Oleh: Dahlan Iskan
Nanti malam. Ya. Nanti malam.Pukul 00.00. Perang itu harus dimulai. Sudah tidak ada lagi langkah mundur. Tidak sempat lagi negosiasi.
Perang dagang Amerika-Tiongkok ini harus dimulai: Amerika mengenakan tarif masuk 25 persen. Untuk sejumlah barang Tiongkok yang diekspor ke sana. Terutama baja dan alumunium. Yang nilainya mencakup USD 200 miliar.
Tiongkok membalas. Akan mengenakan hal yang sama. Nilai yang sama. Hanya barangnya yang beda: hasil pertanian dan kebun buah.
Mula-mula hanya sebatas ancam-mengancam. Gertak-menggertak. Lalu dicoba negosiasi. Tiongkok kirim delegasi tingkat tinggi ke Washington DC. Dua kali. Amerika kirim delegasi tingkat tinggi juga. Ke Beijing. Dua kali.
Hasilnya seperti Inggris lawan Colombia. Tapi tidak ada perpanjangan waktu. Tidak ada adu penalti.
Belum ada pemenang. Justru kian buruk. Begitu Tiongkok membalas, Presiden Trump naik darah. Seperti merasa dilawan anak kecil yang nakal. Trump mengancam menaikkan lagi tarif itu. Tambah 10 persen lagi.
Tapi Tiongkok juga tidak takut. Hanya beberapa jam kemudian sudah memutuskan: akan memberi balasan yang setara. Kali ini meluas ke barang seperti pesawat terbang. Boeingnya Amerika khawatir. Tidak dibeli Tiongkok lagi.
Presiden Prancis ke Beijing. Prancis punya Airbus. Yang setara Boeingnya Amerika. Kanselir Jerman ke Tiongkok. Presiden India dan Russia menemui Xi Jinping. Mereka bersekutu: melawan Trump.
Waktu manuver habis. Tanggal 6 Juli pun tiba: saat dimulainya tarif baru. Nanti malam.
Sama-sama menetapkan mulai perang tanggal 6 Juli tapi ada persoalan teknis. Jam di Tiongkok lebih cepat 12 jam. Tanggal 6 Juli di Beijing masih tanggal 5 Juli di Washington.
Berarti Tiongkok akan memulainya lebih dulu.
Padahal niatnya hanya akan membalas. Ini sensitif: bisa dinilai Tiongkoklah yang memulai perang ini. Padahal Tiongkok selalu mengatakan: ”Tidak akan pernah menembak lebih dulu. Hanya kalau ada yang memulai barulah membalas menembak.”
Kita lihat saja akhirnya seperti apa. Toh tinggal menunggu beberapa jam lagi.
Siapa yang akan menang? Begitu sulit menjawabnya. Tiongkok bukan Jepang. Yang di masa lalu langsung menyerah. Saat diancam seperti ini. Jepang lantas membangun pabrik-pabrik mobil di Amerika.
Tiongkok tidak mau menyerah. Entah sampai kapan.
Yang jelas langkah Trump itu bukan hanya menyusahkan Tiongkok. Sahabat-sahabat Trump sendiri ikut terkena. Barang-barang Tiongkok itu tidak semuanya milik Tiongkok.
Taiwan memiliki banyak pabrik di Tiongkok. Yang hasilnya diekspor ke Amerika. Sampai saat ini ada 50.000 perusahaan Taiwan beroperasi di daratan.
Jepang juga demikian: akan ikut terpukul. Juga Korea Selatan. Semua itu sahabat karib Amerika sendiri.
Seorang analis memprediksi perang dagang ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok satu persen.
Di dalam negerinya sendiri Trump kian dilawan pengusaha besar. Yang biasanya selalu di belakang presiden dari partai Republik.
Yang paling keras melawan Trump adalah General Motor. Dan Harley Davidson. Dua pabrik itu harus beli baja lebih mahal.
Para petani kedelai juga marah: harga kedelai turun.
Trump marah pada pengusaha itu: yang tidak mau menderita sedikit di awal perang ini.
Menurut Trump derita itu tidak akan lama. Perang ini, katanya, tidak akan lama. Amerika akan dengan mudah dimenangkannya.
Tapi Trump juga tidak akan lama. Di puncak kekuasaannya. (dis)