SINGARAJA- Ada banyak cara merespon masalah kebangsaan. Salah satunya seperti yang lakukan komunitas seniman dari Kelompok Teater Selem Putih, Buleleng.
Pertentangan dan perselisihan antar kelompok, pun mereka kemas lewat sebuah pementasan drama gong berjudul “Romeo and Juliet”.
Meski mengisahkan tragedi, pementasan drama gong berjudul “Romeo and Juliet” sengaja disajikan dengan komedi.
Tujuannya kata Sutradara Putu Satria Kusuma, selain penonton ger-geran, anak muda juga lebih suka. Pesan pun tersampaikan.
Tak sedikit juga penonton yang dibuat ngakak terpingkal-pingkal dengan pementasan malam selama dua jam itu.
Banyolan sederhana dan lugas yang dihadirkan, tak henti-hentinya membuat penonton tertawa tanpa menghilangkan unsur tragedi.
Kata Putu, bukan hal mudah melakukan adaptasi pada naskah Shakespeare.
Sebab, naskah asli memiliki dialog yang panjang. Akibatnya jika dimainkan secara penuh, maka pementasan menjadi melelahkan.
Sehingga ia harus mempelajari naskah berulang kali. Beberapa kalimat Shakespeare yang dianggap penting, juga harus dipertahankan.
“Naskah ini saya pelajari berkali-kali. Kalimat-kalimat penting saya pertahankan dan terjemahkan dalam Bahasa Bali. Sisanya dikarang.
Tapi secara adegan sama seperti Shakespeare, cuma ada pemangkasan,” imbuh pria yang dikenal sebagai filmmaker ini.
Sebab, katanya, drama gong gaya Buleleng memang memiliki gaya yang berbeda dibanding Bali Selatan.
Drama gong Bali Selatan banyak dipengaruhi sendratari.
Sementara drama gong Buleleng lebih dipengaruhi komedi Stamboel yang populer di Bali Utara sejak akhir abad ke-19.
“Drama gong Buleleng itu lebih realis, bebas, dan tidak istana-sentris agar lebih menarik dan disukai anak muda,”ujar Putu Satria.