DENPASAR – Industri properti di Bali tengah melesu. Sejak 2016 lalu, bisnis properti cenderung menurun.
Seharusnya dengan kebijakan Bank Indonesia memperbolehkan DP 0 persen untuk properti, bisa menumbuhkan kembali bisnis properti di Bali.
Namun, menurut Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 8 Bali-Nusa Tenggara, Hizbullah, kebijakan ini masih belum berdampak hingga saat ini.
Ini mengingat pihak bank masih ragu memberikan pinjaman kredit dengan DP 0 persen untuk properti, karena memiliki resiko yang cukup tinggi.
Terlebih di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi yang masih rendah. “Karena risikonya kan ada di bank, jadi memang belum ada dampak dari kebijakan ini,” kata Hizbullah.
Hingga akhir tahun 2018, target penyaluran kredit di Bali mencapai 10 persen. “Kami tetap optimis bisa sampai target. Kami berharap lebih pada even IMF nanti,” katanya.
Pria asal Padang Sumatera Barat ini menambahkan, penyaluran kredit semester 1 tahun ini yang melambat membuat Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dikumpulkan perbankan lebih besar dari penyaluran kredit.
“DPK saat ini mencapai Rp 99,694 triliun. Sehingga banyak DPK ini dibawa keluar Bali. Agar bank tidak terbebani bunga, sehingga disalurkan ke cabang lain,” imbuhnya.
OJK berharap, ke depan tidak ada lagi gangguan seperti bencana alam dan lainnya di Bali. Dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, diyakini mampu memperbaiki kredit.
“Kalau OJK mengimbau agar bank berupaya menyalurkan kredit, tapi persyaratan kan bank yang tahu,” tandasnya.
Sementara itu, untuk capaian Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah saat ini mencapai 3,73 persen. Di mana terdapat tiga besar sektor penyumbang NPL tertinggi.
Di antaranya, Pertambangan dan Penggalian 10,72 persen, kegiatan usaha yang belum jelas batasannya 8,83 persen, dan jasa perorangan melayani rumah tangga yang mencapai 7,70 persen