Semalaman mengungsi di bukit, Senin (7/8) sekitar pukul 05.00 pagi, Anne Febrita dan rombongan akhirnya turun.
Cuaca dingin menusuk tulang, dan rasa lapar karena bermalam tanpa selimut dan bekal makanan pun seakan ia abaikan.
DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar
MENURUNI bukit dengan berjalan kaki, Anne dan rombongan terus berusaha kuat untuk bisa sampai di dermaga.
Disela perjalan menuju dermaga, Anne melihat banyak pemandangan miris dan memilukan.
Selain melihat rumah-rumah warga banyak yang roboh, Anne juga melihat banyak pilar-pilar lobi hotel ambruk.
“Waktu itu hanya ada satu bangunan yang nggak roboh, tapi disitu ada banyak ceceran darah, bekas botol infus dan kapas-kapas,”kenang Anne.
Bahkan, saat perjalanan menuju dermaga, Anne juga melihat ada seorang ditandu dengan wajah ditutup.
“Katanya orang sakit, tapi sepertinya sudah meninggal,”imbuh Anne.
Setelah menyusuri jalan di antara puing-puing rusak, Anne dan rombongan sampai juga di dermaga.
Setiba di dermaga, ia harus masih mengantri.
“Kami dan rombongan dari pagi sudah antri di dermaga satu sampai lima.
Di situ untungnya pihak travel agent tanggungjawab untuk evakuasi sampai ikut atur boad yang akan angkut kami ke kapal,”jelas Anne.
Setelah menunggu sangat lama, Anne dan rombongan akhirnya terangkut dan dievakuasi dari Gili Trawangan menuju Pelabuhan Benoa. Bali.
Evakuasi diutamakan bagi mereka yang luka dan membutuhkan bantuan medis.
Kemudian diikuti rombongan lain.
Sesampai di kapal ia dapat pop mie dan obat anti mabuk.
“Kami seharian nggak mandi, nggak ganti dan nggak tidur.
Hanya dapat tidur 30 menit, dan saat bangun muntah-muntah karena maag kambuh.
Hampir 24 jam kami juga nggak makan dan hanya terisi cokelat dan biskuit, itupun yang kasih leader terpaksa “njarah” di salah satu minimarket karena tidak ada satupun yang bawa dompet karena semua barang tertinggal,”kenang Anne. (bersambung)