DENPASAR – Sidang gugatan surat keputusan Gubernur Bali dengan nomor SK No. 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang ijin lingkungan PLTU Celukan Bawang 2 X 330 MW, di PTUN Denpasar mendekati tahap akhir.
Sidang yang dipimpin AK Setiyono kali ini dihadiri puluhan Celukan Bawang dengan mengenakan ikat kepala bertuliskan “Tolak PLTU Batubara, dan Polusi Bukan Solusi”.
“Proses sosialisasi terkesan formalitas, unprosedural, dan tidak sesuai asas partisipasi.”Perlu ditekankan bahwa proses penyusunan Amdal
tidak dilakukan dengan hati-hati, karena banyak sekali yang menyalahi prosedur, dan tidak sesuai dengan hukum yang sah,” ujar kuasa hukum penggugat Wayan Gendho Suardana.
Salah satunya, kata Gendo adalah Penyusunan dokumen AMDAL juga diketahui tidak merujuk pada rencana zonasi pesisir (RZWP3K).
Selain itu, juga dampak buruk yang dirtimbulkan oleh PLTU akan mengancam spesies kunci seperti lumba-lumba dan paus.
Perluasan PLTU Celukan Bawang, ditegaskan Gendo akan memperburuk kualitas lingkungan yang sudah tercemar oleh PLTU yang sudah beroperasi saat ini, sehingga dampaknya harus dihitung secara akumulatif.
Terlebih lagi, masih kata dia, ternyata rencana perluasan PLTU Celukan Bawang tahap 2 ini, tidak masuk ke dalam dokumen penyediaan tenaga listrik RUPTL milik PLN.
Berdasar data permodelan yang dilakukan oleh Greenpeace, PLTU yang ada saat ini telah meningkatkan resiko kematian dini 190 jiwa per tahun.
“Jika PLTU lolos untuk diperluas, maka resiko kematian dini meningkat menjadi 300 per tahun. Dengan menghitung masa operasi PLTU hingga 30 tahun, maka jika diakumulasi angkanya naik menjadi 19,000 kematian dini,”imbuh Gendo.
Usai sidang, sejumlah perwakilan masyarakat Celukan Bawang langsung bergeser menuju kantor DPRD Bali untuk melakukan rapat dengar pendapat bersama anggota dewan.
Kedatangan masyarakat diterima oleh Sugawa Korry, Wakil Ketua DPRD Propinsi Bali. Dalam kesempatan tersebut, beliau menyatakan bahwa akan menindaklanjuti laporan masyarakat dan akan mengecek kondisi di lapangan secara langsung.
Perwakilan masyarakat yang datang ke dalam rapat tersebut diantaranya I Ketut Mangku Wijana sebagai perwakilan dari profesi petani serta Baidi Suparlan dan I Putu Gede dari profesi nelayan.
“Hasil tangkapan kami sudah menurun drastis, sebelum ada PLTU beroperasi tangkapan kami bisa 200-300 ember, 1 ember kapasitasnya 15 kilo, dan harganya sekitar 300-400 ribu.
Namun sejak PLTU Tahap 1 beroperasi, kami harus berlayar jauh ke tengah, sehingga biaya operasional kami membengkak,” kata Gede, perwakilan dari nelayan.
“Saya sudah merasakan sendiri dampaknya. Sebagai petani kelapa, pohon kelapa di kebun saya banyak yang kering, buahnya mengecil sejak ada PLTU. Sudah tidak bisa diandalkan,” tegas Mangku.
Perwakilan masyarakat meminta kepada DPRD Bali untuk membantu mereka agar mencabut izin rencana perluasan yang sudah diterbitkan tersebut.
“Rencana perluasan sama sekali tidak pernah melibatkan warga. Warga yang hadir hanya 23 orang, itupun hanya di Pungkukan, dan ini sudah diakui oleh Kades mereka sendiri,” ujar Direktur LBH Bali, Putu Dewa Adnyana.
Menurutnya, dengan tidak dilibatkanny Warga secara penuh, hal itu membuktikan proses soisalisasi telah menghilangkan hak partisipasi
yang dampak luasnya, amsyarakat tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh rencana perluasan tersebut.