SINGARAJA – Kantor Teater Jakarta menghadirkan konsep baru dalam bentuk pementasan teater.
Mereka benar-benar memanfaatkan momentum, dan memanfaatkan ruang yang ada, untuk menghadirkan sebuah pementasan.
Tanpa ruang khusus, tanpa properti khusus, pementasan akan tetap berlangsung.
Selasa (28/8) malam lalu, Kantor Teater Jakarta, mementaskan naskah bertajuk Belajar Tertawa.
Naskah ini merupakan bagian dalam Pentas Keliling Indonesia – Edisi Bali 2018, yang dilakukan oleh Kantor Teater Jakarta.
Malam itu, mereka mementaskan
“Belajar Tertawa” di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Naskah itu dimainkan oleh Mamexandria dan Roy Julian.
Naskah “Belajar Tertawa” sendiri dirancang sebagai cara lain memahami keburukan, kesakitan, dan penderitaan.
Naskah ini tentang menggeser posisi tempat duduk, agar bisa mendapatkan sudut pandang yang lebih baik atas segala kekacauan hidup manusia.
Sehingga harapan tentang hidup dan hari esok yang lebih baik, bisa muncul sebagai enerji dan daya hidup yang menyala di dalam diri.
Naskah ini juga tentang upaya menemukan kegembiraan gelap di dalam segala kepedihan yang terang benderan dalam diri.
Dalam pementasan itu, Mamexandria dan Roy Julian berusaha merespons berbagai properti yang memang sejak awal ada di atas panggung.
Diantaranya bola plastik, botol minuman tak terpakai, tas plastik bekas nasi bungkus, tangga kayu, layar proyektor, hingga pintu kamar. Seluruhnya direspons seoptimal mungkin.
Teks yang dihadirkan ke atas panggung pun cukup mumpuni.
Kedua aktor berhasil menghadirkan dialog bersahut-sahutan, yang dinikmati serta dipahami sebagai sebuah harmoni. Dalam beberapa bagian, teks yang dipentaskan juga mengundang tawa segar penonton.
Usai pementasan, Pimpinan Produksi Kantor Teater Jakarta mengatakan, teater yang dipentaskan oleh Kantor Teater, memang hanya mengandalkan ruang dan gerak tubuh.
Mereka tak pernah mengharapkan properti tertentu dalam sebuah panggung. Apapun properti yang ada, akan dioptimalkan untuk mendukung pementasan.
“Kami kadang latihan di stasiun kereta, kuburan, rumah sakit, dimana saja.
Tantangannya, bagaimana kami secara spontan mampu melakukan adaptasi dengan ruang. Jadi apa saja yang ada di ruang itu, kami lakukan adaptasi dengan menyesuaikan konteks.
Seperti yang terjadi malam ini,” kata Roy.
Roy menjelaskan, dalam pementasan mereka hanya menyiapkan teks yang telah dirancang sejak jauh-jauh hari. Tapi secara adegan, semua menurutnya spontan. “Makanya ada yang menyebut kami itu sebagai teater momentum.
Bentuk pementasannya menyesuaikan dengan momen dan apa yang ada saat itu.
Misalnya saat pentas di Pemalang, kami gunakan mainan anak TK, kemudian di Rumah Sanur kami bermain dengan kanvas dan cat.
Semua tergantung dengan momentum dan ruang,” tegas Roy.