Oleh: Dahlan Iskan
Sesekali lebaran di rumah sakit: istri saya baru keluar dari ICU di malam takbiran. Alhamdulillah juga. Pertanda baik. Toh bisa nonton pembukaan piala dunia di kamar perawatan. Yang kurang greget itu.
Saya tidur di rumah sakit. Anak-anak saya ngurusi anak-anak mereka. Agar pukul 4.30 bisa bangun. Lalu kumpul di rumah sakit: untuk sama-sama berangkat ke tempat salat idul fitri.
Kami sudah sepakat: salat di daerah Rungkut. Di dekat rumah Dita Supriyanto. Yang teroris bom bunuh diri itu. Saya ingin tahu kampungnya: seperti apa. Ingin tahu rumahnya: seperti apa. Ingin tahu masyarakat lingkungannya: seperti apa.
Saat serangkain bom itu meledak di Surabaya saya lagi di Amerika. Kaget: kok terjadi di Surabaya. Yang tercinta. Yang selalu aman itu. Yang selalu rukun itu. Yang selalu terbuka itu.
Saya sangat sedih. Prihatin. Sendirian. Tidak ada teman yang diajak sedih. Saya buka TV. Tidak ada beritanya. Baca koran. Hanya penuh dengan berita akibat hubungan Donald Trump dengan bintang film porno.
Saya begitu ingin tahu: sosok macam apa Dita itu. Masa kecilnya seperti apa. Adakah trauma-trauma masa kecil. Akibat salah asuh, misalnya. Saya ingin tahu masa remajanya: pergaulannya seperti apa. Saya ingin tahu masa mudanya: aktivis apa. Dan seterusnya.
Saya begitu ingin kembali menjadi wartawan. Untuk mengungkap yang bukan kulit-kulitnya saja. Atau saya ingin kembali menjadi pemimpin redaksi: yang bisa mengerahkan wartawan. Dengan membekalinya pertanyaan. Anak pertanyaan. Cucunya. Ponakannya. Mendiskusikan pertanyaan itu. Dan melahirkan pertanyaan baru.
Saya ingin kembali menjadi editornya. Untuk menuliskan peristiwa itu: bukan kulitnya, tapi featurenya. Semacam profile sosiologi Dita.
Pukul lima pagi anak-menantu-cucu sudah berkumpul di kamar perawatan. Saya juga sudah mandi. Istri saya sudah bangun. Menyaksikan kami semua dari tempat tidurnya: selang infus masih ada di lehernya. Selang kencing masih terhubung ke kantong plastik. Tapi sudah bisa duduk. Pakai jilbab. Tersenyum. Batu ginjalnya tinggal tersisa satu.
Kami pun berangkat. Yang laki pakai baju koko putih. Yang perempuan pakai baju panjang warna hijau: ikut musim green force. Tampak cantik-cantik. Pilihan warnanya. Pilihan kainnya. Pilihan modelnya. Itu lho. Sangat bonita.
Istri saya yang merencanakan semua itu: dia sendiri gagal mengenakannya.
Terlalu pagi kami berangkat. Tidak apa-apa. Sambil mampir ke kampungnya Dita.
Pembawa bom bunuh diri itu. Bersama isteri dan dua anaknya itu. Yang meledakkan gereja-gereja Surabaya itu.
Ketemu: rumahnya di suatu jalan kembar. Jalan kembar yang berportal. Kuldesak. Jalan buntu. Mirip satu klaster khusus. Berisi 24 rumah saja.
Portal yang di satu sisi ditutup. Permanen. Dikunci. Portal satunya yang dibuka-tutup. Oleh satpam yang sudah tua.
Begitu banyak pertanyaan dari pak tua. Yang masih gagah itu. Tapi kami dibukakan portal.
Gampang sekali mencari rumah Dita. Hanya beberapa rumah dari portal itu. Deretan ke-11. Pagar rumah itu kini ditutup rapat. Tiga susun tripleks menutupinya. Kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di balik tripleks itu.
Kami parkir di depannya. Membuat foto.
Sesaat kemudian satu keluarga muncul dari rumah sebelahnya: kelihatannya ingin berangkat salat juga. Rumahnya hanya selisih dua rumah dari rumah Dita.
Mereka kenal saya. Kami bersalaman: bapak, ibu, satu putra dan satu putri. Itulah keluarga Binawan. Pebisnis.
Ada tumpukan karung di terasnya: makanan ikan. Dipasok ke tambak-tambak udang. ”Pak Dahlan kan juga punya tambak udang,” kata Binawan. Tahu saja.
Kami pun ngobrol. Tentang Dita. Yang tidak ia duga seperti itu. Yang rumahnya selalu terbuka. Sering untuk tempat arisan. Sering saling berkunjung. Sering saling sapa.
”Saya sering antar makanan ke istrinya. Masuk-masuk ke rumahnya. Biasa sampai dapurnya,” ujar istri Binawan.
”Istri Dita juga biasa saja. Pakai jilbab biasa. Seperti saya ini. Tidak pakai cadar,” tambahnya.
Tetangga Dita yang lain buka butik. Istri Dita biasa belanja di butik itu. Beberapa hari sebelum kejadian istri Dita masih beli tas. Untuk anak putrinya. ”Untuk dipakai lebaran nanti,” kata Ny. Banawan menirukan ucapan istri Dita.
Hampir tiap hari Dita pergi bersama Binawan ke mushala. Di belakang rumah. Biasa saja. Keduanya jadi makmum. Tidak pernah jadi imam. Keduanya juga sering didatangi pengurus Muhammadiyah cabang. Yang menarik iuran organisasi. Atau Sumbangan.
Bahkan menghadapi bulan puasa ini Dita masih mengantarkan petugas organisasi. ”Datang ke rumah saya ini. Untuk mengumpulkan dana persiapan Ramadan,” ujar Binawan.
“Kami bertiga duduk di teras rumah saya ini,” katanya sambil menunjuk terasnya.
Dita, kata Binawan, orang yang mampu.
Deretan rumah di klaster itu memang deretan orang mampu. Meski belum terkategori kaya. Seluruh rumah di klaster itu menunjukkan klaster kelas menengah mapan: tiap kapling 200 m2. Harga rumah di situ sekitar Rp 1,5 miliar. Saat ini.
Dita menempatinya sejak tahun 2012. Binawan lebih dulu pindah ke situ: 1994.
Dita juga pebisnis. Memproduksi minyak kemiri. Dipasok ke pedagang-pedagang Tionghoa. Teman dagangnya Tionghoa semua. Dita bukan tipe yang hanya mau berbisnis dengan sesama muslim.
”Kalau soal tuduhan pernah ke Syiria saya bantah,” kata Binawan.
“Saya ini bertetangga hampir sepuluh tahun. Tahu benar bahwa ia tidak ke Syiria,” katanya.
Pagi beranjak terang. Kian terang. Tidak ada waktu lagi ngobrol lebih panjang. Harus segera ke tempat salat.
Saya mengira bisa ikut salat di mushala belakang rumah itu. Ternyata tidak ada salat idul fitri di situ.
Kami pun bikin keputusan baru: balik kucing. Ke rumah sakit lagi. Hanya 10 menit. Salat di halaman rumah sakit.
Begitu penuh halaman rumah sakit itu.
Begitu disiplin jamaahnya: setia mendengarkan khotbah sampai selesai.
Usai khotbah tinggal masuk loby. Belok kanan. Tiba di ruang perawatan istri saya. Berbaris. Siap sungkeman.
Saya duduk di atas tempat tidur. Di sebelah istri saya. Adik-adik istri, anak-anak, menantu, cucu-cucu antri sungkem: bermaafan lahir batin.
Lalu gantian. Para suami sungkem ke istri. Ganti suami minta maaf ke istri. Itu tradisi keluarga kami. Suami pun banyak salahnya. Kenapa hanya para istri yang sungkem ke suami.
Di ruang perawatan itu pula kami pesta tahunan: soto Banjar. Dan buras. Istri saya sudah mengajari adiknya: bagaimana bikin soto Banjar yang enak. Soto Banjar Bu Dahlan ‘terenak di dunia’. Itu kata saya. Dengan sangat bangganya. Dan subyektifnya.
Sedangkan ‘buras Bu Dahlan’ tanpa subyektif: pasti paling sedap. Tidak ada bandingannya. Tidak ada yang jual soalnya.
Bikin buras itu rumit: beras ditanak setengah matang. Lalu diberi santan. Dibungkus daun pisang. Sebesar tempe. Diikat seperti pocong. Dikukus.
Kuahnya: ikan gabus dimasak. Dagingnya diangkat. Dilembutkan. Dimasukkan bumbu seperti laksa melayu.
Saya tidak akan merincinya lebih detil resep itu. Hahahhaa: itu kebanggaan ekslusif istri saya. (dis)