SINGARAJA – Sejumlah karyawan di Rumah Sakit KDH-BROS Singaraja, mendatangi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Buleleng.
Mereka mengadu pada pemerintah, lantaran pendapatan yang mereka peroleh jauh di bawah upah minimum yang sebesar Rp 2.165.000 per bulan.
Sayangnya upaya tenaga kerja mendapat upah layak, justru berbuah sanksi dari manajemen. Mereka langsung diganjar SP III yang diterbitkan pada Rabu (18/7) lalu.
Mereka dianggap melanggar peraturan perusahaan yang berpotensi berakibat pada pemogokan.
Terbitnya SP III ini pun dianggap tak sesuai prosedur, karena tak melalui proses terbitnya teguran, SP I dan SP II lebih dulu.
Pihak Disnaker Buleleng kemarin (19/7) akhirnya melakukan mediasi dengan mempertemukan perwakilan karyawan dengan manajemen rumah sakit.
Mediasi itu juga dihadiri Pengawas Tenaga Kerja, Dewa Nyoman Merta Sedana. Sayangnya proses mediasi kemarin berakhir deadlock.
Manajemen mengaku membutuhkan waktu sebelum menyetujui tawaran karyawan. Versi karyawan, sejak mereka menandatangani kontrak baru, nilai upah yang dibayarkan jauh menurun.
Pada tahun 2017 lalu, karyawan yang dikontrak manajemen rumah sakit menerima gaji pokok sebesar Rp 1,5 juta di luar jasa pelayanan.
Jika ditotal, dalam sebulan mereka bisa menerima pendapatan hingga Rp 2 juta. Namun, sejak menandatangani kontrak baru pada bulan Mei lalu, karyawan hanya menerima upah Rp 800ribu.
Tidak ada tambahan pendapatan dari jasa pelayanan. Hal ini berlaku pegawai karyawan kontrak yang bekerja sebagai sopir.
Karyawan kontrak yang bekerja sebagai perawat, ada yang mendapat gaji pokok Rp 1,1 juta ditambah jasa pelayanan Rp 350 ribu, sehingga total digaji Rp 1.450.000.
Namun perawat juga terancam digaji Rp 800 ribu per bulan, bila telah terbit kontrak baru. Bahkan ada karyawan yang kini hanya dibayar Rp 500 ribu per bulan.
Total ada 52 orang karyawan kontrak yang ada di RS KDH-BROS Singaraja. “Kami sebenarnya sudah sempat negosiasi sebulan terakhir.
Sudah sempat temui pemilik rumah sakit juga di Denpasar. Tapi tidak ada keputusan. Terpaksa kami minta bantuan ke dinas,” kata Ketut Eyik Mastika, salah seorang karyawan.
Menurut Eyik, pihaknya terpaksa menandatangani kontrak karena akan menerima THR jelang hari raya Galungan. Apabila menolak tanda tangan kontrak, otomatis hak THR-nya hangus.
Dari hasil koordinasi, penurunan upah itu dilakukan karena manajemen tengah melakukan penataan posisi tenaga kerja. Namun hal itu dianggap merugikan tenaga kerja.
Para karyawan pun berharap perusahaan bisa membayar mereka, minimal sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kabupaten Buleleng yang sebesar Rp 1,8 juta.
Bahkan dalam proses mediasi, tenaga kerja menurunkan tawaran mereka menjadi Rp 1,7 juta.
“Kami hanya ingin upah yang layak bagi kami dengan kondisi seorang istri dan dua orang anak,” ujar Eyik.