DENPASAR – Isu keretakan karena tumbuhnya bibit radikalisme bukan barang baru. Untuk meredam tumbuhnya bibit radikalisme yang membawa isu suku, agama, ras, dan antargolongan (sara),
Institute for Syariac Christian Studies (ISCS), LBH APIK, Peacemaker Indonesia Society (PIS), dan GP Ansor menggelar bincang-bincang kebangsaan di The Banjar, Kuta, Badung, kemarin (28/7).
Hadir sebagai pembicara Cok Sawitri, Bambang Noorsena, dan Prof Sumanto Al Qurtuby. Cok Sawitri menuturkan semboyan Bhinneka Tungga Ika diambil dari kakawin Sutasoma oleh para founding father.
Menurutnya, filosofi Bhinneka Tungga Ika sangat dalam untuk mengelola keberagaman itu sendiri. Sayangnya, hal itu dipecah oleh politisi-politisi yang membawa sentimen keagamaan dan kesukuaan.
“Maka dari itu jangan membawa jargon-jargon yang memecahkan perdamaian dan keragamaan. Kalau itu kita bawa maka mengkhianati Bhinneka Tunggal Ika,” ungkap Cok Sawitri.
Sementara itu, Prof Sumanto Al Qurtuby, Antropologi Budaya King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, menjelaskan bagaimana Keislaman Nusantara itu dibawa oleh Muslim Tiongkok.
Dia ingin menampilkan keislaman nusantara dari Tiongkok. Masyarakat Indonesia harus rela membuka diri karena itu ciri kebhinekaan sangat kuat sekali.
“Kalau kita menerima Islam dari Tiongkok berarti kita menerima kebhinekaan. Jangan persoalan Tiongkok, kita menolak, bukti-bukti sejarah ada,” ucapnya.
Diungkapkan, Tiongkok banyak berperan menyebarkan Islam di di Indonesia dan hal tersebut sangat valid datanya.
Karena itu bagian dari sejarah tidak bisa diabaikan karena identitas “Tiongkok” tersebut. “Penghilangan sejarah pada Orde Baru itu tidak boleh terjadi begitu saja.
Harus mau menerima kelompok manapun kalau itu memang positif mengapa tidak,” tukas akademisi asal Batang, Jawa Tengah ini.