Oleh: Dahlan Iskan
Ini sehari sebelum final piala dunia. Sebuah pesawat menuju Croasia ‘jatuh’ sedalam 9.000 meter. Dalam waktu satu menit.
Asal pesawat itu: Dublin, Irlandia. Tapi di atas wilayah Jerman terjadi petaka: tekanan udara di dalam pesawat hilang. Pesawat Ryan Air itu tiba-tiba seperti terhempas ke bawah. Masker oksigen keluar dari tempatnya: bergelantungan di atas tiap kursi penumpang.
Sampai di ketinggian tinggal 3.000 meter pesawat seperti ditahan spiderman. Tidak lebih jatuh lagi. Lalu stabil.
Pilot memutuskan: mendarat darurat. Di Frankfurt. Kota terbesar di Jerman itu. Penumpangnya 189 orang. Yang 33 terluka. Ada yang keluar darah dari hidung. Atau dari telinga. Tidak ada yang meninggal dunia.
Kelihatannya penumpang kurang disiplin: banyak yang tidak mengenakan sabuk pengaman.
Lima hari sebelumnya ada kejadian yang mirip. Pesawat Air China tiba-tiba ‘jatuh’ setinggi 8.000 meter. Saat baru setengah jam terbang dari Hongkong. Dengan tujuan Dalian, Tiongkok timur laut. Dekat Korea Utara.
Saat itu pesawat baru mencapai ketinggian normalnya: 30.000 kaki. Baru tiba di atas Xiamen. Masih tiga jam lagi ke tujuan.
Tiba-tiba tekanan udara dalam pesawat hilang. Kantong oksigen bergelantungan. Menawarkan diri untuk segera dipasang di hidung masing-masing.
Penyebabnya?
Yang tujuan Croasia itu belum jelas. Yang pasti tidak ada hubungannya dengan final piala dunia tadi malam: Croasia vs Prancis. Tidak ada satu pun penumpangnya yang supporter Croasia.
Tapi untuk pesawat Air China yang dari Hongkong itu urusannya panjang: pilotnya langsung dipecat.
Hanya ada lima alasan tekanan udara dalam pesawat itu hilang: mesin pesawat rusak, sistem AC tidak berfungsi, setting AC tidak tepat, badan pesawat bocor, jendela/pintu pesawat copot.
Tidak ada penyebab lainnya.
Dalam dua kasus itu mesin pesawat 737 mereka baik-baik saja. Bahkan yang dari Hongkong itu istimewa: setelah pesawat stabil lagi penerbangan diteruskan. Ke tujuan. Ke Dalian. Masih 3 jam penerbangan lagi. Tiga jam pula penumpang disiksa ketakutan. Tapi semua selamat.
Mesin pesawat itu dibuat luar biasa tahan. Meski turbinnya harus berputar 29.000 kali perjam. Pernah ada mesin pesawat rusak. Ketika dalam ketinggian maksimal.
Yakni saat pesawat dari London terbang ke Selandia Baru. Melintasi Jawa Barat. Jenis pesawatnya Boeing 747. Yang sangat besar itu. Yang mesin jetnya empat. Dua di kanan, dua di kiri.
Tiba-tiba satu mesinnya mati. Pesawat agak miring. Pilot berusaha menghidupkannya. Gagal. Bahkan satu mesin lagi mati. Pilot terus berusaha menghidupkan. Mesin ketiga menyusul mati. Pesawat tambah miring. Meluncur ke bawah. Dan mesin keempat pun mati pula. Habis. Teoritis.
Pesawat menukik di atas Jawa Barat. Dengan penumpang lebih 263 orang. Termasuk 15 awak. Kepanikan memuncak. Pilot terus berusaha menghidupkan mesin. Gagal.
Saat pesawat sudah dekat bumi keajaiban terjadi. Saat semua penumpang memastikan diri akan mati keanehan muncul. Mesin pesawat hidup lagi. Satu. Hidup lagi, dua. Hidup lagi, tiga.
Pesawat pun relatif stabil lagi. Lalu mendarat daturat di Halim, Jakarta.
Ternyata semua itu ilmiah: mesin itu mati karena kemasukan abu. Abu yang sangat lembut. Lalu menjadi gumpalan debu beku. Suhu di ketinggian itu bisa minus 40 derajat selsius.
Saat pesawat meluncur ke bawah suhu udara pun beda. Ketika pesawat kian mendekati bumi suhu yang menghangat mengurai debu yang beku. Debu tersapu dari mesin. Mesin hidup lagi. Tidak ada penumpang yang tewas.
Itu terjadi tahun 1982. Tanggal 24 Juni. Jangankan Via Vallen, Anda pun belum lahir. Saya pun masih berumur 31 tahun. Sedang seru-serunya jadi pimpinan koran di Surabaya.
Hari itu gunung Galunggung meletus. Sangat besar. Abunya ke mana-mana. Yang paling lembut bisa mencapai setinggi itu.
Pesawat sangat takut dengan letusan gunung berapi.
Tapi tidak ada gunung berapi di Xiamen. Pesawat Air China itu pun utuh: tidak ada badan pesawat yang bocor. Tidak ada jendela yang copot. Mengapa tekanan udaranya hilang. Dan pesawat mendadak drop begitu dalam.
Begitu mendarat di Dalian pesawat ditahan. Berikut pilotnya. Untuk dilakukan pemeriksaan. Ada dua mengapa.
Pertama, mengapa tekanan udara hilang di atas Xiamen.
Kedua, mengapa meneruskan penerbangan. Kok tidak mendarat darurat di Xiamen. Atau di bandara sekitarnya: Jianmen, Shantou, Fuzhou. Seperti Ryan Air yang memutuskan mendarat darurat di Frankfurt.
Ketahuan: pilotnya merokok. Rokok elektronik.
Ketahuan: salah pencet tombol. AC mati. Padahal tekanan udara itu dialirkan lewat pendingin udara itu.
Yang perlu dipuji: ketenangan para pilot itu. Yang di Amerika. Yang di Tiongkok. Yang di Jerman. Yang di atas Galunggung. Bahkan juga yang di Solo dulu itu: masih sempat-sempatnya mencari sungai untuk mendarat di situ.
Saya jadi ingin tahu: apakah para pilot juga setenang itu saat bertengkar dengan istrinya.(dis)