33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 12:08 PM WIB

Tahan Gempa, Pakar Bangunan Ajak Kembali ke Arsitektur Warisan Leluhur

Gempa berkekuatan 7.0 SR Minggu (5/8) disertai gempa susulan dan gempa 6,2 SR yang terjadi Kamis (9/8) siang memporak-porandakan Nusa Tenggara Barat.

Bali yang menjadi tetangga terdekat ikut terkena dampak. Bali tentu tak boleh lalai menghadapi gempa yang setiap saat bisa mengguncang. Salah satu yang perlu dipikirkan serius adalah rancang bangun tahan gempa.

 

I KADEK SURYA KENCANA, Denpasar

MERENCANAKAN Bangunan Tahan Gempa. Artikel yang terbit Rabu, 8 September 1982 ini terselip di antara kisah tangis dan haru gempa yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Artikel yang diterbitkan salah satu media lokal Bali ini diunggah arsitek sekaligus dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Dwijendra I Nyoman Gde Suardana sehari sebelum musibah terjadi, tepatnya Sabtu (4/8) pukul 10.46.

Seandainya Bandung Bondowoso (kisah Roro Jonggrang dan legenda Candi Prambanan, red) bukan tokoh kiasan dan sempat membaca artikel yang diunggah sang arsitek, tentu 347 nyawa tak perlu melayang tertimpa bangunan.

Tentu 1.477 orang tak perlu merintih menahan luka. I Nyoman Gde Suardana mengajak masyarakat mengingat pesan nenek moyang.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, akademisi sekaligus praktisi kelahiran Desa Jagaraga, Buleleng, 21 September 1956 itu menyebut berdasarkan hasil penelitian Bali masuk ke dalam urutan wilayah III tingkat aktivitas gempa bumi di Indonesia.

Hal itu berarti gempa bumi akan sering terjadi. “Melihat kondisi demikian, tepat sekali kalau moyang tetua dulu telah mencermati perihal gempa bumi, terutama dikaitkan dengan rancang bangun arsitektur Bali tradisionalnya,” ucapnya.

Dalam hikayat tradisional, imbuhnya, bumi diibaratkan sebagai “Bedawang Nala” oleh tetua moyang Bali; yang setiap waktu dapat bergerak atau bergetar.

“Merupakan kewajiban kita untuk senantiasa sadar, bahwa bumi kita memang terletak dalam daerah gempa yang setiap saat bisa berguncang,” tandas pria yang menyelesaikan

pendidikan Sarjana (S1) Arsitekturnya di Fakultas Teknik Unud tahun 1988 dan S2 (Magister Teknik) di ITS, Surabaya tahun 2002 itu.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), tegas Suardana menyebut banyak bangunan rusak akibat gempa lantaran tidak mengikuti kaidah bangunan tahan gempa.

“Masalahnya, saat ini banyak bangunan yang menggunakan bahan berat. Tak seperti zaman dulu, yang menggunakan bahan ringan seperti kayu,” ulasnya.  

Secara tersirat, Suardana menyebut kerangka bangunan tradisional (Bali) jauh lebih kokoh “melawan” gempa.

Selain diperkuat dengan susunan sineb-lambang, bangunan tradisional Bali juga diperkuat oleh bale-bale yang mengikat 4 (empat) tiang atau canggah wang.

Konstruksi kerangka badan ini ibarat kursi atau meja, bila mendapat gaya samping terlalu besar, ia hanya bergeser tempat saja.

Imbuhnya, ada beberapa cara untuk memperkuat tembok. Penebalan sudut-sudut tembok seperti halnya paduraksa pada tembok penyengker.

Jadi dinding diberi bingkai penebalan material. Dinding yang terlalu luas dibagi-bagi dalam bingkai-bingkai kecil. Bingkai-bingkai ini didigestilir sebagai pepalihan atau ornamen.

“Bangunan dengan masa yang berat akan menanggung gaya guncangan yang besar pula. Demikian juga sebaliknya, bangunan yang ringan akan

menanggung gaya guncangan yang lebih ringan akibat guncangan gempa,” ungkapnya sembari menyebut bangunan yang tinggi akan lebih bergoyang.

“Pikirlah baik-baik sebelum membangun bertingkat, perlu dihitung dengan teliti dan dilaksanakan dengan hati-hati,” sambungnya.

Tentang atap (kepala) dalam arsitektur Bali, Suardana menyebut para tetua telah membaginya ke dalam gaya-gaya merata ke seluruh penjuru dan ditampung merata dengan kokohnya sineb dan lambang.

Atap tersebut kaku serta kokoh. Atap model “kuda-kuda” ungkapnya perlu mempertimbangkan beberapa hal.

1. Tiap kuda-kuda duduk di atas tiang atau pada ring balk yang kuat. 2. Ada ikatan angin antara kuda-kuda.

3. Siku penguat pada setiap pojok bila menggunakan balok keliling kayu. Kuda-kuda atap pelana dengan tembok samping yang menjadi tinggi,

bila tidak kokoh dan kaku, lupa ikatan angin, dan pelaksanaan tidak teliti, akibatnya bila ada gempa: sungguh berbahaya.

Bagaimana halnya dengan badan bangunan? Bila dinding itu tidak cukup kaku, ia akan meliuk atau meleot (berubah bentuk) dan menjadi rapuh.

Bila terdorong oleh guncangan mendatar, tembok menjadi bencah-bencah, mendekati batas ketahanan untuk berdiri memikul atap.

Lantas bila ada guncangan lagi, ia akan sangat mudah runtuh. Suardana menjelaskan, gempa bisa menggoyangkan bangunan ke segala arah, dalam berbagai kekuatan. 

Karena itu tiap bangunan bukan saja mesti kuat berdiri memikul beban sendiri, melainkan harus kuat juga menahan dorongan-dorongan horizontal (mendatar).

“Robohnya suatu bangunan tentu disebabkan tidak tahan guncangan atau dorongan horizontal.  Selain itu bila bangunan di sekitar demikian padat,

besar kemungkinan robohnya sebuah bangunan yang tak tahan gempa, dapat merobohkan bangunan-bangunan lainnya,” ungkapnya.

Lantas bagaimana dengan halaman (natah) rumah? Natah pada tatanan gubahan ruang rumah Bali tradisional, ungkap Suardana, mempunyai

peranan yang sangat vital sebagai tempat berlindung dari reruntuhan bangunan maupun komponen-komponennya bila terjadi gempa. 

Natah, ruang terbuka yang bermakna kekosongan dan sebagai pusat orientasi, merupakan pusat tuju paling aman.

Menurutnya, pada kekosonganlah manusia merasa takjub akan kebesaran Sang Pencipta.  Sekaligus merasakan kekerdilan dan kegentaran diri amat dalam menyaksikan guncangan alam maha perkasa.

“Dari hati kecil yang paling asasi, di tengah natah manusia dambakan keselamatan. Pada natah-lah aura pelepasan tumpah ruah.

Pelepasan rasa ketakutan dan semacamnya. Di natah, manusia jadi luruh, dan tepekur mohon perlindungan-Nya,” ungkapnya.

Tentang alasan bangunan Bali tradisional lebih tahan gempa, Suardana menjawab teliti. Dikatakannya, jika ditelisik secara keseluruhan,

bangunan tradisional dimaksud terbagi atas susunan kepala, badan, dan kaki dalam perbandingan berat yang serasi.

Yakni kepala (atap) ringan, rendah, kokoh dan kaku; badan dengan sifat kokoh, lentur dan ringan, dan kaki dengan sifat berat, kokoh dan kaku.

Selain itu denah tiap bangunan sederhana dan rapi, serta dibangun satu persatu secara terpisah.  Atap yang ringan, kaku dan rapi,

akan membagi rata gaya-gaya, bertumpu dalam bingkai sineb dan lambang, maka gaya-gaya tersebut akan tersalur ke tiang-tiang bangunan (saka-saka).

Saka-saka kayu yang terpilih mendukung atap duduk di atas sendi sendi atau yang bersifat sendi. Antara saka dan saka terikat oleh bale bale atau oleh canggah wang.  

Lantaran itu pula, jika gempa datang mengguncang, bangunan hanya bergoyang saja.  Jika ada dinding yang roboh, struktur inti bangunan akan tetap berdiri di atas pondasi.

Imbuhnya, tuntutan kebutuhan ruang akibat perkembangan jenis aktivitas (terutama di perkotaan, red) dewasa ini, memerlukan suatu hasil rancangan yang lebih arif dan kreatif.

Upaya tersebut hendaknya menyertakan pada bangunan: citra dan “roh” Bali-nya. Perkembangan teknologi dan produk material saat ini perlu diadopsi secara benar dan baik.

Aturan-aturan untuk mendirikan bangunan tahan gempa tegasnya tentu telah melalui hasil penelitian dari para ahli di bidang konstruksi.

Tinggal diefektifkan supervisi (pengawasan) dalam pembangunannya, supaya tidak melenceng dari taksu ke-Bali-an nya. Pun agar kualitas konstruksi dan bahan bangunan yang dipergunakan bisa dipertanggungjawabkan.

 

Gempa berkekuatan 7.0 SR Minggu (5/8) disertai gempa susulan dan gempa 6,2 SR yang terjadi Kamis (9/8) siang memporak-porandakan Nusa Tenggara Barat.

Bali yang menjadi tetangga terdekat ikut terkena dampak. Bali tentu tak boleh lalai menghadapi gempa yang setiap saat bisa mengguncang. Salah satu yang perlu dipikirkan serius adalah rancang bangun tahan gempa.

 

I KADEK SURYA KENCANA, Denpasar

MERENCANAKAN Bangunan Tahan Gempa. Artikel yang terbit Rabu, 8 September 1982 ini terselip di antara kisah tangis dan haru gempa yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Artikel yang diterbitkan salah satu media lokal Bali ini diunggah arsitek sekaligus dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Dwijendra I Nyoman Gde Suardana sehari sebelum musibah terjadi, tepatnya Sabtu (4/8) pukul 10.46.

Seandainya Bandung Bondowoso (kisah Roro Jonggrang dan legenda Candi Prambanan, red) bukan tokoh kiasan dan sempat membaca artikel yang diunggah sang arsitek, tentu 347 nyawa tak perlu melayang tertimpa bangunan.

Tentu 1.477 orang tak perlu merintih menahan luka. I Nyoman Gde Suardana mengajak masyarakat mengingat pesan nenek moyang.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, akademisi sekaligus praktisi kelahiran Desa Jagaraga, Buleleng, 21 September 1956 itu menyebut berdasarkan hasil penelitian Bali masuk ke dalam urutan wilayah III tingkat aktivitas gempa bumi di Indonesia.

Hal itu berarti gempa bumi akan sering terjadi. “Melihat kondisi demikian, tepat sekali kalau moyang tetua dulu telah mencermati perihal gempa bumi, terutama dikaitkan dengan rancang bangun arsitektur Bali tradisionalnya,” ucapnya.

Dalam hikayat tradisional, imbuhnya, bumi diibaratkan sebagai “Bedawang Nala” oleh tetua moyang Bali; yang setiap waktu dapat bergerak atau bergetar.

“Merupakan kewajiban kita untuk senantiasa sadar, bahwa bumi kita memang terletak dalam daerah gempa yang setiap saat bisa berguncang,” tandas pria yang menyelesaikan

pendidikan Sarjana (S1) Arsitekturnya di Fakultas Teknik Unud tahun 1988 dan S2 (Magister Teknik) di ITS, Surabaya tahun 2002 itu.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), tegas Suardana menyebut banyak bangunan rusak akibat gempa lantaran tidak mengikuti kaidah bangunan tahan gempa.

“Masalahnya, saat ini banyak bangunan yang menggunakan bahan berat. Tak seperti zaman dulu, yang menggunakan bahan ringan seperti kayu,” ulasnya.  

Secara tersirat, Suardana menyebut kerangka bangunan tradisional (Bali) jauh lebih kokoh “melawan” gempa.

Selain diperkuat dengan susunan sineb-lambang, bangunan tradisional Bali juga diperkuat oleh bale-bale yang mengikat 4 (empat) tiang atau canggah wang.

Konstruksi kerangka badan ini ibarat kursi atau meja, bila mendapat gaya samping terlalu besar, ia hanya bergeser tempat saja.

Imbuhnya, ada beberapa cara untuk memperkuat tembok. Penebalan sudut-sudut tembok seperti halnya paduraksa pada tembok penyengker.

Jadi dinding diberi bingkai penebalan material. Dinding yang terlalu luas dibagi-bagi dalam bingkai-bingkai kecil. Bingkai-bingkai ini didigestilir sebagai pepalihan atau ornamen.

“Bangunan dengan masa yang berat akan menanggung gaya guncangan yang besar pula. Demikian juga sebaliknya, bangunan yang ringan akan

menanggung gaya guncangan yang lebih ringan akibat guncangan gempa,” ungkapnya sembari menyebut bangunan yang tinggi akan lebih bergoyang.

“Pikirlah baik-baik sebelum membangun bertingkat, perlu dihitung dengan teliti dan dilaksanakan dengan hati-hati,” sambungnya.

Tentang atap (kepala) dalam arsitektur Bali, Suardana menyebut para tetua telah membaginya ke dalam gaya-gaya merata ke seluruh penjuru dan ditampung merata dengan kokohnya sineb dan lambang.

Atap tersebut kaku serta kokoh. Atap model “kuda-kuda” ungkapnya perlu mempertimbangkan beberapa hal.

1. Tiap kuda-kuda duduk di atas tiang atau pada ring balk yang kuat. 2. Ada ikatan angin antara kuda-kuda.

3. Siku penguat pada setiap pojok bila menggunakan balok keliling kayu. Kuda-kuda atap pelana dengan tembok samping yang menjadi tinggi,

bila tidak kokoh dan kaku, lupa ikatan angin, dan pelaksanaan tidak teliti, akibatnya bila ada gempa: sungguh berbahaya.

Bagaimana halnya dengan badan bangunan? Bila dinding itu tidak cukup kaku, ia akan meliuk atau meleot (berubah bentuk) dan menjadi rapuh.

Bila terdorong oleh guncangan mendatar, tembok menjadi bencah-bencah, mendekati batas ketahanan untuk berdiri memikul atap.

Lantas bila ada guncangan lagi, ia akan sangat mudah runtuh. Suardana menjelaskan, gempa bisa menggoyangkan bangunan ke segala arah, dalam berbagai kekuatan. 

Karena itu tiap bangunan bukan saja mesti kuat berdiri memikul beban sendiri, melainkan harus kuat juga menahan dorongan-dorongan horizontal (mendatar).

“Robohnya suatu bangunan tentu disebabkan tidak tahan guncangan atau dorongan horizontal.  Selain itu bila bangunan di sekitar demikian padat,

besar kemungkinan robohnya sebuah bangunan yang tak tahan gempa, dapat merobohkan bangunan-bangunan lainnya,” ungkapnya.

Lantas bagaimana dengan halaman (natah) rumah? Natah pada tatanan gubahan ruang rumah Bali tradisional, ungkap Suardana, mempunyai

peranan yang sangat vital sebagai tempat berlindung dari reruntuhan bangunan maupun komponen-komponennya bila terjadi gempa. 

Natah, ruang terbuka yang bermakna kekosongan dan sebagai pusat orientasi, merupakan pusat tuju paling aman.

Menurutnya, pada kekosonganlah manusia merasa takjub akan kebesaran Sang Pencipta.  Sekaligus merasakan kekerdilan dan kegentaran diri amat dalam menyaksikan guncangan alam maha perkasa.

“Dari hati kecil yang paling asasi, di tengah natah manusia dambakan keselamatan. Pada natah-lah aura pelepasan tumpah ruah.

Pelepasan rasa ketakutan dan semacamnya. Di natah, manusia jadi luruh, dan tepekur mohon perlindungan-Nya,” ungkapnya.

Tentang alasan bangunan Bali tradisional lebih tahan gempa, Suardana menjawab teliti. Dikatakannya, jika ditelisik secara keseluruhan,

bangunan tradisional dimaksud terbagi atas susunan kepala, badan, dan kaki dalam perbandingan berat yang serasi.

Yakni kepala (atap) ringan, rendah, kokoh dan kaku; badan dengan sifat kokoh, lentur dan ringan, dan kaki dengan sifat berat, kokoh dan kaku.

Selain itu denah tiap bangunan sederhana dan rapi, serta dibangun satu persatu secara terpisah.  Atap yang ringan, kaku dan rapi,

akan membagi rata gaya-gaya, bertumpu dalam bingkai sineb dan lambang, maka gaya-gaya tersebut akan tersalur ke tiang-tiang bangunan (saka-saka).

Saka-saka kayu yang terpilih mendukung atap duduk di atas sendi sendi atau yang bersifat sendi. Antara saka dan saka terikat oleh bale bale atau oleh canggah wang.  

Lantaran itu pula, jika gempa datang mengguncang, bangunan hanya bergoyang saja.  Jika ada dinding yang roboh, struktur inti bangunan akan tetap berdiri di atas pondasi.

Imbuhnya, tuntutan kebutuhan ruang akibat perkembangan jenis aktivitas (terutama di perkotaan, red) dewasa ini, memerlukan suatu hasil rancangan yang lebih arif dan kreatif.

Upaya tersebut hendaknya menyertakan pada bangunan: citra dan “roh” Bali-nya. Perkembangan teknologi dan produk material saat ini perlu diadopsi secara benar dan baik.

Aturan-aturan untuk mendirikan bangunan tahan gempa tegasnya tentu telah melalui hasil penelitian dari para ahli di bidang konstruksi.

Tinggal diefektifkan supervisi (pengawasan) dalam pembangunannya, supaya tidak melenceng dari taksu ke-Bali-an nya. Pun agar kualitas konstruksi dan bahan bangunan yang dipergunakan bisa dipertanggungjawabkan.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/