25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:35 AM WIB

Pemilu 2019!! Jualan Nama Jokowi vs Bansos, Ayo Siapa yang Menang?

DENPASAR- Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan digelar serentak pada 17 April 2019.

 

Pada hajatan yang menentukan arah kebijakan pemerintah lima tahun (2019-2024) itu, banyak petahana dipastikan kembali bertarung memperebutkan kursi wakil rakyat.

Sejumlah fenomena mencuat.

 

Salah satunya adalah kegandrungan para politikus menjual nama Presiden Republik Indonesia Joko Widodo alias Jokowi untuk menarik simpati masyarakat.

Sisi lain, para pendatang baru ini juga dihadapkan pada realita dengan caleg “berbekal” Bansos

 

 

Seperti dikatakan Pengamat politik Universitas Warmadewa, I Nyoman Wiraatmaja.

Selaku akademisi, ia menilai kiat new comer menjual nama “Jokowi” tak sepenuhnya akan sukses.

 

Menurutnya, nama Jokowi akan kalah oleh bantuan sosial atau bansos.

“Suara partai mungkin akan berefek. Khususnya bagi parpol yang mempunyai calon presiden dan wakil presiden.

Namun di tingkat lokal orang sudah tahu sebenarnya lahan mereka berbeda dengan situasi makro (nasional, red).

Ketokohan seseorang di suatu lingkungan atau wilayah tetap akan diutamakan,” ucapnya, Sabtu (1/9).

 

Jelas Wiraatmaja, masyarakat tetap akan menoleh investasi yang “ditanam” sang calon wakil rakyat.

Kata lain, wajah-wajah lama atau incumbent yang kini duduk di DPRD kabupaten/kota maupun provinsi punya nilai lebih dibandingkan newcomer.

Investasi dari berbagai lini, bebernya tetap akan menentukan kedekatan antar pemilih di tingkat lokal dengan yang makro alias suara partai.

Sang akademisi menyebut mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat adalah yang pandai memelihara konstituen atau massa.

“Itu akan lebih banyak menentukan keterpilihan di tingkat lokal. Peran bansos lebih dominan dibanding nama Jokowi,” terangnya.

Dia menekankan kondisi inilah yang menuntut masyarakat untuk proporsional, khususnya bila para calon wakil rakyat tersebut memiliki track record yang “bermasalah”

“Wajah baru akan sulit bersaing dalam Pileg 2019. Bagaimanapun juga harus diakui ada segmen masyarakat yang memang terpelihara seperti itu,” ungkapnya.

Secara lebih rinci Wiraatmaja merujuk fakta-fakta terkait pola pemilih dalam Pilgub Bali 2018.

Dirinya menyebut istilah suara mapelulungan alias bulat ke tokoh tertentu sebagai imbas bansos.

“Susah one person one vote untuk saat ini. Banjar ini sudah di sini, kekuasaan ini.

Makanya sudah kelihatan aspek komunal mulai muncul dan itu bisa dicermati. Itu riil terjadi,” tegasnya.

Menyikapi fenomena itu, dia mengatakan ke depan upaya penyadaran masyarakat merupakan agenda wajib.

“Bahwa semua yang dikelola itu adalah uang rakyat. Ini perlu disadarkan.

Itu bukan uang kandidat.

Apalagi memang yang sudah duduk di posisi itu. Ini perlu penyadaran-penyadaran ke depan yang lebih intensif,” pungkasnya.

 

 

DENPASAR- Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan digelar serentak pada 17 April 2019.

 

Pada hajatan yang menentukan arah kebijakan pemerintah lima tahun (2019-2024) itu, banyak petahana dipastikan kembali bertarung memperebutkan kursi wakil rakyat.

Sejumlah fenomena mencuat.

 

Salah satunya adalah kegandrungan para politikus menjual nama Presiden Republik Indonesia Joko Widodo alias Jokowi untuk menarik simpati masyarakat.

Sisi lain, para pendatang baru ini juga dihadapkan pada realita dengan caleg “berbekal” Bansos

 

 

Seperti dikatakan Pengamat politik Universitas Warmadewa, I Nyoman Wiraatmaja.

Selaku akademisi, ia menilai kiat new comer menjual nama “Jokowi” tak sepenuhnya akan sukses.

 

Menurutnya, nama Jokowi akan kalah oleh bantuan sosial atau bansos.

“Suara partai mungkin akan berefek. Khususnya bagi parpol yang mempunyai calon presiden dan wakil presiden.

Namun di tingkat lokal orang sudah tahu sebenarnya lahan mereka berbeda dengan situasi makro (nasional, red).

Ketokohan seseorang di suatu lingkungan atau wilayah tetap akan diutamakan,” ucapnya, Sabtu (1/9).

 

Jelas Wiraatmaja, masyarakat tetap akan menoleh investasi yang “ditanam” sang calon wakil rakyat.

Kata lain, wajah-wajah lama atau incumbent yang kini duduk di DPRD kabupaten/kota maupun provinsi punya nilai lebih dibandingkan newcomer.

Investasi dari berbagai lini, bebernya tetap akan menentukan kedekatan antar pemilih di tingkat lokal dengan yang makro alias suara partai.

Sang akademisi menyebut mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat adalah yang pandai memelihara konstituen atau massa.

“Itu akan lebih banyak menentukan keterpilihan di tingkat lokal. Peran bansos lebih dominan dibanding nama Jokowi,” terangnya.

Dia menekankan kondisi inilah yang menuntut masyarakat untuk proporsional, khususnya bila para calon wakil rakyat tersebut memiliki track record yang “bermasalah”

“Wajah baru akan sulit bersaing dalam Pileg 2019. Bagaimanapun juga harus diakui ada segmen masyarakat yang memang terpelihara seperti itu,” ungkapnya.

Secara lebih rinci Wiraatmaja merujuk fakta-fakta terkait pola pemilih dalam Pilgub Bali 2018.

Dirinya menyebut istilah suara mapelulungan alias bulat ke tokoh tertentu sebagai imbas bansos.

“Susah one person one vote untuk saat ini. Banjar ini sudah di sini, kekuasaan ini.

Makanya sudah kelihatan aspek komunal mulai muncul dan itu bisa dicermati. Itu riil terjadi,” tegasnya.

Menyikapi fenomena itu, dia mengatakan ke depan upaya penyadaran masyarakat merupakan agenda wajib.

“Bahwa semua yang dikelola itu adalah uang rakyat. Ini perlu disadarkan.

Itu bukan uang kandidat.

Apalagi memang yang sudah duduk di posisi itu. Ini perlu penyadaran-penyadaran ke depan yang lebih intensif,” pungkasnya.

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/