Oleh: Dahlan Iskan
Ada saja jagoan baru. Di tengah ekonomi yang lagi sulit. Namanya: Haidilao (海底捞). Artinya: harta karun.
Rabu kemarin Haidilao go public. Di pasar modal Hongkong. Sukses besar. Meski dikritik keras: terlalu mahal.
PE-nya 70! Dapat uang dari pasar modal sampai sekitar Rp 150 triliun.
Jangan kaget. Yang go public itu restoran. Yang didirikan oleh seorang yang tidak lulus SMA: Zhang Yong.
Kekayaan restoran itu sekarang Rp 150 triliun. Punya cabang 360. Akhir tahun ini dijanjikan menjadi 400.
”Kami akan membuka restoran baru tiap tiga hari sekali,” kata Zhang Yong.
Saya termasuk yang ketagihan makan di Haidilao. Mudah pula mencarinya. Di tiap kota pasti ada. Di Tiongkok sana. Waktu mengajak makan siang para mahasiswa Indonesia di Nanjing pun saya tentukan tempatnya: Haidilao. Pengalaman pertama mereka. ”Hari ini perbaikan gizi,” celetuk mereka. Para anak kost itu.
Di Haidilao kita masak sendiri. Kita pesan kuahnya saja. Boleh yang pedas. Boleh juga tidak. Atau pancinya yang dua kamar: pedas di sisi sini, tidak pedas di sisi sana. Bumbu kuah ini hanya Haidilao yang tahu. Konon campuran 60 bumbu. Sedap sekali. Saya tidak mau bertanya lebih dalam: benarkah 60 bumbu. Takut disuruh menghitung sendiri.
Kuah itu terus mendidih. Di atas api yang menyala biru. Dari kompor gas di bawahnya. Kita tinggal memasukkan makanan mentah kesukaan kita. Aneka sayur, daging sapi, kambing, ayam, aneka mie, aneka tahu, aneka sea food dan apa saja. Tidak ada daging babi.
Banyak jenis restoran yang pakai sistem huoguo seperti itu. Terutama di lingkungan kampung Islam. Yang alat pemanasnya kompor bercerobong tinggi. Yang bahan bakarnya briket.
Tapi Haidilao berjaringan. Ramai di mana-mana. Antrenya panjang. Tidak berdiri. Disediakan kursi.
Disediakan pula camilan. Minuman. Tak terbatas. Kalau tidak mengerem diri bisa bahaya: sudah kenyang sebelum makan.
Disediakan pula buah. Kadang jeruk kecil-kecil. Yang kita makan berikut kulitnya. Kadang jenis apel kecil-kecil. Sekecil ibu jari.
Disediakan juga charger HP. Pijat refleksi. Dan manikur. Semua itu gratis. Belakangan tambah lagi bisa cetak foto di situ.
Saat IPO Rabu lalu fasilitas gratis itu dipersoalkan. Apakah tidak buang-buang uang. Apakah tidak mengurangi keuntungan. Toh sudah laris. Mereka mau antre. Mengapa masih diberi makanan dan fasilitas gratis.
Zhang Yong bergeming. Tidak mau menghapus layanannya itu. Dengan serba gratis itu labanya masih sekitar 5 triliun rupiah. Tahun lalu.
Ia juga mempertahankan prinsip tiga persennya. Yakni tiga persen dari labanya. Disisihkan untuk bonus para manajernya.
Soal bonus 3 persen itu ada riwayatnya. Restoran pertamanya di luar daerah rugi. Zhang Yong tidak bisa mengawasi. Ia kapok.
Waktu itu ia baru punya dua restoran. Yang satu diberi nama Haidilao. Satunya Louwailou. Dua-duanya di kota kecil Lianyang. Propinsi Sichuan. Hanya 50 km dari ibukota propinsi. Meski disebut kota kecil, itu kecilnya Tiongkok. Penduduknya 1,5 juta jiwa.
Haidilao semula untuk rakyat biasa. Yang harganya dibuat murah. Ternyata banyak juga dari kalangan menengah makan di situ. Maka Zhang membuka restoran kedua dengan nama Louwailou. Pakai AC. Untuk segmen yang lebih atas.
Nama Louwailou diambil dari puisi lama. Yang terkenal. Yang menggambarkan kehebatan danau Xihu di Hangzhou. Yang letaknya di antara dua pagoda putih nan tinggi. Itulah pagoda yang jadi setting film seri Legenda Ular Putih.
Zhang akhirnya menyeragamkan nama semua restorannya: Haidilao. Nama Louwailou tidak dipakai lagi. Nama ini sekarang dipakai oleh sebuah restoran di Hangzhou sendiri. Di dekat danau Xihu.
Setelah membuka dua restoran Zhang didatangi pelanggannya. Yang asal Xian. Propinsi Shaanxi. Satu jam penerbangan dari kotanya. Diajak kongsi. Rugi.
Zhang kapok. Sejak itu tidak mau lagi berkongsi. Tapi ekspansi ke luar kota tetap ia minati. Kali ini Zhang pilih buka di Chengdu, ibukota propinsi Sichuan. Di propinsinya sendiri. Tidak terlalu jauh. Bisa diawasi.
Dari situ terus berkembang. Kini sudah punya cabang di Tokyo, Singapura, Seoul, California. Segera menyusul: London, Malaysia, Kanada.
Tidak disebut nama Indonesia. Atau Jakarta. Tapi saya tahu ada restoran Haidilao di Jakarta. Entah cabangnya atau copynya.
Yang mirip Haidilao juga ada di Surabaya. Namanya Hongli. Saya sering ke sana. Sampai tiba-tiba tidak ada lagi. Sejak saya tinggal ke Amerika.
Haidilao telah jadi harta karun bagi Zhang. Dalam arti yang sesungguhnya.(Dahlan Iskan)