang. Campuran laki-laki bertopi haji dan wanita berjilbab. Saya hitung: menunya 13 macam.
Di tengah meja masing-masing (lihat video). Mulai dari sop, iris daging, tahu, mie, sayur, nasi putih….
Inilah buka puasa yang paling seru. Sepanjang perjalanan saya. Sepanjang umur saya. Sepanjang yang saya tahu. Di Kunming ini.
Di Tiongkok yang makan babi makannya seru. Yang main mahyong mainnya seru. Yang cari uang cari uangnya seru. Yang puasa, buka puasanya juga seru. (dis)