33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:54 PM WIB

Bali Perlu Takar Jumlah Kendaraan

DENPASAR – Bertanyalah pada para turis apa yang paling mereka keluhkan saat berwisata di Bali! Dipastikan seluruhnya menjawab macet.

Tak hanya turis, masyarakat Bali juga sangat mengeluhkan persoalan ini. Titik macet semakin bertambah setiap hari.

Problem ini tambah parah karena pemerintah gagal menciptakan angkutan umum massal. Merespons masalah kemacetan ini, Togar Situmorang menyebut 10-15 tahun

mendatang orang yang berjalan kaki akan lebih cepat sampai ke tempat tujuan dibandingkan pengendara sepeda motor atau mobil.

“Kemacetan saat ini sangat parah dan merugikan masyarakat. Ini karena pertumbuhan jalan tak sebanding dengan banyaknya kendaraan bermotor,” ucap pria yang 18 Agustus 2018 lalu genap berusia 52 tahun.

Togar menilai Bali harus menentukan sikap bila ingin tetap hidup dari sektor pariwisata. Advokat ternama yang merantau ke Bali tahun 1998 silam

hanya berbekal uang Rp 170 ribu mengaku sangat mencintai Pulau Dewata dan akan berjuang menuntaskan masalah kemacetan ini. Namun, diakuinya itu bukan masalah mudah.

Kenapa sulit? Togar menyebut karena sumbangan PAD (penghasilan asli daerah) tertinggi kedua bagi Bali adalah dari pajak kendaraan bermotor.

Caleg DPRD Bali dari Partai Golkar Dapil Denpasar nomor urut 7 itu merinci kendaraan aktif di Bali per 31 Desember 2017 yang didata Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Bali berjumlah 2.988.356 unit kendaraan.

Terdiri atas kategori sedan dan sejenisnya (29.078 unit), jeep dan sejenisnya (40.427 unit), minibus dan sejenisnya (289.772 unit),

bus dan sejenisnya (6.389 unit), pikap dan sejenisnya (88.865 unit), truk dan sejenisnya (32.609 unit), dan sepeda motor (2.501.217 unit).

Proporsi pajak pada PAD Provinsi Bali hampir 80 persen didominasi oleh pajak kendaraan bermotor.

“Pergerakan pajak di Bali sangat bergantung dari pertumbuhan dan jumlah kendaraan itu sendiri. Ini menjadi masalah karena saat ini jumlah kendaraan

bermotor dan jumlah penduduk Bali sudah hampir sama. Bila Bali ingin tetap hidup dari sektor pariwisata, ini harus segera diselesaikan,” tegasnya.

Togar mengatakan kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan turis asing di Bali juga membuat citra Pulau Dewata sebagai destinasi pariwisata internasional semakin buruk di mata dunia. 

Apa yang harus dilakukan? Togar menjawab harus ada aturan tegas mengenai pembatasan jumlah kendaraan dari segi keluaran tahun pabriknya.

“Solusi pemerintah selain membangun jalan juga harus memperbanyak kendaraan umum. Mendesak pula adanya regulasi yang membatasi penggunaan motor dan mobil dari segi keluaran tahun pabriknya,” ungkapnya.

Ditambahkannya, bila ingin tetap hidup dari sektor pariwisata, Pemprov Bali juga harus berani menelorkan kebijakan scrap alias menghancurkan mobil-mobil pribadi yang usianya sudah di atas 15 tahun.

Terangnya, di negara-negara maju seperti Singapura, mobil yang berusia di atas 10 tahun pajaknya lebih besar dibandingkan mobil baru sehingga pemilik mobil memilih menghancurkan mobilnya.

Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan keuntungan. Sebab, mobil tua, misalnya di junkyard Amerika, dihargai hingga Rp 25 juta per ton untuk dihancurkan.

Bahkan, Pemerintah AS dapat memperoleh hingga Rp 110 triliun tiap tahun dari mengekspor besi tua dari hasil penghancuran mobil ke seluruh dunia. (adv)

DENPASAR – Bertanyalah pada para turis apa yang paling mereka keluhkan saat berwisata di Bali! Dipastikan seluruhnya menjawab macet.

Tak hanya turis, masyarakat Bali juga sangat mengeluhkan persoalan ini. Titik macet semakin bertambah setiap hari.

Problem ini tambah parah karena pemerintah gagal menciptakan angkutan umum massal. Merespons masalah kemacetan ini, Togar Situmorang menyebut 10-15 tahun

mendatang orang yang berjalan kaki akan lebih cepat sampai ke tempat tujuan dibandingkan pengendara sepeda motor atau mobil.

“Kemacetan saat ini sangat parah dan merugikan masyarakat. Ini karena pertumbuhan jalan tak sebanding dengan banyaknya kendaraan bermotor,” ucap pria yang 18 Agustus 2018 lalu genap berusia 52 tahun.

Togar menilai Bali harus menentukan sikap bila ingin tetap hidup dari sektor pariwisata. Advokat ternama yang merantau ke Bali tahun 1998 silam

hanya berbekal uang Rp 170 ribu mengaku sangat mencintai Pulau Dewata dan akan berjuang menuntaskan masalah kemacetan ini. Namun, diakuinya itu bukan masalah mudah.

Kenapa sulit? Togar menyebut karena sumbangan PAD (penghasilan asli daerah) tertinggi kedua bagi Bali adalah dari pajak kendaraan bermotor.

Caleg DPRD Bali dari Partai Golkar Dapil Denpasar nomor urut 7 itu merinci kendaraan aktif di Bali per 31 Desember 2017 yang didata Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Bali berjumlah 2.988.356 unit kendaraan.

Terdiri atas kategori sedan dan sejenisnya (29.078 unit), jeep dan sejenisnya (40.427 unit), minibus dan sejenisnya (289.772 unit),

bus dan sejenisnya (6.389 unit), pikap dan sejenisnya (88.865 unit), truk dan sejenisnya (32.609 unit), dan sepeda motor (2.501.217 unit).

Proporsi pajak pada PAD Provinsi Bali hampir 80 persen didominasi oleh pajak kendaraan bermotor.

“Pergerakan pajak di Bali sangat bergantung dari pertumbuhan dan jumlah kendaraan itu sendiri. Ini menjadi masalah karena saat ini jumlah kendaraan

bermotor dan jumlah penduduk Bali sudah hampir sama. Bila Bali ingin tetap hidup dari sektor pariwisata, ini harus segera diselesaikan,” tegasnya.

Togar mengatakan kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan turis asing di Bali juga membuat citra Pulau Dewata sebagai destinasi pariwisata internasional semakin buruk di mata dunia. 

Apa yang harus dilakukan? Togar menjawab harus ada aturan tegas mengenai pembatasan jumlah kendaraan dari segi keluaran tahun pabriknya.

“Solusi pemerintah selain membangun jalan juga harus memperbanyak kendaraan umum. Mendesak pula adanya regulasi yang membatasi penggunaan motor dan mobil dari segi keluaran tahun pabriknya,” ungkapnya.

Ditambahkannya, bila ingin tetap hidup dari sektor pariwisata, Pemprov Bali juga harus berani menelorkan kebijakan scrap alias menghancurkan mobil-mobil pribadi yang usianya sudah di atas 15 tahun.

Terangnya, di negara-negara maju seperti Singapura, mobil yang berusia di atas 10 tahun pajaknya lebih besar dibandingkan mobil baru sehingga pemilik mobil memilih menghancurkan mobilnya.

Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan keuntungan. Sebab, mobil tua, misalnya di junkyard Amerika, dihargai hingga Rp 25 juta per ton untuk dihancurkan.

Bahkan, Pemerintah AS dapat memperoleh hingga Rp 110 triliun tiap tahun dari mengekspor besi tua dari hasil penghancuran mobil ke seluruh dunia. (adv)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/