Oleh: Dahlan Iskan
Saya ingin ke Ciheras lagi. Kangen Ricky Elson. Yang kini punya gelar baru: angoneering. Kemampuan engeneeringnya telah dia plesetkan menjadi angoneering. Ricky kini sangat ahli angon. Memelihara kambing.
Anak muda yang pernah 14 tahun di Jepang itu menetap di satu desa pinggir laut selatan. Di pelosok Tasikmalaya. Di situ ia bikin pondok pesantren teknologi.
Mengapa pantas disebut pondok pesantren? Di situ Ricky tidak hanya mendidik teknologi. Tapi juga membentuk karakter. Dan mengajarkan filsafat hidup.
Kepada santri-santrinya Ricky sangat longgar. Boleh ke cafe. Boleh begadang. Mereka anak muda. Mahasiswa tehnik. Semester tujuh. Ada juga yang sudah S1. Atau mahasiswa S2. Hanya saja jam 8 pagi mereka wajib kumpul. Demikian juga jam 8 malam. Duduk lesehan. Melingkar. Di atas tikar. Di atas lantai kayu. Di pondoknya yang amat sederhana. Di dekat kolam lele. Tidak jauh dari kandang kambing.
Pada jam 8 pagi itu mereka harus bercerita ke forum. Satu persatu. Apa saja yang akan dilakukan hari itu. Tidak ada tugas dari Ricky. Tidak ada arahan. Mereka membuat rencana sesuka mereka.
Rencana tidur pun boleh. Ngelayap boleh. Asal diceritakan. Dicatat.
Kenyataannya tidak ada yang merencanakan tidur sehari penuh. Bahkan kecenderungannya: merencanakan yang muluk-muluk. Yang ambisius.
Tidak apa-apa asal dicatat.
Jam 8 malam mereka berkumpul lagi. Masing-masing menceritakan apa yang sudah dikerjakan. Hari itu. Boleh sesuai rencana. Boleh juga tidak. Asal semua ditatat. Dan dilaporkan.
Saat mendengar proses itu saya langsung ingat: itulah prinsip dasar seorang engeneer. Mencatat apa yang dilakukan dan melakukan apa yang dicatat. Di situ Ricky meletakkan dasar-dasar karakter seorang engeneer yang baik.
Pendidikan itu sebagai koreksi atas kelemahan mendasar bangsa kita: tidak mencatat apa yang dikerjakan. Bahkan lebih parah lagi: tidak mengerjakan apa yang dicatat.
Begitulah. Berhari-hari proses itu dilakukan. Dibiasakan. Biasanya mereka berada di Ciheras selama dua bulan. Atau maksimal tiga bulan. Sesuai dengan ijin yang diberikan kampus masing-masing.
Saat ini, saat tulisan ini dibuat tadi malam, ada 70 santri di Ciheras. Dari berbagai perguruan tinggi. Dari seluruh Indonesia. Jurusan teknik apa saja: elektro, mesin, sipil, arsitek, tambang…. asal bukan teknik sastra.
Teknik sastra?
Itulah guyon di Ciheras. Para santri itu umumnya dikategorikan mahasiswa jurusan teknik sastra. Mengapa? Karena tidak pernah melakukan pekerjaan teknik. Kesibukan mereka hanya membaca dan menulis. Membaca buku teknik. Dan menulis jawaban. Saat ujian teori teknik.
Di Ciheras mereka harus memegang alat-alat teknik: membuat bilah untuk kincir angin. Membuka motor. Menggulung kumparan…
Sesuai dengan rencana masing-masing. Tidak harus selesai. Boleh saja: baru selesai separo waktu mondok mereka di Ciheras berakhir.
Mereka itu anak-anak cerdas. Penuh inisiatip. Belum sampai satu minggu di Ciheras sudah ada perubahan. Perencanaan mereka umumnya sudah lebih realistis. Lebih sesuai dengan kemampuan. Dan keterbatasan waktu. Tidak ada lagi jam 8 pagi yang isinya perencanaan buih. Yang hanya enak didengar. Yang hanya menimbulkan kesombongan. Yang hanya mengharapkan tepuk tangan.
Perencanaan buih seperti itu hilang sendiri. Di forum jam 8 malam. Tidak perlu dimarahi. Mereka akan malu sendiri. Tidak bisa mengerjakan apa yang direncanakannya. Perencanaan buih hanya membuat dirinya di booo. Bukan oleh Ricky. Tapi oleh teman mereka sendiri.
Di akhir forum seperti itulah Ricky berfungsi sebagai pendongeng. Itulah gelar yang ia pakai: pendongeng. Dongeng yang bernas.
Sejak ‘terhempas’ di Ciheras Ricky memang banyak merenung. Renungan seorang yang cerdas. Renungan seorang yang terus berpikir. Renungan yang hasilnya bisa jadi sumber dongengannya. Untuk anak-anak muda Indonesia. Yang nyantri di pondoknya.
Ricky selalu melarang saya minta maaf padanya. Yang menyebabkan ia meninggalkan Jepang. Negeri yang sudah membuatnya pintar. Yang sudah membuatnya memiliki 14 paten di sana. Membuatnya punya tabungan. Membuatnya ahli di bidang motor listrik.
Ricky selalu melarang saya minta maaf padanya: sayalah yang membuat ia terhempas di Ciheras. Setelah program mobil listrik berujung seperti ini.
Sejak uzlah ke Ciheras Ricky banyak mendalami pemikiran Michio Kaku. Ahli fisika Amerika berdarah Jepang. Yang mengajarkan arti hidup seorang manusia. Atau pemikiran almarhum Richard Feynman. Pencipta bom atom. Yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Di tahun 1945.
Ricky juga mendalami pemikiran Imam Al Gozhali. Ia menggabungkan filsafat barat itu dengan filsafat Islam. Dalam setiap dongengnya Ricky memberikan optimisme. Memberikan ajaran perlunya anak muda terus berpikir. Terus membuat mimpi. Tapi juga harus terus memikirkan kembali mimpi itu.
Ia mengutip dengan fasih pemikiran Michio Kaku tentang pentingnya ‘redreaming’. Dari filsafat-filsafat itu Ricky sampai memelihara kambing. Juga membuat kolam lele.
Itu bermula dari pergaulannya dengan masyarakat sekitar Ciheras. Yang punya tradisi memelihara kambing. Tapi kambingnya kurus-kurus. Tidak bisa membuat tuannya gemuk. Hasil penjualan kambing mereka tidak memadai.
Kambing itu kurus. Sengaja dibiarkan kurus. Kurus-gemuk ketika dijual tidak banyak beda. Tengkulak kambing membelinya perekor. Bukan beratnya berapa kilo. Tidak ada timbangan di desa.
Ricky pun belajar dari kehidupan: bagaimana membuat kambing gemuk. Ia beli kambing itu. Yang beratnya baru 8 atau 10 kg. Dari uang tabungannya.
Ia juga tahu: orang desa sering mimpi: punya sepeda motor. Bekas sekali pun. Mencari rumput pun harus punya motor. Ricky menawarinya motor bekas. Yang boleh dicicil dengan rumput. Tiga kwintal sehari. Setara dengan tiga karung. Dalam seratus hari cicilan itu lunas. Kambing kurusnya pun jadi gemuk. Makannya cukup. Saat dijual hasilnya lebih banyak. Ricky mencari pembeli yang berdasar berat.
Dengan bukti itu Ricky melangkah ke petani. Di atas-atas gunung. Mencari pemilik kambing kurus. Kalau kambing mereka bisa gemuk akan dibeli berdasar kg: Rp60.000/kg.Kini mereka rajin mencari rumput. Sebagian dijual ke Ricky. Sebagian untuk kambing mereka sendiri.
Ketika lebaran haji tiba Ricky menjual kambing-kambing jantannya. Mempertahankan kambing betinanya: untuk anakan. Anak kambing itu akan diserahkan ke petani. Untuk dipelihara. Dengan sistem paro: pemelihara dapat separo hasilnya.
Kini Ricky punya lebih 200 kambing indukan. Di Ciheras. Para santrinya ikut membantu memelihara kambing. Setidaknya ikut ke desa-desa. Ke gunung-gunung.
Menimbang kambing. Dengan timbangan yang dibawa dari Ciheras. Untuk memonitor perkembangan kambing. Dari bulan ke bulan. Para mahasiswa senang. Seperti ikut KKN. Yang lebih nyata.
Saat Maghrib tiba Ricky menjadi imam. Bagi yang Islam. Demikian juga Isya.
Kini Ricky mengasuh dua jenis makhluk hidup: manusia dan binatang. Ricky menggunakan binatang sebagai contoh. Sesederhana apa pun binatang itu seperti manusia: bisa berpikir. Yang binatang tidak bisa adalah: membuat perencanaan. Jadi… (dis)